Saya dan Psikologi

Beberapa dari kamu mungkin masih ingat kalo saya pernah bertemu pasangan muda yang sedang jalan pagi. Walaupun si suami masih ngantuk, tapi dia paksa juga dirinya untuk menemani sang istri yang sedang hamil tua. Itu loh, yang saya tebak anak pertama? Kalo masih lupa kamu bisa lihat disini.

Tebak apa yang saya lihat tadi pagi? Bukan, bukan suaminya jalan sama cewek lain. Anak yang dikandung itu sudah lahir!! Masih dengan suami yang sama, dengan mata yang masih berat, si istri juga masih sama, hanya kali ini isi perutnya sudah digendong hehehe. Lucu deh anaknya, keknya sih laki-laki. Soalnya sambil lari jadi kurang memperhatikan.

Masih sedikit nyambung dengan anak kecil, mainan. Ada kalanya mainan itu membuat kita fun, tapi mungkin yang ini berbeda. Permainan ini khusus untuk orang dewasa yang bernyali gede. Bagi yang berminat main silahkan klik. Pringatan sebelumnya, hanya khusus bagi yang bernyali gede ok!

Ok, setelah beberapa posting sebelumnya berbicara kesotoyan tentang sastra, kali ini saya menyorot, apa yang menjadi latar belakang pendidikan formal saya. Mungkin sebagian dari kamu tahu kalo saya ngaku-ngaku musisi, dan mungkin juga ngaku-ngaku penulis, tapi apa sih latar belakang pendidikan formal saya?

Jangan kaget, jangan heran, bukan sulap, bukan sihir, kalo ternyata saya calon psikolog. Sama kah dengan S.Psi? Tidak tepat. Karena S.Psi itu predikat yang disandang orang-orang yang telah berjibaku selama 4-6 tahun di fakultas Psikologi. Dan akhirnya selamat. Psikolog? Orang-orang yang sudah selamat, tapi mau balik lagi buat mati.

Memang jika dikaitkan dengan tulis-menulis agak gak nyambung, apa lagi kalo dengan musik, itu lebih gak nyambung. Sastra dan musik merupakan minat saya terhadap hidup, sedangkan psikologi adalah latar intelektual saya sebagai manusia berpendidikan. Sayangnya justru latar ini yang sering saya cemooh, dan mungkin juga ada suatu penyesalan di dalamnya.

Berawal dari paradigma keliru yang sudah terlanjur terbentuk dalam masyarakat luas, bahwa psikolog itu adalah orang-orang yang mempelajari ilmu jiwa (sampai sini benar), bisa mengobati sakit jiwa (agak melenceng), dan yang paling umum, bisa baca watak, kepribadian bahkan pikiran orang lain (terlalu jauh...). Ini psikolog apa Tsang-Tung si ahli nujum sih?!

Mudah bangat kok melihat prilaku keliru masyarakat ini, bahkan tidak jarang saya sendiri alami. Begitu teman saya mengetahui latar belakang pendidikan saya, sekonyong-konyong mereka minta untuk dibaca kepribadiannya, atau entah dari mana mulainya sesi curhat dibuka. Yang paling apes, pernah langsung disodorin telapak tangan. Buat apaan??. Baca watak gw dong kek mana? Buseet?!

Udah gak beda gw kek Mama Loren!

Memang kalo untuk masyarakat awam, saya bisa maklumi, tapi yang ironis, para calon sarjana psikologi pun setali tiga rupa -- gw masuk psikologi biar bisa maca watak sso, dan memberikan solusi yang terbaik, menolong banyak orang deh. Kentang! Ok, saya juga memang salah-satu dari orang-orang bodoh itu, makanya kentang kuadarat!!

Sering juga pengetahuan akan berbagai jenis kepribadian tersebut menggiring kepada eforia sesaat, yaitu bangga saat bisa mengetahui watak seseorang. Yang ditemukan di lapangan, para konselor atau para psikolog yang mengintrupsi kepribadian seseorang. Dibanding orang itu sendiri psikolog lah yang lebih tahu. Padahal siapa sih sih yang benar-benar tahu siapa kita sebenarnya? Orang yang sudah menikah dengan kita selama bertahun-tahun saja masih harus belajar mengenal pasangannya, apa lagi orang yang baru tahu nama lengkap kita lima menit yang lalu? bagaimana dia bisa bilang dia tahu kita??

Kecendrungan lain dari para mahasiswa psikologi adalah mudah sekali menjatuhkan penilaian terhadap seseorang. Memang biasanya ini kecendrungan para mahasiswa tingkat awal, yang baru tahu empat watak manusia, tapi ada juga yang membawanya sampai jenjang profesi sebagai psikolog. Mending kalo penilaiannya didasari oleh substansi ilmiah, riwayat hidup, observasi dan dasar teori yang jelas, ini malah dengan 'insting' dan sedikit landasan teori. God shake!!

Siapa sih kita sampai kita dengan enteng menilai seseorang yang baru kita kenal, dan menggolongkannya seperti buku-buku di rak?

Kembali kepada dasar psikologi. Ini bukan ilmu baca-membaca watak, pribadi, atau malah nasib seseorang. Ilmu ini menelaah esensi yang paling rumit dari manusia, yaitu kepribadian, agar manusia bisa sehat secara utuh dan memecahkan masalah-masalah mengenai kejiwaan secara manusiawi . Karenanya memiliki teori-teori kepribadian itu tidak sampai setengah dari ilmu ini. Ada tujuan dan pencapaian yang lebih luas dan rumit ketimbang bermain tebak-tebak pribadi sso.

Bukankah lebih tepat jika kita memposisikan terapis kita sebagai teman dari pada sebagai objek? Memang keterlibatan emosional sangat tidak dianjurkan dalam sesi konseling, tapi bukannya kepribadian adalah bentuk emosi dari manusia?

Akhirnya mungkin lebih adil jika manusia menyimpan penilaian dan pembacaan kepribadian sso hanya bagi ilmu pengetahuan dari pada untuk teman. Karena persahabatan itu dirasa bukan dipikir.

As for me, all I know is that I know nothing (Socrates)


.

Sakitnya dan Sendiri

Sudah beberapa hari ini kesehatan saya terganggu. Mulai dari pilek, sampai cedra otot. Hal yang paling saya jengkelkan dari pilek, saya menjadi rentan terhadap dingin. Padahal seperti yang kita ketahui bersama, tidak ada yang namanya dingin bagi badan saya. Entah dipungut dari mana saya ini, karena yang pasti di keluarga saya tidak ada yang tahan terhadap dingin. Bahkan ayah saya bisa uring-uringan dengan dingin.

Pernah suatu ketika ayah saya masuk kamar saya untuk mematika AC kamar, dikarnakan kaca ventilasi jendela dan lantai kamar saya berembun. Namun begitu masuk betapa kagetnya ia ketika menemukan anaknya mengenakan kutang dan kolor sedang asik chating di depan laptop. Entah setan mana yang merasuki ayah saya itu, saya langsung di getok pake gagang sapu, suruh matikan ACnya.

Tidak hanya ayah saya, prihal ini sudah tersebar ke seantero anak-anak kost yang pernah se-kost dengan saya, bahwa tidak hanya urat malu saja yang sudah putus, melainkan juga saraf sensorik saya juga telah putus. Tapi begitu pilek datang menghadang, itu artinya saya berbalik 180 derajat, bahkan lebih rentan hawa dingin melebihi orang normal. Kalo orang-orang di luar bilang panas, saya bisa merasa dingin (jelas, soalnya saya masih di kamar ber AC).

Berbeda dengan pilek yang ditularkan dengan kurang ajarnya oleh adik saya, cedra otot ini saya alami saat melatih otot lengan atas dengan push up dan chin up. Dengan bijaksananya saya melakukan superset untuk latihan ini. Lengan tangan bagian atas terasa sakit dan pegal, tapi saya pikir itu seperti biasa saat usai fitness. Keesokan hari, saat mandi, batapa takjubnya saya. Ternyata hasil latihan saya langsung membuahkan hasil dengan membesarnya lengan atas saya. Selidik punya selidik, itu bukan besar karena otot, melainkan karena bengkak. Sampai sekarang lengan saya tidak bisa ditekuk. Apes!

Pesan moralnya, kecilkan pantat dan perut anda dulu sebelum mencoba mengangkat badan anda.

On a different note, baru-baru ini saya mendapat teman baru di friendster. Anaknya cukup asik, namun yang patut disesalkan, dia mengenal saya melalui mystory, blog saya di FS. Kenapa disesali? Karena blog tersebut isinya mengenai kegilaan, dan aib saya. Apes bener deh.

Pertanyaan yang ia lontarkan, kalo baca blogmu, sepertinya temanya tentang kesepian. Kamu lagi kesepian ya?

Ok deh kakak, kamu pintar sekali sih.

Memang tidak diperlukan kecerdasan atau wawasan yang luas dalam bersastra untuk melihat puisi dan prosa saya bertajuk apa, dan saya juga tidak berusaha untuk membela diri. Tapi saya rasa hal tersebut ada hubungannya dengan beberapa hal.

Bagi saya, rasa sepi, sunyi, merupakan bagian dari wajah kesendirian, dan itu lah manusia. Karena pada dasarnya manusia itu mahluk yang solitude, terindividualkan. Memang benar manusia mahluk sosial, tapi sosialisasi dibutuhkan hanya untuk kebutuhan aktualisasian diri, cermin bagi bayang-bayang diri. Manusia yang kehilangan arti saat jauh dari lingkungan sosialnya, adalah manusia yang tidak utuh, karena kepribadiannya justru dimiliki oleh lingkungan sosialnya. Mungkin seperti Narcissus yang merasa tidak berarti saat dia tidak melihat bayang wajahnya.

Saat manusia menjadi utuh, ia akan tetap sama saat sendiri maupun di tengah lingkungan sosialnya, karena memang lingkungannya hanya memantulkan apa yang ada. Saat manusia yang utuh berada sendiri, ia tetap berdaya guna. Bedanya saat berada ditengah lingkungannya, pemberdayaannya berguna bagi khalayan ramai. Manusia harus mampu hidup sendiri, karena demikian lah ia diciptakan. Manusia diciptakan sendiri-sendiri, dengan takdir sendiri-sendiri, dan akhirnya mati dengan sendirinya. Persinggungannya atara manusia dengan manusia lainnya hanya karena kebutuhan-kebutuhan mendasar saja, yang seharusnya tidak menjadi pegangan mereka dalam mengambil keputusan maupun bertindak.

Jika manusia menyerahkan dirinya berserakan kepada lingkungan sosialnya, maka dirinya menjadi miliki sosial, dan bukan lagi miliknya pribadi. Termasuk juga keputusan dan tindakan yang diambil, menjadi milik bersama.

Man is not just a number of in a collection. He has a destiny, and destiny is our individual solitude



.

Menulis Novel

Beberapa hari lalu teman saya dengan antusiasnya berkata bahwa dia sedang menulis novel. Sungguh mengejutkan, karena selama ini saya tidak pernah tahu minatnya terhadap dunia tulis-menulis. Selain sedang menulis novel, dia juga mengaku menulis beberapa cerpen. Akhirnya dia memperlihatkan ke pada saya draft novelnya serta beberapa cerpennya, dengan harapan saya bisa memberikan ide-ide baru serta kritik terhadap tulisannya.

Ok, saya tidak merasa orang yang ahli terhadap kesusastraan Indonesia, dan saya menerima tawaran dia sebagai teman, dan bukan sebagai ahli atau malah editor (karbitan).

saya: gw sudah terima email loe. Mana nih novelnya?
X: itu, yg judulnya xxx xxxx xxxx
saya: ow iya, iya. Tapi keknya file loe corrupt deh, soalnya cuma ada selembar aja nih.
X: gak kok, memang baru selembar aja. Soalnya gw baru mulai dari prolognya. Gimana? Kasih komentar ya hihi...

Ya saya tahu, saya memang bukan pengusaha yang sibuknya sehingga kekurangan waktu dalam sehari. Tapi tolong dong, kalo baru nulis selembar kurang, gak usah diomongin! Hello??! Gw komentarin apa dari prolog novel loe??! Selain itu yang dibilang cerpen itu hanya tulisan berupa satu setengah lembar A4, itu pun sudah dengan double spasi.

saya: hm gw sudah selesai baca nih
X: gimana?? Bagus gak? Kurang apa lg? Novelnya gimana?
saya: ugh, bw loe suka baca apa nih?
X: gw gak suka baca Yud. Bawaannya ngantuk terus kalo baca buku
saya: ooouww.....

Kamu memang tidak harus suka membaca, tapi kalo kamu ingin menulis buku, kamu WAJIB membaca. Saya suka sekali dengan kata-katanya AS Laksana, dan tidak pernah bosan-bosannya menggemakannya. Bahwa menulis itu perjalanan seorang pembaca. bagaimana mungkin kita bisa menulis dengan baik, jika kita tidak pernah membaca buku-buku yang baik. Sama seperti tidak mungkin kita bisa bermain musik, jika kita tidak pernah mendengarkan musik. Untuk belajar bermain musik, kita perlu mendengarkan musik-musik yang bagus. Tidak jauh berbeda, menulis pun demikian.

Originalitas
Biasanya dalih bagi seseorang untuk menutupi kemalasan mereka dalam membaca adalah originalitas. Mereka ingin menciptakan sebuah tulisan yang benar-benar baru dan orisinil tanpa meniru tulisan manapun. Mereka tidak ingin diintrupsi dengan aturan-aturan yang mengekang kreatifitasan murni, yang mereka sebut dengan original. Tidak hanya menulis, kembali lagi, di musik pun demikian. Banyak orang tidak mau melihar drummer senior mereka, atau membaca buku-buku tentang musik, dengan dalih serupa. Akhirnya bukan karya yang orisinal yang mereka dapatkan, melainkan karya kesurupan.

Dalam proses pembelajaran, metode yang paling dasar adalah meniru. Saat seorang bayi mulai belajar berbicara, atau berjalan, mereka menirukan orangtua mereka. tahu dong bagaimana senangnya dan histerisnya orangtua saat anak mereka berhasil mengucapkan kata 'ma-ma' atau 'pa-pa' untuk pertama kalinya. Untuk kasus di atas, musisi yang tidak pernah mendengar musik yang baik, dan penulis yang tidak pernah membaca buku yang baik, bagaimana mereka bisa belajar jika mereka tidak bisa meniru mana yang baik.

Perlu untuk dibedakan antara meniru dan menjiplak. Meniru adalah sebauh langkah awal dalam pembelajaran, sedangkan menjiplak adalah langkah awal dalam mencuri. Meniru adalah mengambil apa yang kita butuh, dan menginterpretasikannya dari sudut kita. Sedangkan menjiplak adalah mengambil apa yang bukan milik kita, dan mengintrupsikannya dengan nama kita.

Berlatih
Seperti bermain drum, berlatih itu bukan berarti bermain lagu sebanyak-banyaknya. Tapi melakukan hal-hal kecil tapi krusial, seperti rudiment, atau ada kalanya sight riding, mungkin juga melatih fill in, atau hal-hal kecil lainnya. Begitu juga dalam menulis. Saat kita berlatih menulis, bukan berarti menulis cerita sebanyak yang kita sanggup, atau sepanjang yang kita bisa. Berlatih menulis perlu difokuskan pada hal remeh-temeh. Ada kalanya kita berlatih menulis plot yang baik, atau berlatih menulis dialog, atau belajar mendeskripsikan, dsb.

Kita harus memfokuskan latihan pada hal-hal yang terlihat remeh-temeh. Ini lah esensi dalam berlatih; melakukan hal yang membosankan. Saat kita berlatih, kita melakukan apa yang kita tidak senang. Jika kita melakukan apa yang kita senang, namanya bermain.

Stamina
Mungkin kalo sekedar menulis untuk diari, atau tulisan konsumsi terbatas, tidak perlu muluk-muluk Tapi saat menulis menjadi pekerjaan, itu bukan soal mudah (namanya bekerja kan tidak ada yang mudah). Dibutuhkan daya tahan yang besar untuk tetap dapat bertahan di dalam kejenuhan. Dibutuhkan kesabaran untuk tetap menemukan ide-ide. Dibutuhkan stamina agar dapat menyelesaikan cerita hingga akhir.

Tidak jarang penulis yang memulai tulisan mereka dengan antusias yang tinggi, namun akhirnya terhenti di tengah-tengah karena kehilangan ide, antusias, atau malah arah cerita. Makanya tidak heran jika para penulis buku menganggap buku yang mereka tulis itu sebagai anak yang mereka kandung, dan akhirnya lahirkan saat diterbitkan. Walaupun 'ana-anak' mereka tidak selamanya bagus dari pemandangan orang lain (termasuk saya juga yang sering mencaci-caci buku orang), namun bagi penulisnya, buku mereka tetap yang terbaik.

20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008


Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 215halaman
Format : 14 cm x 21 cm

Buku ini merupakan gaung pra Anugerah Sastra Pena Kencana, selain buku 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008. Anugerah ini hadir untuk memberikan sebuah bentuk apresiasi ke pada dua bentuk sasta terpopuler, puisi dan cerpen. Memang hembusan angin reformasi pun berdampak dalam apresiasi cerpen dan puisi. Honor tertinggi untuk kedua sastra ini 250 ribu (puisi) dan satu hingga satu setengah juta rupiah (Cerpen), tapi masih juga ditemukan honor puisi 50 ribu dan cerpen 100 ribu rupiah.

Memang sudah banyak bentuk-bentuk apresiasi terhadap kedua sastra ini di Indonesia, seperti Kompas yang setiap tahunnya salalu memilih puisi dan cerpen terbaik (sampai 15juta rupiah), dan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Namun selain itu masih jarang adanya bentuk-bentuk pengharagaan secararutin yang diberikan terhadap pusi dan cerpen. Paling banter oleh Khaltulistiwa Literary Award (dengan masing-masing pemenang sekitar 100 juta rupiah), namun syarat utama pesetanya harus sudah menulis buku. karena alasan-alasan itu lah, Pena Kencana mengadakan perhelatan akbar ini.

Cerpen dari mana saja yang dimuat di sini?
Karena tidak bisa dipungkiri dewasa ini media terpopuler untuk sastra populer ini ialah koran (sastra koran), maka nominasi dipilih dari koran-koran nasional maupun daerah, seperti Jawa Post, Lampung Post, Bali Post, dsb. Selain itu, para pembaca juga dapat berpartisipasi dengan memilih cerpen terbaik (khususnya dalam buku ini) melalui sms interaktif. Cerpen dengan jumlah pilihan terbanyak akan menjadi Cerpen terbaik pilihan pembaca, sedangkan pemenang mutlaknya ditentukan dewan juri.

Dan inilah 20 Cerpen yang akan bersaing;

Tentang Seseorang yang Mati Tadi Pagi -- Agus Noor
Agus mengambil tema universal mengenai kematian. Membuat iri pembacanya dengan rahasia yang hampir diinginkan semua orang yang hidup. Ow iya, kamu bisa menemukan sindrom kopi di sini (pernah saya utarakan dalam postingsaya sebelumnya).

Paragraf Terakhir -- Antoni
Antoni memulai cerita dengan sindrom kopi (di cafe dengan segelas kopi). Jujur saja mungkin kesastraan saya maih awam, sehingga kok rasanya cerpen ini justru seolah seperti sepenggal bab dalam sebuah novel. Menjadi krusial saat berdiri di dalam bab novel, namun tak terselesaikan saat berdiri sendiri menjadi Cerpen. Tapi mungkin ini bukan paragraf terakhir, karena seperti penulisnya yang tidak diketahui.

Sumur Keseribu Tiga -- AS Laksana
Nah ini dia penulis favorit sekaligus guru saya. Namun seperti kebanyakan cerpen AS, saya kurang dapat menalar cerpennya.

Hikayat Kura-Kura Berjanggut -- Azhari
Berkisah mengenai seorang pendongeng yang kerap menghibur para pelaut yang menyandarkan kapal-kapal mereka di dermaga kesultanan. Sayangnya pendongeng ini dianggap menghina sultan, dan dongeng Hikayat Kura-Kura Berjanggut menjadi penyebab dan sekaligus dongeng terakhir yang ia tuturkan sebelum mati.

Sinai -- F Dewi Ria Utari
Mengadaptasi tema dari Kitab Suci perjanjian lama, kisah Musa dan gunung Sinai. Tentunya dengan interpretas imajinatif penulisnya.

La Cage aux Folles -- Eka Kurniawan
Mengisahkan sebuah Pub yang berada di jalan panjang La Ciénega Boulevard, California. Sedikit berbeda dengan pub-pub pada umumnya, karena pub ini menampilkan penyanyi yang memiliki wajah mirip artis terkenak, hasil operasi pelastik dan pergantian kelamin.

Bukan Yem -- Etik Juwita
Setelah tiga cerpen sebelumnya berlatar di luar negri, cerpen garapan Etik kembali lagi mengisahkan salah-satu polemik di Indonesia. Cerita ini berlatar para TKW yang baru kembali ke Indonesia, bahwa ternyata setelah pulang dari luar, mereka juga harus melalui pemerasan di negrinya sendiri.

Betaljemur -- Gunawan Maryanto
Gaya bertuturnya mirip kisah-kisah hikayat, atau dongeng sebelum tidur. Pesannya juga lugas, cendrung usang.

Kami Lepas Anak Kami -- Gus tf Sakai
Cerpen ini mungkin bergenre surealis. Mungkin mimpi, mungkin juga waham. Cerita dimulai seolah-olah orang tua yang sedang kehilangan anak, dan berbalik di akhir menjadi anak yang kehilangan orang tua.

Tiurmaida -- Hasal Al Banna
Mungkin rasa kebangsaan saya kurang, tapi saya suka tidak habis pikir jika sebuah cerita harus memiliki nama tokoh yang sulit. Menghafalkan nama saja sudah merupakan sebuah masalah tanpa akhir, ditambah lagi dengan sulitnya nama tersebut. Mengisahkan seorang wanita yang berusaha melawan nasib. Kalo saya lihat, justru akhir cerita merupakan kebahagiahan, karena akhirnya memperoleh tempat persinggahan.

Saleha di Tengah Badai salju -- Ida Ahdiah
Kita jalan-jalan keluar lagi. Temanya serupa dengan 'Bukan Yem', hanya saja masalah yang ditampilakn adalah pergolakan sebagai tenaga ilegal.

Kupu-Kupu Ibu -- Komang Ira Puspitaningsih
Terus terang saya suka sekali bagian awal dari cerpen ini. Sayangnya Ira menyelesaikannya dengan ringan (menurut saya loh ya!). Dalam bingkai yang terbatas ini, Ira juga memaksimalkan sudut bernarasi, walaupun cendrung sama.

Dua Perempuan -- Lan Fang
Cerpen ini unik. Berkisah mengenai pertanyaan-pertanyaan antara dua wanita yang bertetangga kamar. Uniknya seolah cerpen ini miliki dua penulis dan dua cerita berbeda namun bertalian. Dan akhirnya menyinggung mengenai masalah gender. Sayangnya dialog di akhir cerita kurang apik, malah terkesan dipaksa agar cocok.

Mawar di Kanal Macan -- M Iksaka Banu
Ceritanya khas cerita ranesi, atau kisah-kisah berlatar jaman perjuangan dulu. Temanya sendiri tentang cinta. Satu hal yang bisa dipelajari dari cerpen ini adalah setan pun bakalan kalah jahat kalau wanita sudah sakit hati. Hell.

Sebelum ke Takao -- Naomi Srikandi
Kisah pertemuan sepasang muda-mudi (kalo memang masih bisa diblang muda) yang memiliki nasib yang sama, sama-sama patah hati. Kalo saya tidak salah tangkap. Tema biasa, gaya menulis baik.

Seri Perjalanan -- Nukila Amal
Ini cerpen yang saya baca terakhir dari kumpulan cerpen-cerpen di buku ini. Di mulai dengan membosankan dan jenuh -- seorang musafis yang sedang melakukan perjalanan. Selain itu juga sepertinya cerpen ini cukup panjang. Namun setelah di baca, penulisnya cukup proaktif dalam bertutur. Alurnya juga lumayan.

Di Sini Dingin Sekali -- Puthut EA
Cerita ini menyoroti bencana yang terjadi di Aceh pasca tsunami. Sudut pandang yang diambil pun dari kacamata seorang bocah perempuan. Secara tidak lagsung bertutur mengenai polemik yang semakin sulit setelah bencana.

Sepotong Tangan -- Ratih Kumala
Walaupun judulnya serem, tapi ini kisah manis-romantis. Sayangnya kok lebay ya ??

Cinta di Atas Perahu Cadik -- Seno Gumira
Cerita yang bertutur mengenai sepasang muda-mudi yang saling mencinta dengan deburan nafsu yang sama kuatnya seperti ombak. Padahal masing-masing mereka sudah memiliki suami dan istri. Hm mungkin saya yang kolot, tapi saya kurang begitu suka kisah mengenai perselingkuhan dan semacamnya.

Cahaya Sunyi Ibu -- Triyanto Triwikromo
Mengisahkan tentang kisah ibunya yang berada di panti jompo. Usaha dari Rosa, untuk mencari tahu bagaimana ibunya yang sebenarnya di dalam panti jompo tsb.

Menurut saya, ini pekerjaan yang tidak mudah bagi juri untuk memilih mana yang terbaik dari ke dua-puluh cerpen ini, karena cerpen-cerpen ini dibuat oleh penulis senior Indonesia, dengan tema yang bagus, kesusastraan yang tinggi, dan teknik yang baik. Saya pribadi memiliki beberapa yang terfavorit; Tentang Seseorang yang Mati Tadi Pagi (ceritanya melekat lama di benak saya, bahkan iri dibuatnya), Bukan Yem (mungki karena saya jauh dari isu TKW, sehingga kisah ini menarik buat saya), Kupu-Kupu Ibu (saya suka sekali dengan awalnya), dan Dua Perempuan (ini yang terbaik dalam bernarasi menurut saya).

Bagi yang ingin menulis cerpen atau sekedar ingin mengetahui perkembangan sastra Indonesia, pelu membaca buku ini. Paling tidak dari penghargaan semacam ini, kita bisa mengetahui barometer kesusastraan Indoensia dan cerpen-cerpen yang bermutu.

Ranking A buat buku ini.

Hubbu

Penulis : Mashuri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 237 halaman
Format : 13,5 cm x 20 cm




Ini novel juara pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Awalnya saya sempat berpikir, Kalo juara satunya sayembara DKJ seperti ini, gw juga bisa juara satu kali!, pikir saya sewaktu menapaki halaman-halaman pertama buku ini. Namun pikiran tersebut sirna begitu mengetahui keunikannya, walaupun akhirnya tidak terlalu istimewa. Dengan latar belakang pesantren dan budaya Jawa, Mashuri meraciknya menjadi sebuah kisah; Cinta, yang dalam bahasa Arab adalah Hubbu.

Kisahnya ini bertutur mengenai Abdullah Sattar, yang lebih dikenal dengan nama Jarot. Seorang pemuda asal Alas Abang, anak keturunan Kiai pendiri kampung. Jarot terhitung cerdas, dan memiliki daya hafal tinggi dalam sekali baca. Hal ini ditunjukan dengan mudahnya ia menghafalkan perubahan kata bahasa Arab, yang memang membutuhkan hafalam murni. Namun karena cerdasnya, ia cendrung cepat bosan. Bukan karena ia malas belajar, namun sebaliknya, karena dia memiliki keingintahuan yang besar untuk mempelajari segala hal.

Dimulai saat ia bertemu uak Tomo, sosok yang berkecimpung dalam budaya Jawa, termasuk kejawennya. Dari situ ia mengenal Sastra Gendra, yang akhirnya menjadi tujuan dan pencariannya seumur hidup. Mencoba mengungkap Sastra Gendra dan menggabungkan budaya Islam dan budaya Jawa yang kuat.

Dari Alas Abang ia melanjutkan kuliahnya ke Surabaya, dan lari dari tanggung jawabnya sebagai penerus Alas Abang. Alasannya, karena ia belum siap dan belum menemukan jawaban-jawaban pertanyaan hidupnya. Di Surabaya ia bertemu dengan Putri, yang melambangkan sebuah budaya moderen. Awalnya nilai-nilai agama yang begitu kuat mampu dipegangnya, namun mulai terkikis, dan akhirnya ia mendapati dirinya tidur seranjang dengan seorang gadis. Karena rasa berdosa, bersalah dan malunya, ia tidak kembali ke Alas Abang, malah memilih melarikan diri ke Ambon.

Dasar Cerita
Mungkin bisa dibilang keeksotikan buku ini terletak dari tema yang tidak umum, budaya Islam dan sastra Jawa, khususnya dalam hal ini Sastra Gendra, sebuah tema yang diambil dari cerita Pewayangan Ramayana. Cerita pewayangan inilah yang menjadi alur bagi cerita besutan Mashuri, bahkan lebih dari itu, cerita ini dimulai dengan Lontar Lokapala, prolog Wisrawana. Bagi yang tidak tahu, mungkin ada baiknya kita menilik kisah pewayangan yang diserap dalam Hubbu.

Alkisah, anak dari Begawan Wisrawa, Wisrawana, jatuh cinta kepada Dewi Sukesi, putri Alengka. Wisrawana merupakan penerus kerajaan Lokapala yang di pimpin ayahnya, tapi ia memilih mengasingkan diri menjadi petapa, tapi karena cintanya kepada Dewi Sukesi sehingga ia turun gunung. Ayahnya tahu bahwa Wisrawana tidak sanggup memenuhi dua syarat untuk mendapatkan Dewi Sukesi. Syarat pertama dari Dewi Sukesi, bahwa pemuda yang meminangnya harus memiliki kecakapan sastra. Sedangkan syarat kedua justru datang dari paman Dewi Sukesi, Arya Jambumangli yang memiliki maksud juga dengan kemanakannya itu. Syarat itu adalah mengalahkan dirinya. Hal itu hampir mustahil, karena di Alengka ialah yang paling perkasa.

Begawan Wisrawa yang tak tega melihat putranya merana karena cinta, sehingga ia turun dalam sayembara itu, sekaligus mempertaruhkan hubungan persahabatannya dengan Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi. Begawan Wisrawa berangkat mengalahkan Arya Jambumangli dan merebut hak memiliki Dewi Sukesi. Sebagai ayah, ia ingin membawa Dewi Sukesi dan menghadiahkannya pada Wisrawana, putra yang dikasihinya. Namun syarat kedua ini lah yang membawa petaka. Dewi Sukesi minta dibukanya rahasia Ilmu Sastra Gendra Hayuningrat Pangrumating Diyu - Sastra Gendra.

Namun sastra Gendra menyimpan rahasia langit, dan karena inilah sehingga swargaloka mencegah, dengan mengirim sepasang dewa merasuki dua insan sehingga yang terjadi justru birahi berapi-api. Lalu, bukan hanya Wisrawana yang mesti terpenggal dari cintanya, lebih jauh, dari persenggamaan itu lahirlah: Rahwana, Kumbakarna dan Sarpakenaka yang membawa angkara ke dunia.

Sayangnya, setelah mengetahui dasar ceritanya pun, saya masih belum bisa menangkap pertaliannya dengan kisah Jarot di Hubbu ini. Justru saya melihat dari mulut Jarotlah ia merasa seperti tokoh Wiswarana, dan seolah dipaksakan dan tempelan antara kisah Mahabarata dengan Jarot. Mungkin benar seperti kata Fanabis, novel ini dimuai dengan kuat, namun Mashuri tidak memiliki kapasitas dalam mempertahankan intensitas kekuatan cerita ini.

Bentuk Eksperimen Penulis
Di Hubbu ini ada yang tidak seperti biasanya. Gaya bertutur Mashuri melompat-lompat. Mungkin sudah tidak jarang kita melihat novel yang memainkan alur cerita, antara maju dengan mundur, tapi penggunaan kata 'mengingatkan',dan 'aku ingat' menjadi rambu usang yang sepertinya sudah terlalu sering dipakai untuk mundur. Sepertinya Mashuri malas mencari kata-kata baru sebagai padanan. Padahal seperti kata AS Laksana, padanan baru bisa menjadi signature khusus kita dalam keahasanahan tulisan.

Selain alur, Mashuri bereksperimen lebih jauh lagi. Ia melompat diantra tokoh-tokoh yang ada. Bahkan tidak sedikit menempatkan 'aku' bagi tokoh bukan utama. Sebenarnya ini bisa jadi tambang bagus bila dikerjakan dengan baik. Sayangnya justru seperti bumerang bagi penulis, karena absrud. Hal ini sempat terjadi pada halaman 21, percakapan Jarot dengan ibunya. Entah mengapa Mashuri menggunakan,
"kalau sudah bermain, lupa sekolah!", omel si perempuan tadi, yang ternyata adalah ibu jarot, muthmainnah.

"tidak bu. saya kira sudah magrib!", seru jarot.

perempuan yang ternyata ibu jarot itu langsung……
Bahkan penulisnya sempat lupa kalo perempuan tadi itu ibunya. Masih belum puas, diulangnya tepat di bawa. Tapi dengan lompatan-lompatan ini, justru membuat kisah ini menyisahkan kejutan terakhir di akhir cerita. Walaupun tokoh Aida dan tokoh-tokoh lain yang bernarasi sebagai orang pertama memiliki 'suara' yang sama.

Hubbu masih terlihat seperti ajang bereksperimen. Karena selain gaya bercerita tersebut, Mashuri juga mencoba menulis dengan berbagai bentuk. Dari bentuk diari, sampai bentuk surat. Kembali lagi ini terlihat patah bagi keutuhan ceritanya.

Kalo mencermati riwayat penulis, sepertinya buku ini mengkisahkan tentang penulisnya sendiri. Mungkin karena alasan ini lah, novel ini masih utuh hingga sekarang. Mengingat juga ini adalah novel pertama Mashuri, jadi tentunya sudah merupakan kewajiban berbagai pemakluman dalam buku ini.

(-) Poor
  • banyaknya kisah yang seolah dipaksakan, atau seperti tempelan, yang justru kok terbalik dengan penilaian dewan jurinya
  • ini seperti novel lama, kata-kata lama, dengan sampul yang baru

(+) Rich
  • novel ini mengusung tema yang tidak biasa
  • setidaknya novel ini juara Sayembara DKJ 2006

Ranking C buat buku ini.

Rokok, Kopi, Hujan dan Cerpen

Sejak kemarin malam Jakarta di guyur hujan sampai pagi ini. Herannya justru tidak ada titik banjir di Ibu Kota, entah karena Pemda sudah bekerja giat, atau karena hujannya tidak terlampau deras. Sepertinya yang paling mungkin adalah yang kedua.

Bicara mengenai hujan, itu berbicara mengenai hal yang saya sukai. Memang saat hujan turun, beberapa aktivitas bisa ikut terhenti. Tapi tidak ada hal yang lebih menyenangkan buatku selain hujan di pagi hari -- berbarin di ranjang dengan bed cover tebal, segelas kopi dan sebuah buku. Tidak ada juga hal yang lebih menenangkan hati selain tidak bergeming di bawah siraman air hujan, saat banyak pikiran. Tapi sepertinya tidak hanya saya saja yang suka dengan hal-hal ini.

Belakangan ini saya sedang getol-getolnya membaca cerpen (cerita pendek). Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan lalu, tapi baru-baru ini saya sadar. Ternyata kebanyakan cerpen memiliki stereotipe kopi, rokok, dan hujan. Bahkan setelah saya amati cerpen-cerpen saya sendiri, baik yang sudah pernah di publikasikan, dan yang masih tersimpan di folder, ternyata SEMUANYA memiliki stereotipe kopi, rokok, dan atau hujan! tidak jarang juga setting cerita yang dimulai di cafe atau di warkop, yang salah-satu tokohnya sedang meminum kopi. Sangkin populernya, bahkan kopi pernah menjadi artisnya Dewi Lestari yang ditulis dalam Filosofi Kopi.

Kalo mau dirunut, sindrom ini sebenarnya menjawab sebuah pertanyaan klise dalam membuat cerpen. Dari dulu sampai sekrang, setiap teman yang membaca cerpen-cerpen saya pasti akan (selalu) bertanya,
Yud, ini kisah nyata loe ya?
atau, kok cerpen loe kek curhat ke pembaca gini?
Ada juga yang langsung to the point, ini berapa persen yg bener, dan berapa persen yg boongan?

Menggemberikannya, ternyata tidak saya saja yang mengalami hal ini. Hampir rata-rata cerpenis punya pengalaman serupa, apa lagi orang-orang yang memiliki gaya bernarasi orang pertama.

Fiktif vs Kisah Nyata
Pada sindrom kopi, rokok dan hujan, ke tiga kata ini secara proaktif menciptakan pengalaman yang sendu terhadap pembacanya. Namun selain itu karena ini juga keseharian yang tidak lepas dari penulis. Walaupun saya tidak merokok, namun tidak bisa ditampik rokok itu tidak lepas dari kopi. Karena penulis perlu menjaga kesadarannya agar tetap terjaga sebelum deadline selesai, maka ini lah teman terbaiknya. Hujan? Beberapa waktu lalu teman saya ada yang berkata kalo biasanya penulis itu rata-rata orang yang melankolis. Ya tahu sendiri kan hujan itu cendrung di sukai oleh orang yang pemurung, jadi tidak heran kalo hujan turut disertakan dalam tulisan mereka. Atau mungkin saja hujan ini hanya sekedar pembelaan pribadi saya.

Sindrom inilah yang sering kali tidak disadari (mungkin juga sadar, tapi tetap sengaja) oleh penulis, sehingga memasukan pengalaman pribadi mereka dalam penokohan. Tapi saya tidak bilang semua cerpen pasti ada sindrom demikian loh! Hanya saja yang bisa saya jamin, lima dari sepuluh cerpen pasti memuat sindrom ini. Sindrom ini yang menjadi bukti langsung kalo semua cerita itu berawal dari kisah nyata.

Tapi sampai sejauh mana batas antara kisah nyata dengan jagat imajinasi?

Walaupun sebuah cerita kamu ambil utuh-utuh dari kisah nyata pengalam pribadi, hanya saja pasti nama, tempat, dan lokasi akan diubah. Mungkin juga menukar-nukar posisi tokoh, atau menyusun ulang plot agar enak dibaca. Akhirnya kisah tersebut tidak lagi disebut sebuah kisah nyata atau jurnal curhat, melainkan sebuah cerita yang utuh dan bisa dinikmati. Maka dari itu saya juga kurang setuju kalo ada orang yang bilang menulis hanya membutuhkan imajinasi.

Selain kecakapan dalam menyusun plot, agar menarik, sebuah kisah juga harus dapat meyakinkan dan dapat di percaya. Sekalipun cerita fantasi, tapi fantasi tsb harus logis. Semakin logis ceritanya, semakin meyakinkan dan menarik untuk disimak. Nah menurutmu di mana mencari sebuah kisah yang benar-benar dapat di percaya? Tentunya dalam sebuah kehidupan nyata. Kalaupun cerita tersebut murni dari jagad fantasimu, cerita tersebut harus dihadirkan dalam kehidupan nyata, sehingga pendengar atau pembaca akan percaya. Ini merupakan alasan bahwa cerpen itu harus dari kisah yang nyata dan tidak ada yang namanya cerita imajinasi murni.

Di saat yang bersamaan, sebuah kisah harus memiliki nilai cerita, karena tidak semua kisah bisa menjadi cerita. Maksudnya begini, jika sebuah cerita hanya sekedar menyalin kisah sehari-hari, maka orang tidak perlu membaca ceritamu, karena orang sudah melihatnya setiap hari. Kamu perlu imajinasi dalam menyusun potongan kejadian sehari-hari agar menjadi sebuah cerita yang menarik. Unsur ini lah yang tidak dimiliki dalam kehidupan nyata.

Seorang storyteller bukanlah seorang yang memiliki imajinasi tanpa batas, melainkan orang yang pintar menyusun plot dan bertutur. Dua orang bisa melihat sebuah pengalaman yang sama, menceritakan hal yang sama, namun bisa berbeda ketertarikan kita dalam mendengarnya.

Bentuk
Berbeda dengan novel, novel memiliki banyak gaya dalam bertutur cerita. Mulai dari yang konvensional (penokohan orang pertama, kedua, dan ketiga), atau yang paling mutakhir dengan gaya sebuah jurnal, atau dengan observasi simpatisan. Contohnya buku yang pernah saya review disini. Gaya bercerita seperti ini sebenarnya pengembangan dari 1st person indirect. Bisa juga hal yang sama di tiru untuk orang kedua, hanya saja membuat keterlibatannya akan semakin jauh dari cerita.

Sedangkan cerpen memiliki seting cerita dan konflik yang terbatas. Namun demikian, hampir semua gaya penulisan dalam novel dapat digunakan dalam penulisan cerpen. Jadi sebenarnya sah saja jika menyalin jurnal dapat menjadi sebuah cerpen. Tapi kembali lagi, kisah tersebut harus memiliki nilai cerita agar bisa dinikmati.


Siapa tahu teman-teman punya opini sendiri mengenai cerpen, jadi bisa berbagi juga di sini.

Sebuah Cerpen

Sebuah cerpen, termasuk dalam bagian karya sastra yang penting, bahkan peranannya dalam sastra Indonesia. Sebagian orang menganggap cerpen bukanlah sebuah karya yang utuh. Tidak usah jauh-jauh, saya pun dulu sempat beranggapan demikian. Sebuah cerpen hanya menjadi lingkup pengisi ruang kosong dalam majalah atau koran. Sebuah media pembelajaran bagi anak-anak agar sedari dini suka membaca, dan seharusnya karya sastra buat orang dewasa adalah novel.

Begitu juga dengan pengarangnya. Bagi saya justru menulis cerpen terlihat seperti kegiatan membuang 'limbah sastra' bagi pengarang, saat novel mereka belum juga rampung. Seperti pendapat Umar Kayam, bahwa seorang pengarang belum lah lengkap, sebelum mereka menulis novel. Mungkin karena bingkai cerpen yang terbatas, sehingga masalah yang dibahas pun akan menjadi terbatas. Tapi apakah benar cerpen hanya sebuah limbah sastra dari karya yang lebih besar, seperti novel?

Sebelum mengupas kepentingan cerpen dalam kehasanahan sastra, ada baiknya kita mencari tahu definisi dari Cerpen. Tentunya, kamu pasti tahu Cerpen singkatan dari Cerita Pendek, tidak ada penjelasan yang lebih pendek lagi dari itu. Tapi pertanyaannya, sependek apakah cerita itu agar masuk dalam cerita pendek? Apa lagi dalam bahasa inggris, Cerpen dibedakan lagi menjadi long short story dan short short story.

Kembali ke Masa Lalu
Banyak rambu yang diletakan oleh para pelopor penerbitan dan editor, agar sebuah karangan tetap dalam bingkai cerita pendek. E Allan Poe, seorang pengarang, cerpenis, dan editor pada abad ke-19, mengatakan bahwa cerpen itu harus dibaca at one sitting, dalam sekali duduk. Mungkin ini bisa memicu perdebatan baru, berapa lama waktu untuk sekali duduk. Namun yang pasti ruang lingkup yang terbatas itulah, sehingga tidak mungkin mengangkat masalah yang kompleks.

Berbeda dengan Balai Pustaka (BP), pelopor penerbitan di Indonesia, memiliki sudut yang berbeda dalam memandang Cerpen. Cerpen dianggap sebuah kisah yang dibaca untuk mengisi waktu. Memang terdengar konyol, namun perlu diingat, bahwa BP merupakan penerbit terhormat, penerbit sastra kanon, dan penerbit sastra bermutu, bukan sebaliknya, sastra picisan. Ironisnya, cerita-cerita pengisi waktu inilah yang justru populer, malah sekitar 1950-an mayoritas karya sastra di Indonesia adalah Cerpen. Justru Novel sangat jarang saat itu.

Perdebatan 'sependek apakah sebuah karangan Cerpen' masih berlajut sampai sekarang. Seturut perkembangan jaman, sepertinya akan semakin mudah untuk menentukan seberapa pendek sebuah Cerpen. Beberapa media nasional menetapkan jumlah kata dan kalimat untuk menjadi patokan panjang-pendeknya Cerpen; 6-8 lembar kertas A4, diketik berjarak 1,5 spasi, 12 point, font Times New Roman. Untuk versi inggris kira-kira sependek ini juga, malah cendrung lebih pendek lagi. Sedangkan untuk short short story bisa dalam beberapa paragraf saja (malah saya pernah baca hanya berisi satu paragraf). Lebih mudah bukan?

Perdebatan Sepanjang Masa
Lantas kenapa harus pendek? Mungkin alasan ini datang dari kesibukan manusia yang semakin menggila, sehingga waktu senggang semakin terbatas. Di dalam rutinitas yang padat ini, Cerpen menjadi sebuah terminal, tempat persinggahan, baik bagi pembaca maupun penulisnya. Pembaca membutuhkan cerpen, sedangkan penulis membutuhkan media untuk kisahnya. Sayangnya Cerpen harus dikondisikan dengan baik dalam sebuah media (koran dan majalah). Tema serta panjang-pendeknya cerita menjadi pengkondisian dari sebuah Cerpen. Mungkin bisa di bilang ini lah alasan paling netral untuk mengakhiri perselisihan panjang-pendeknya sebuah Cerpen.

Sudah bisakah bernafas lega? Sayangnya belum. Dewasa ini, saat reformasi mengisi semua bidang, termasuk sastra dan industrinya, Cerpen pun tidak lepas bereformasi. Semakin maraknya buku-buku baru keluar, berisi mengenai segala hal, seolah juga Cerpen menemukan media baru selain korang dan majalah. Tidak jarang kita menemukan deretan buku dengan judul 'Kumpulan Cerpen si Anu' (yang biasanya seorang penulis terkenal, atau artis, atau malah bukan siapa-siapa). Seolah menemukan kebebasannya, tidak jarang Cerpen yang ditemukan dalam kumpulan tersebut, tidak memiliki aturan baku mengenai panjang pendeknya sebuah Cerpen agar bisa di sebut Cerpen. Malah saya pernah baca sebuah Cerpen yang hampir menghabiskan 15 halaman buku, setengah dari syarat Cerita Bersambung.

Sepertinya memang Cerpen hanya dibatasi oleh media yang terbatas. Karya sastra tahunya hanya bersastra, dan bagi penulisnya berkarya; sedangkan ukuran ditentukan oleh medianya. Mungkin juga tidak menutup kemungkinan jika sebuah cerita di muat dalam buletin, maka akan muncul istilah Cersapen, Cerita Sangat Pendek.


Akhirnya bagi saya, sebuah Cerpen adalah masalah ukuran 'kanvas'. Sama seperti lukisan Three Musicians-nya Picasso, akan sama nilai seninya dengan lukisan raksasa Leonardo da Vinci, The Last Supper.

Siapa Takut Mati (Hidup)?!!

Barusan saya baca berita disini.

Heran, kok orang beramai-ramai mau mati ya? Memang dipikirnya hebat ya kalo bisa mati? Jagoan gitu kalo bisa mati lebih cepat dari orang lain?

Memang kematian itu masuk dalam urutan lima besar hal yang paling menakutkan bagi manusia -- di antara ular dan berbicara di depan umum -- tapi bukan karena kematian itu menyakitkan. Semata-mata manusia takut mati karena tidak ada yang tahu ada apa di balik kematian. Sudah menjadi kodratnya manusia untuk mengkhawatirkan apa yang tidak pasti baginya.

Contohnya, orang bekerja dan menabung. Saya tidak bilang menabung itu salah, itu keliru. Bekerja dan menabung merupaka bagian dari merencanakan hidup, dan sebagaimana hidup yang baik, perlu untuk direncanakan. Tapi banyak dari kita bekerja dan menabung karena dorongan ketakutan. karena takut besok saya akan hidup susah, makanya saya bekerja; karena takut besok istri dan anak saya tidak makan, makanya saya bekerja; karena takut anak-anak tidak sekolah, makanya saya menabung.

Karena masa depan yang tidak pasti itu, manusia mencoba sedaya-upaya agar bisa menjamin masa depan. Tidak heran kalo polis asuransi begitu laku di negara maju.

Di negara kita?
Buat makan aja susah bos, boro-boro ikut asuransi.

Jadi bekerja, menabung dan ikut asuransi salah?
Tidak, tapi motivasinya keliru. Kalo kita menabur ketakutan dalam tiap usaha dan jerih lelah kita, tentunya yang kita tuai adalah kehawatiran, sekalipun kita sudah punya segalanya. Selain itu tolak ukur kita terhadap orang lain pun adalah 'apa yang kamu miliki atau tidak kamu miliki'. Dan bukannya itu sama saja dengan mati, terpenjara dalam hidup?

Kembali kepada kematian. Karena kematian merupakan rahasia hidup, dan tidak ada yang bisa menjamin apa yang ada di balik kematian, maka kematian menjadi sebuah ketakutan manusia. Tapi jika dibanding hidup, maka kematian itu tidak ada apa-apanya.

Dibutuhkan nyali dan keberanian lebih besar untuk hidup dari pada untuk mati. Dibanding kematian, yang hanya sekali, hidup itu berkali-kali. Belasan tahun yang lalu, ada seorang teman yang berkata kepada saya, lebih baik mati konyol dari pada hidup konyol. Karena mati konyol hanya kekonyolan satu hari, dibanding hidup konyol yang berarti kekonyolan setiap hari.

Hidup memiliki banyak kesempatan dengan berbagai kemungkinan yang berbeda, sedangkan kematian tidak memberikan kita kemungkinan lain. Dengan banyaknya kesempatan dan kemungkinan, maka hidup menjadi lebih susah dari kematian. Dibutuhkan banyaknya usaha dan kerja keras untuk setiap kesempatan dan kemungkinan. Sedangkan dalam kematian tentu tidak ada istilah kerja keras. Jika kamu ingin hidupmu berhasil, maka bekerjalah dengan keras, tapi jika kamu ingin kematianmu berhasil, maka tunggulah dengan sabar.

Mengutip kata Emil Cioran, kita dapat memilih kapan pun ingin mati (maksudnya dengan membunuh diri.red), tapi kita tidak bisa memilih kapan kita ingin hidup. Dan karena kematian itu mudah untuk dijangkau, maka kita harus bertahan hidup sekuat mungkin.

Apa lagi bagi beberapa orang yang sudah memiliki kepastian sesudah mati, yaitu di dalam Kasih Kristus Yesus, maka kematian bukan lagi menjadi momok. Seperti kata Petrus,

Mati adalah keuntungan, dan hidup adalah bagi Kristus




-

Kisah Hidup Michael K

Judul asli: Life and Times of Michael K (1983)
Penulis: J. M. Coetzee
Penerjemah: Ranny Wahyudi
Penerbit: Jalasutra, Desember 2007
Tebal: 246 hlm (192hlm edisi asli)
Format: 12 cm x 19 cm




Hanya sedikit buku terjemahan yang memiliki cover lebih bagus dari aslinya, salah-satunya buku ini. Baik warna, figur dan disain, lebih tepat edisi Jalansutra. Memang cover dalam edisi Vintage Books; New Ed edition, menggambarankan sebuah journey, sayangnya perjalanan yang dilakukan adalah di sebuah benua bernama Afrika, yang tentu saja jarang pepohonan.

Di kisahkan dalam buku ini, seorang pemuda yang lahir di Cape Town, Afrika Selatan, sekitar tahun 1970an, saat terjadi perang saudara. Michael K lahir dengan kemampuan berpikir yang lambat dan cacat bawaan, labioschizis atau cleft lip (bahasa umumnya sumbing). K lahir ditengah-tengah kemiskinan dengan orang tua tunggal.

Masa kecilnya ia habiskan di asrama untuk anak-anak cacat di Huis Norenius, tempat atas biaya negara. Setelah dia dewasa, ia bekerja di dinas Pertamanan dan Perkebunan layanan kota Cape Town.

Saat usianya menginjak 31 tahun, dia pun harus merawat ibunya, Anna K, yang sakit-sakitan. Kalo menurut saya, perhatian dan pengabdian yang dia berikan kepada ibunya, cendrung mengarah ke Oedipus Complek. Anna K sendiri tinggal di sebuah kamar kecil yang diberikan atas kemurahan majikannya. Karena Anna K sudah tidak dapat bekerja apa-apa lagi. Karena kesusahan-kesusahan ini lah, maka Anna K memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, Prince Albert.

Sayangnya tidak semudah itu untuk berpergian saat perang berkecamuk. Dibutuhkan ijin dari pihak keamanan. Sebenarnya ijin sudah mereka dapatkan, hanya saja untuk dua bulan ke depan. Dengan kesehatan Anna K, rasanya tidak sanggup untuk menunggu selama itu.

Pecah kerusuhan di daerah tempat tinggal mereka, dan itu membuat mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Singkat cerita K memutuskan untuk melakukan perjalanan tanpa menunggu surat ijin. Percobaan pertama, K membawa ibunya dengan kereta, namun gagal di pos jaga.

Kali kedua mereka mencoba melakukan perjalanan dengan rute yang berbeda, mengambil jalan yang lebih jauh lagi. Kali ini mungkin bisa di bilang berhasil.

Dalam perjalanan kedua, mereka menghindari jalan utama sejauh mungkin. Tidur di semak dan gorong-gorong untuk menghindari patroli malam. Hujan - kehujanan, panas - kepanasan. Sayangnya fisik Anna K tidak dapat bertahan dalam cuaca yang keras. Di tengah perjalanan Anna K masuk RS. Tidak berapa lama akhirnya meninggal.

Ditengah kebingungan ini, K berusaha membawa abu ibunya menuju kampung halaman Anna K, Prince Albert. Setelah melewati berbagai rintangan (pos penjagaan, bandit yang merampok barang-barang, dan kerja paksa menggali jalan) akhirnya sampai juga di rumah keluarga Visagie, keluarga ibunya di Prince Albert. Sayangnya ternyata keluarga Visagie sudah lama meninggalkan Prince Albert. Kini tanah perkebunan berganti tanah merah yang keras, dan rumah berganti puing rongsok. Untuk sesaat K terpejam, mengenang semua yang sudah dia lalui selama ini.

Setelah mengubur abu ibunya, dia bertekat membangun perkebunan tsb. Bukan karena sebuah kemenangan, melainkan karena sebuah dorongan alamiah (mungkin) dari seorang petani. Sebagai anak-anak bumi, mencoba melahirkan 'anak' dari tanah. Selain itu karena perkebunan itu tidak menunjukan tanda-randa manusia lainnya, dan K bahagia bila merasa hanya sendiri di muka bumi ini. Sayangnya cucu Visagie tiba di rumah itu sebagai seorang pelarian dari tugas militernya.

Selanjutnya mungkin kamu harus membacanya sendiri.

Coetzee begitu pandai mengontrol alur dalam buku ini. Untuk permulaan cerita, alurnya begitu cepat. Dalam satu kalimat, bisa merekap beberapa kejadian sekaligus. Seolah-solah Coetzee ingin mengatakan tidak ada yang istimewa di awal hidup K. Namun selama perjalanan K di padang tandus, juga di kamp Pengungsian, alur begitu lambat, seolah mencoba mencecap setiap makna dari bagian cerita.

Buku ini menyoroti tindakan kekerasan, ketidakstabilan keamanan, kekacauan selama perang, juga masalah pangan dan kesehatan yang biasa terjadi di negara-negara ketiga.

Coetzee memang maestro untuk fiksi moral. Saya termasuk penggemar tulisan dan buku-buku Coetzee. Buku-buku Coetzee yang pernah saya baca selain ini, antara lain Disgrace dan Age of Iron. Buku-buku Coetzee tidak lepas dari masalah sosial, dan moral.

Walaupun buku-bukunya langganan berbagai pengharagaan, Booker Prize bahkan nobel sastra, namun bukan hal yang mudah untuk memahami tulisan-tulisannya.

Tidak terkecuali pun seperti dalam buku Kisah Hidup Michael K, Booker Winner 1983, Book Awards Challenge dan Eponymous Challenge. Awalnya saya berpikir Ranny Wahyudi kurang pandai dalam menginterpretasikan tulisan Coetzee agar enak dan mudah dibaca - sekedar menyadur dari versi inggrisnya. Sayangnya memang kenyataannya buku ini bukan buku yang mudah dicerna.

Ini sebagian dari yang bisa saya kutip dari buku ini (dan sampai sekarang pun saya masih belum mengerti betul pesannya apa),

Kalo mau ia bisa langsung kembali; tetapi dengan resiko dihina kedua kali, ia membantu ibunya kembali ke kereta dan mendorongnya sedalam mungkin, tempat ada jip di parkir di sisi jalan dan tiga orang tentara memasak teh di atas kompor kamping.

Kutipan ini di kutip dari halaman 27-28, paragraf baru, kalimat baru. Entah bagian penyunting yang keliru dalam menggunakan tanda baca, atau memang demikian aslinya.

Review yang lain bisa di lihat disini. Sayangnya dia sendiri tidak selesai membaca buku ini, dikarnakan rasa frustasi dalam membaca Life&Time of Michael K.

Terlepas dari kekurangannya, buku-buku Coetzee, entah bagaimana, memiliki magnet yang kuat. Walaupun 'pesan' susah untuk dimengerti, namun 'kesan' kuat melekat (seusai membaca kisah K, entah kenapa saya merasa kelaparan sepanjang hari, tanpa ingin makan).

Tulisannya memaksa kita untuk berusaha melihat dan memahami masalah-masalah sosial yang terjadi di dunia yang jauh dari arti kemakmuran. Bagi saya, sebuah buku harus lebih dari sekedar kumpulan bab, muara dari ribuan kalimat dan jutaan kata. Sebuah buku harus memiliki pesan yang tetap tinggal bagi pembacanya. Sukur-sukur kalo bisa membawa perubahan yang positif bagi pembaca.

Poor (-)
  • Susah untuk dimengerti
  • bukan bacaan di kala senggang
  • alur yang membosankan
  • bukan sebuah cerita (He's won many awards, including the Nobel prize, and this is a Man Booker winner, but I need more story in my books)
Rich (+)
  • Hanya sedikit buku fiksi moral yang bagus, dan ini yang terbaik

Tidak semua orang mungkin suka membaca buku macam ini, jadi ranking B untuk ini buku.

Ow iya, ini buku fiksi ya, bukan kisah nyata. Soalnya ada situs buku yang justru mengkategorikan buku ini ke Kisah Nyata.