Perangkat Industri Musik: Manager Musik

Setiap tahun terdapat peningkatan signifikan musisi yang terjun ke industri musik. Gw sendiri gak pegang data pastinya, tapi itu bisa dilihat dengan jumlah band baru tahun 2009 yang meningkat dibandingkan tahun 2008, dan itu masih terus meningkat di tahun ini. Berita bagusnya itu barometer iklim yang positif untuk industri musik. Namun yang patut disayangkan genrenya masih itu-itu saja. Kita harapkan di tahun ini bisa muncul band-band dengan musik yang segar dan genre yang gak mindstream.

Namun bukan berarti musisi saat ini lebih terdidik dan melek industri musik. Kebanyakan band menyodorkan demo rekaman dengan harapan musik mereka bisa mewujudkan mimpi tinggi untuk menjadi artis nasional. Mereka datang tanpa mengerti perangkat industri musik. Seperti halnya industri lainnya, industri musik adalah tempat yang keras untuk hidup. Masalahnya banyak band/artist hanya berpikir mereka mau berkarya tanpa mau dipusingkan dengan hal lainnya.

Buat kamu yang mau terjun ke industri musik, pastikan beberapa hal terlebih dahulu. Beberapa instrumen industri musik yang perlu kamu ketahui: band/artist sendiri, manager band/artist, manager road, produser, promotor, dan broker (tolong tambahkan kalo ada yang terlwat).

Masing-masing punya fungsinya sendiri-sendiri dan semakin cepat kamu mengetahuinya semakin baik tindakanmu. Kita bahas satu-satu mulai dari manager band/artis.


MANAGER BAND/ARTIS

Beberapa waktu lalu sempat ada diskusi menarik di forum musik soal hubungan kerja antara manager dengan band/artisnya. Apakah posisi manager berada di atas band/artistnya atau sebaliknya, band/artist berada di atas managernya?
Jawaban yang paling tepat adalah mereka sejajar. Masing-masing dari manager dan artis berada dan tunduk pada sistem yang disepakati, yaitu kontrak kerja. Selama masing-masing menunaikan kewajibannya maka masing-masing akan memperoleh haknya. Namun seperti yang dikatakan Mitch Weiss (manager artist kawakan asal NY), industri musik itu bisnis tanpa aturan jelas. Yang bisa menjadi pegangan hanya etika dan nurani.

Tugas manager band/artist apa?
Pertengahan tahun lalu gw sempat ngbrol dengan artist hiphop nasional yang sedang mengerjakan album ke duanya. Dia memecat managernya karena dia merasa selama ini yang banyak mencari job dan gig adalah dirinya dan bukan managernya. Ini kesalah-kaprahan band/artis saat ini. Gw mau bilang konsep manager cari job untuk band/artisnya itu keliru besar. Kalo band/artis mau mendapatkan job bayar saja broker, itu jauh lebih murah dari pada harus bayar manager band. Akan dibahas nanti mengenai broker kerja.

Seperti layaknya menejemen dalam bidang lain, menejemen band/artis merupakan cara pengendali krisis. Tugas dasar seorang manager band/artis adalah memastikan sistem berjalan dengan resiko sekecil-kecilnya melalui pengendalian krisis yang tepat. Krisis apa saja?

Setidaknya ada 24 topik yang harus dikuasai agar terhindar resiko besar;

1. musik dan penulisan lagu
2. instrumen musik
3. citra (kostum, tata rias wajah, dan model rambut)
4. Personel musik
5. merek dagang
6. hak cipta
7. akuntan dasar
8. menejemen uang dan strategi investasi
9. pajak
10.undang-undang kontrak
11.penerbitan
12.program kesehatan
13.program pensiun
14.asuransi
15.royalti
16.jebakan-jebakan dalam kontrak rekaman
17.menerjemahkan istilah teknis dan formal dalam dokumen legal
18.perjanjian pemesanan
19.studio rekaman
20.merchandising
21.publisitas, pemasaran, pers dan promosi
22.internet
23.pemilihan staf (skuntan, pengacara, road manager, teknisi, dsb)
24.penampilan di panggung dan bakat musik

Hubungan kerja terbaik antara manager dan band/artis jika masing-masing memiliki kontribusi terhadap poin-poin di atas dan bekerja sama untuk saling melengkapi poin-poin tsb.

Bagaimana sebaiknya kontribusi yang diberikan masing-masing pihak?

Manager diharapkan sangat menguasai bidang-bidang ini
Artis diharapkan sangat menguasai bidang ini
Antara manager dan artis sangat menguasai bidang ini
Perlu staf konsultan

Cocokan warna dengan jodesk yang diharapkan.

Itu sebabnya terjun dalam industri musik perlu terdidik. Band/artis bahkan mungkin manager yang tidak punya pendidikan yang memadai untuk menguasai isu tersebut akan menjadi bulan-bulanan di industri musik. Memang tidak ada standar pendidikan tertentu untuk jadi manager band atau terjun dalam industri musik, tapi kita harus punya keinginan untuk menjadi terdidik.

Patut disayangkan banyak musisi kita belajar dengan jalan primitif - trial and error. Sering kali 'harganya' tidak sesuai. Gw tahu sebuah band yang datang dari jawa, sudah habis 600juta tanpa jadi apa-apa. Kasusnya klise, uang dibawa kabur managernya (dan lucunya manager tersebut sekarang jadi manager salah-satu band papan atas Indoensia). Itu bukan cuma satu band, tapi banyak kasus serupa terjadi.

Itu contoh band/artis yang 'bodoh', bagaimana kalo sebaliknya, manager yang bodoh? Berarti band/artisnya yang lebih bodoh, karena bayar orang bodoh :) Lagi pula band/artis akan berjalan di tempat tanpa orang yang tepat untuk membawa band/artis di masa-masa yang sulit.

Cerita-cerita Awal Tahun

Gw baru sadar posting gw di awal tahun ini isinya malah marah-marah. Sebagai bentuk penyesalan gw coba posting yang ringan-ringan aja.

Keknya sudah lama gw gak cerita-cerita lagi disini.

Seperti yang sedikit kamu tahu gw lagi ada di Banjarmasin, tapi dalam rangka apa? Gw di Banjarmasin dari tanggal 16 Desember untuk niat pulang kampung, soalnya sudah dua tahun gak mudik. Memang sudah ada indikasi untuk gw bakal diminta kerja di Banjarmasin, tapi karena belum pasti posisi dan di kota mana jadinya gw belum sampaikan ke orang-orang di Jakarta.

Ternyata setelah tahun baru, kabar itu pun datang. Gw bakal pegang wilayah Kalteng dengan domisili di Palangkaraya. Memang masih nunggu menang tender, tapi hampir bisa dipastikan 80% bakal di sana. Yang terbaik dari Kalimantan, lu gak akan mengalami macet yang membunuh jiwa; yang terburuk (buat gw) di sini panas bangat! dan penuh nyamuk *damn*

Ok, memang bakal ngapain Joe di sana?

Gw bakal ngurusin BTS-BTSnya Indosat di seluruh wilayah tersebut, kurang lebih begitu. Seperti yang gw sempat cerita di posting sebelumnya, bahwa gw bakal ninggalin musik untuk sementara waktu - setidaknya ini cara gw membohongi diri.

Kok mendadak? *seperti kata salah-satu temanku*
Siapa bilang mendadak? Gw punya resolusi akhir tahun, bahwa kalo gw belum punya kerja yang tetap di musik gw bakal balik kerja sama bokap untuk sementara waktu (cari duit dulu maksudnya). Entah kenapa justru mendekati akhir tahun gig regular gw gak diperpanjang. Selain itu meeting untuk brance manager salah-satu sekolah musik nasional dibatalkan sepihak. Tapi begitu gw putuskan untuk kembali ke Banjarmasin, itu panggilan dan meeting pada berdatang semua! Huh, hidup punya caranya sendiri untuk mentertawakan kita.

Walaupun begitu bukan berarti sama sekali gw gak akan ke Jakarta lagi. Setidaknya pertengahan bulan ini dan awal bulan Maret gw jadwalkan untuk ke Jakarta. Mengingat gw masih punya tanggung jawab sebagai managernya Cumlaude band. Lagi pula kan gw kerja juga pake masa percobaan.

Di lain cerita, gak hanya di Jakarta tapi di Banjarmasin juga gw terserang insomnia, malah lebih parah. Gw biasa baru bisa tidur jam 5 pagi waktu sini (fyi Banjarmasin masuk waktu Indonesia bagian tengah) dan bangun jam 10. Kemarin malah lebih parah, gw baru tidur jam 9 dan sudah harus bangun jam 11 siang. Edan!

Tapi ternyata insomnia ini membawa gw mengenal darah hitam manis pembawa acaranya Mata Angin di GlobalTV, Virgiantiy Kusumah. Nah yang bikin gw baru tidur jam 9 pagi kemarin, karena pagi-pagi Dimas Novriandi reply di twitter kalo dia kenal baik dengan Vivi (sepertinya ini sapaan akrab Dimas untuk Virgiantiy, entah ya *sirik*).

Di luar kejutan itu, gw jadi ingat kembali sebuah buku tentang bumi yang datar. Sembari gw mengingat kembali judlu buku tsb gw akan ceritakan sedikit soal buku ini. Ini bukan buku geografi apa lagi soal ilmu alam, malainkan tentang perkembangan dunia dewasa ini, dimana internet mengambil peran untuk membentangkan dunia ini agar menajdi rata. Tidak ada batas ruang lagi, atau istilah gw adalah melipat ruang.

Contohnya kamu bisa kirim buket bunga ke temanmu yang berada di LA walaupun kamu berjarak ribuan mil dari dia dengan Amazon. Atau malah seperti seorang juru mudik angkatan laut Amerika yang melangsungkan pernikahannya dengan mempelai wanitanya yang terpisah ratusan mil dari tempat tugasnya di samudra pasifik. Semua itu karena internet, dan internet sebagian dari globalisasi yang meratakan dunia abad ini. Judul bukuny The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century by Thomas Friedman.

Singkatnya kamu bisa ketemu siapa saja di dunia ini dengan menggunakan internet.

Ah kok jadi panjang ya postingnya? padahal niatnya mau cerita pendek saja. Gw tutup sampai sini saja.



N.b Ada yang tahu lagu temanya di 007: For Your Eyes Only? Gw rasa ini lagu 007 yang paling melankolis.

Ada Apa Sih Dengan Musisi Kita??

Genap 27 hari gw di Banjarmasin. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan kota ini jika gw bandingkan dengan Jakarta - eh ada loh kelebihan Banjarmasin dibandingkan Jakarta! Kamu gak akan mengalami macet yang bikin cacat mental.

Terlepas dari itu semua, yang paling sedih adalah gw akan jarang main musik. Memang di Banjarmasin ada cafe-cafe atau tempat makan yang ada live music-nya, walaupun gak sebanyak di Jakarta. Namun namanya tempat baru, gw harus mulai dari awal lagi; dimulai dari kenalan dulu, sering kumpul dan ngobrol dulu, lalu ngejam, baru deh dari sana dapat gig dan band.

Teorinya sih begitu, tapi prakteknya gak semulus itu. Gw tau persis karena dulu gw pernah alami hal tsb saat di Bali. Bahkan saat di Bali gw full time di musik.

Satu yang paling gw benci dari musisi daerah, mereka suka menjelekan sesama musisinya. Gw rasa itu tantangan tersulit dari membangun komunitas musik di daerah. Kalaupun ada biasanya justru komunitas musik itu jadikan tembok gap sekaligus wadah menjelekan musisi lain.

Kalo ada musisi dari luar kota yang datang berkunjung, pasti semua orang datang dengan niat untuk menguji; 'eh bisa main ini gak?' 'Belajar sama siapa?' 'Lagi belajar teknik apa?'.

Sebenarnya itu semua pertanyaan yang wajar saja kalau dilontarkan dengan niat berteman, sayangnya niatnya untuk menguji. Apesnya mereka gak bisa diperlakukan dengan rendah hati. Gw pernah diperlakukan demikian dengan salah-seorang bassist di Bali, pemain greja lagi. Padahal gw tahu pasti harmoni scale-nya salah-salah.

Sebenarnya itu bisa gw maklumi dengan lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jumlah musisi di daerah. Bagaimana pun bisnis hiburan di daerah belum semenggeliat di Jakarta. Di daerah, paling banter night club yang bisa berkembang besar. Jumlah lapangan kerja yang kecil ini ditambah dengan skill dan wawasan yang kurang akhirnya diperebutkan dengan cara-cara seperti itu tadi, saling menjelekan.

Bagaimana di Jakarta?
Kalo di Jakarta jumlah 'kue' (gw menganalogikannya sebagai lapangan pekerjaan) itu banyak, masalahnya sanggup gak makannya? Karena banyaknya kue yang bisa dimakan itu didasarkan pada skill selain pergaulan. Kalau memang memiliki skill yang memadai pasti sanggup meraih kuenya. Kalau enggak ya cuma bisa gigit jari.

Musisi senior pun punya keterbatasan, sehingga merasa perlu untuk meregenerasi ke yang mudah. Makanya gak heran banyak komunitas musik bertebaran di Jakarta dan semuanya saling support.

Secara umum pasti ada saja musisi yang suka menjelekkan musisi lain - gak hanya musisi sebenarnya, dalam bidang lain juga pasti ada, tapi itu lebih di dasarkan pada sifat individu-nya dan biasanya orang yang suka menjelekkan orang lain adalah sifat coping dirinya sendiri, bahwa sebenarnya itu saja kemampuan orang tsb.

Tolong hentikan!
Sikap ini justru menurut gw harus dihentikan, apa lagi seorang musisi. Musisi adalah orang yang berkarya dengan hati, bagaimana mungkin bisa menghasilkan karya yang baik dari sifat hati yang penuh iri? Jangan-jangan selama ini musik tsb tidak keluar dari hati lagi. Coba deh ingat kembali gimana dulu senangnya kita belajar musik tanpa mikir yang muluk-muluk. Bukannya indah ya kalo kesenangan itu bisa kita bagi ke orang lain? Percaya deh, yang namanya ngajar itu pasti bersifat dua arah, ke murid maupun ke guru.

Selain itu sifat iri dan merendahkan itu muncul dari rasa sombong dan tidak terbuka dengan pandangan dan ilmu baru. Ini jadi masalah pelik berikutnya dari musisi daerah. Harus diakui bahwa pendidikan dan media komunikasi di daerah terbatas dan tidak semaju di pusat/Jakarta, kondisi ini diperparah lagi dengan keras kepalanya musisi di daerah untuk berbagi.

Sebagian besar musisi di daerah takut ilmunya 'dicuri' sehingga mereka jarang berbagi dalam wadah komunitas. Kalau mau belajar ya ngeles, yang artinya bayar. Nanti kalau sudah les takut kehilangan murid, bukannya giat berlatih malah menjelekkan musisi lainnya biar muridnya gak pindah. Mungkin sudah gak ada lagi yang mau dilatih karena sudah habis ilmunya.

Jadi?
Ayo dong musisi daerah, sudah saatnya gak bersikap iri dengan merendahkan dan menjelekaan musisi lain. Saatnya buka mata, buka telinga, dan buka hati untuk kemajuan bersama. Biar musik Indonesia semakin maju, bukan Jakarta atau pulau Jawa, tapi Indonesia.





Sent from my BlackBerry® Jave