Kemarin sore saya menjenguk om saya di RS Harapan Kita. Ah, sepertinya RS ini sudah menjadi langganan tempat berkunjung saya.
Saya masih ingat pertama kali saya menginjakan kaki di RS ini bukan karena alasan menjenguk, apa lagi sakit, melainkan mencari tempat peristirahatan. Waktu itu saya terlambat mengantar pulang
pacar mantan saya, sedangkan kost dia diberlakukan jam malam. Gak, dia kost di Jakarta kok - kalo kamu bertanya di mana kost yang hari gini ada jam malamnya. Waktu itu juga tidak mungkin untuk membawanya ke kostku - walaupun godaannya besar, karena seperti kucing garong, tentunya tidak akan melewatkan 'ikan asin' begitu saja. Jadilah kami tidur di ruang tunggu RS Harapan Kita.
And as you know, beberapa bulan lalu, tepatnya bulan Mei, tante saya juga masuk RS ini juga (
cek_posting_saya). Nah kala itu keluarga dari nyokap, kali ini yang masuk keluarga dari bokap. Mungkin besok-besok saya akan menjenguk keluarga tetangga di sana, siapa yang tahu kan.
Kembali ke kakak dari bokap. Jadi omku ini sudah beberapa kali masuk Harapan Kita, bahkan tahun ini saja sudah tiga kali. Bulan Maret tahun ini pasang kateter, hanya saja sepertinya tidak ada cara lain selain
bypass, dan itu lah yang dilakukan hari ini, operasi selama tujuh jam dimulai dari jam 8 tadi pagi.
Kemarin saya menjenguk beliau, bersama dengan ade perempuan saya, sebelum masuk ruang isolasi. Kalo kamu berpikir omku terbujur dengan lemah, banyak melamun, dan muka susah, itu berarti kamu salah menilai beliau. Pertama kali datang, yang aku lihat justru omku baru saja selesai makan dengan lahap dan sedang membaca koran. Walaupun beliau tinggal di Bogor, tapi sudah hampir 3-4tahun saya tidak bertemu. Kondisi beliau kemarin segar bugar, sehat, dan tidak seperti orang sakit.
Soalnya omku ini sangat menjaga kesehatannya, khususnya setelah pertama kali mendapat diagnosa sakit jantung, 2004 silam. Sejak itu sama sekali tidak makan makanan berminyak (hanya makan makanan rebus dan sejenisnya), tidak menyentuh daging, hanya ikan saja, dan olah raga, khususnya renang secara teratur. orang yang sudah hidup sehat seperti itu saja masih kena jantung, bagaimana yang seperti saya?!
Kalo sudah sakit, punya uang sebanyak apapun, tetap saja tidak menjamin kamu bisa enak - sakit ya tetap susah. Apa lagi sakit jantung, minimal kamu harus punya uang 70juta. Satu hari saja di ICU bisa habis 10juta, untuk obat-obatan dan biaya kamar. Tentunya tidak ada kan orang dirawat sakit jantung hanya satu hari? Ah dunia, dunia, mau sakit saja harus punya uang.
Makanya menjaga itu lebih murah/mudah dibanding menyembuhkan. Pesan sponsor, lebih baik gaji awal itu buat beli polis asuransi kesehatan dibanding buat beli sepatu, apa lagi parfum satu juta. Soalnya kalo sudah sakit, parfum satu juta gak bisa menyembuhkan.
Kentang loe Joe!Begitu jam besuk habis, kami keluar dan menunggu tante dan abangku di ruang tunggu. Hampir setengah jam sebelum tante, abangku dan pacarnya, Ana, datang. Tanteku dari tempat kost Ana, usai bersih-bersih dan ganti pakaian.
Tidak jauh berbeda dengan omku, tanteku ini juga seolah menjalaninya dengan ringan. Malah mungkin karena tenangnya, baru satu hari saja sudah banyak keluarga pasien lain yang curhat ke beliau. padahal kan harusnya penanggungannya sama ya?? Selain itu juga, dari pengalaman menunggu orang sakit jantung, menunggu di ruang tunggu seperti menunggu hari penghakiman. Setiap kali dipanggil, selalu tegang; dari harus menebus obat (yang harganya berjuta-juta) atau sedang kritis dan akan lewat, sampai mindahin mobil di tempat parkiran (iya, gw tahu gak penting yang terakhir ini). Tidak ada yang bisa kita perbuat, selain menunggu, berdoa dan berharap, kecuali memindahkan mobil bila perlu.
Mungkin ini kekurangan dari RS Harapan Kita sebagai PJN - Pusat Jantung Nasional. Ruang tunggu keluarga dibuat ala kadarnya, tidak ada bedanya dengan ruang tunggu di apotik. Bedanya kalo malam kursi-kursi disingkirkan, dan para penunggu menggelar tikar serta karpet. Ruang tunggu tersebut juga tidak bisa dibilang tenang, karena tepat berada satu ruangan dengan pintu lift. Menurut hemat saya, seharusnya ruang tunggu dibuat setenang dan senyaman mungkin. Karena bisa jadi itu satu-satunya penghiburan bagi keluarga saat berada di sana sebelum...
Saat tertimpa sakit, mungkin uang tidak siap, ditambah lagi dengan lingkungan yang tidak kondusif, tidak ada orang-orang yang menguatkan, dan akhirnya putus asah. Jika sudah putus asah, harapan hidup pun tidak ada. Ini yang tanteku sebut dengan kematian mental. Tubuhnya masih hidup, tapi mentalnya sudah mati. Padahal yang terpeting di dalam kesembuhan adalah punya harapan hidup yang tinggi.
Mungikin itu juga mengapa om dan tanteku 'hanya' mengambil perawatan kelas satu, bukan VIP. Ow saya belum bilang ya siapa omku? Omku, dr Markus Tuba Sp.An, dan kalo kamu tinggal di Bogor, punya anak, atau setidaknya adik yang masih kecil, kamu pasti tahu dr Markus. Atau kalau kamu bergabung dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) kamu pasti tahu. Yang ini agak gak mungkin sih. Bukan, bukan karena saya meremehkan kamu, tapi hampir mustahil kalau seorang spesialis baca blog gak mutu gini.
Jadi bukan karena mereka tidak sanggup dirawat di ruang VIP, atau dirawat di Singapur seperti kebanyaka orang (karena nama-nya saja sudah sampai ke Singapur), atau bahkan mendapat fasilitas tidur di flat RS Harapan Kita. Tapi mereka (meminjam istilahnya Daniel) memilih untuk demikian. Bukan karena mereka mau hidup susah. Mungkin ini yang paling saya suka dari keluarga omku dari dulu. Bahkan di dalam kesusahan pun, mereka masih berpikir untuk menolong orang lain.
Saya sangat percaya bahwa kita ada di dunia ini bukan semata-mata untuk diri sendiri. Kita ada karena orang lain, dan begitu juga kita ada untuk orang lain. Penderitaan tidak semata-mata datang sebagai penghakiman, tapi bisa jadi penderitaan yang kita alami untuk menolong orang lain. Ini yang om dan tanteku sadar, sehingga mereka menerima semua hal yang menimpa mereka dengan tabah, malah lebih dari itu, dengan semangat (walaupun kondisi badan berkata lain) untuk menolong dan menguatkan orang-orang yang lemah.
Saat kita tetap berfokus pada orang lain, bahkan di saat kesusahan menimpa kita, kesusahan itu akan berlalu seperti malam, dan akan tiba waktunya di mana matahari kembali bersinar.
Tepat pukul tiga sore tadi, omku dengan sukses melewati masa oprasinya.