Sebuah fenomena muncul pada tanggal 14Juni kemarin. Di bilangan Rasuna Said Jakarta, ribuan orang rela mengantri untuk mendapatkan Communicator E-90. Tidak tanggung-tanggung, penjualan terbatas yang baru dibuka pada pk09.00 ini sudah dinantikan sejak pk03.00 dini hari.
Hanya di Indonesia orang rela mengantri kurang lebih 6jam untuk membeli Communicator. Hanya di Indonesia Comunnicator bisa laku keras. Bahkan pemilik pertama Communicator adalah Hartono Gunawan, berkebangsaan Indonesia. Di dapat melalui lelang dengan bit terakhir US$5000 (sekitar 45juta rupiah).
Harga resmi E-90 saat ini 10,5juta, turun 6juta dibanding keluar perdananya. Secara nalar, sungguh tidak masuk akal membeli hape seharga notebook, yang kemampuannya juga jauh di bawa notebook. Bahkan dengan harga lebih murah dari E-90, kita sudah dapatkan notebook seukuran buku tulis, lengkap dengan pemutar dvd, koneksi yang lengkap, prosesor yang kencang, layar yang lebar, memori yang lebih lapang, office application sungguhan dan tentunya ini notebook yang sebenarnya. Lantas mengapa E-90 ini laku keras, khususnya di Indonesia?
Setelah di tengok jeroannya pun, selain menggunakan prosesor (ARM11- OMAP2420 330MHz) dan RAM paling besar di kelas hape (128MB) tidak ada yang istimewa.
Bandingkan dengan salah-satu spec PDA yang prosesornya Intel Xscale 624MHz (2X lebih cepat dari E-90) dan RAM 64MB/ROM 1GB (4Xlebih lapang) dengan selisih harga 3juta lebih murah dari E-90.
Oprating system (OS) E-90 pun menggunakan Symbial v9.2 3rd edition pack 3.1, atau bahasa sederhananya tidak ada perbedaan dengan hape Nokia seri N lainnya, khususnya N95. Tapi tentu saja E-90 jauh lebih mahal dari N95. Jika seseorang cukup waras, pastilah dia lebih memilih PDA phone sebagai sekunder office gadget setelah notebook jika memang itu alasannya untuk memiliki hape pintar tsb (baca E-90). Lantas apa yang membuat orang menghilangkan kewarasannya untuk membeli E-90?
Ada statistik (dari tabloid Pulsa, lupa edisi keberapa) yang menyebutkan bahwa pengguna communicator di Indonesia adalah pengusaha (masuk akal), pejabat (gak malu pak beli dengan uang rakyat?), sisanya karena dikasih orang (saya juga gak nolak kalo dikasih) dan sebagai identitas diri (mungkin KTP kurang mewakili identitas diri bagi mereka). Jika memang statistik ini benar, berarti pengusaha di negara kita tidak mencerminkan asas tepat guna, atau mungkin sudah menghilangkan kewarasannya. Jika memang statistik ini dapat dipertanggungjawabkan, berarti pejabat di negara kita sudah menghilangkan nuraninya, atau sekali lagi kewarasannya telah terganggu.
Kemarin saya sempat ngobrol dengan rekan mengenai hape ini. Saya sempat tertegun sewaktu dia menyebut hape ini dengan E-go (angka sembilan di baca G). Saya jadi menerka-nerka, bisa jadi Nokia dengan sengaja me-lebel hape ini dengan E-go agar menunjukan pesan tersebut. Hape yang di produksi untuk memuaskan E-go penggemar gilanya. Ironisnya pasar terbesarnya adalah Indonesia (negara kedua diluncurkannya E-90, itu pun setelah Firlandia, negara asal Nokia). Mungkin di mata dunia, Indonesia ini adalah negara berkembang (jika tidak ingin di bilang koleps) dengan E-go paling gila.
Bagi saya, E-90 adalah hape cerdas bagi orang-orang yang bodoh. Dan kebodohan itu di bayar dengan mahal.
Cinta, komitmen dan pernikahan
Belakangan ini saya sering pengamati perkembangan Ciklit, novel-novel Indo yg baru, or cinema-cinema remaja Indonesia, khususnya produksi Rits Frame. Ceritanya sudah pasti menyangkut cinta, komoditi paling laku di pasar. Kebanyakan pesan yang ingin disampaikan penulis adalah cinta yg tulus, tidak melihat perbedaan, cinta sejati, bla, bla. Tapi saya tanya kepada anda. Jujur, benar gak sih kenyataannya seperti itu?
Karena pada faktanya banyak dari pasangan menikah bukan karena cinta. Justru memang benar menikah bukan karena cinta. Konsep menikah karena cinta adalah produk dari Holywood. Makanya karena alasan utama menikah adalah cinta, saat pernikahan tsb berjalan dan tidak ditemukan adanya cinta, maka sso dapat saja bercerai. Makanya mereka tidak salah. Tindakan yang benar adalah yg memiliki alasan, walaupun terkadang tidak masuk akal dan tidak bisa diterima semua orang. Namun jika tindakan tersebut tidak memiliki alasan, berarti sia-sia. Jika tindakan tsb sudah sia-sia, untuk apa lagi di teruskan, karena yang lebih parah dari pada mati sia-sia adalah hidup yg sia-sia, karena itu berarti setiap hari adalah kesia-siaan.
Menikah karena cinta adalah FAKE. Kebenarannya, kita mutlak harus mencintai orang yang kita nikahi. Jika alasan kita menikah kareana cinta, dikemudian hari kita tidak cinta atau cinta kita berkurang, maka dengan mudah kita bisa berkata cerai. Kita bisa saja menikah dengan siapa saja yang kita temui di jalan, tapi sesudahnya kita harus mencintai dia apa adanya, itu mutlak.
Contoh lain lagi, kasus dimana menikah karena merasa cocok. Tentunya dengan berbagai pengertian yang berbeda-beda mengenai kecocokan tsb. Ada yang menafsirkan kecocokan itu persamaan minat dan sifat, ada juga yang justru karena tidak sama sehingga saling melengkapi seperti gerigi roda. Apa pun itu, biasanya seteleah menikah, justru pasangan tersebut akan bercerai karena alasan mereka tidak cocok. Bagaimana mungkin sih sebelum menikah cocok, en setelah menikah jadi tidak cocok??
Pasangan lain lagi berkata mereka menikah karena seolah-olah mereka sudah saling kenal sejak lama, padahal baru bertemu dua minggu. Seolah-olah mereka tahu apa yang pasangan mereka mau, pikirkan, dan lain sebagainya. Tapi setelah menikah eh mereka justru tidak saling kenal, seolah tidur seranjang dengan orang yang tidak mereka kenal sama sekali. Lucu hah? Apa pernikahan itu seperti kantong doraemon, yang mengubah semua hal baik menjadi buruk setelah melewatinya?
Kata beberapa ahli, itu semua adalah perasaan yang ditimbulkan oleh bunga-bunga cinta. Perasaan yang sama ini juga yang sinonim dengan cinta itu buta, atau cinta itu tidak bermata. Pokoknya cinta itu isinya semua yang menyenangkan dari hubungan lawan jenis, sama seperti dongeng-dongeng sinderela atau negri di awan. Tapi hanya komitmen yang dapat membuat cinta itu menjadi nyata; menciptakan negri awan di tengah dunia. Tapi komitmen berisikan semua yang tidak mengenakan dari hubungan. Satu-satunya yang dapat menyeleamatkan lembaga pernikahan dari resiko kandas adalah komitmen. Komitmen itu sebuah janji ikatan, janji kesetiaan, tapi bukan saja kepada pasangan kita, namun ke pada Pencipta kita, bahwa kita akan menjaga pasangan kita. Jadi saat kita melanggarnya, sesungguhnya kita bukan saja bersalah kepada pasangan kita, namun kepada Pencipta kita. Seolah kita membohongi Dia. Komitmen itu perlu diusahakan dengan segenap akal dan kemampuan.
Tapi tentu saja saya tidak menyerankan untuk menikah dengan siapa saja yang anda temukan di jalan, karena selain mereka juga belum tentu mau menikah dengan anda, anda juga akan di anggap gila. Tentu saja kita mencari pasangan yang kita rasa sepandan, cocok, nyambung dengan kita, cakep or cantik. Pokoknya yang terbaik yang bisa kita dapatkan sehingga buka mata lebar-lebar saat mencari pasangan, karena setelah menikah anda harus menutup mata serapat-rapatnya. Waspadalah, waspadalah!
Karena pada faktanya banyak dari pasangan menikah bukan karena cinta. Justru memang benar menikah bukan karena cinta. Konsep menikah karena cinta adalah produk dari Holywood. Makanya karena alasan utama menikah adalah cinta, saat pernikahan tsb berjalan dan tidak ditemukan adanya cinta, maka sso dapat saja bercerai. Makanya mereka tidak salah. Tindakan yang benar adalah yg memiliki alasan, walaupun terkadang tidak masuk akal dan tidak bisa diterima semua orang. Namun jika tindakan tersebut tidak memiliki alasan, berarti sia-sia. Jika tindakan tsb sudah sia-sia, untuk apa lagi di teruskan, karena yang lebih parah dari pada mati sia-sia adalah hidup yg sia-sia, karena itu berarti setiap hari adalah kesia-siaan.
Menikah karena cinta adalah FAKE. Kebenarannya, kita mutlak harus mencintai orang yang kita nikahi. Jika alasan kita menikah kareana cinta, dikemudian hari kita tidak cinta atau cinta kita berkurang, maka dengan mudah kita bisa berkata cerai. Kita bisa saja menikah dengan siapa saja yang kita temui di jalan, tapi sesudahnya kita harus mencintai dia apa adanya, itu mutlak.
Contoh lain lagi, kasus dimana menikah karena merasa cocok. Tentunya dengan berbagai pengertian yang berbeda-beda mengenai kecocokan tsb. Ada yang menafsirkan kecocokan itu persamaan minat dan sifat, ada juga yang justru karena tidak sama sehingga saling melengkapi seperti gerigi roda. Apa pun itu, biasanya seteleah menikah, justru pasangan tersebut akan bercerai karena alasan mereka tidak cocok. Bagaimana mungkin sih sebelum menikah cocok, en setelah menikah jadi tidak cocok??
Pasangan lain lagi berkata mereka menikah karena seolah-olah mereka sudah saling kenal sejak lama, padahal baru bertemu dua minggu. Seolah-olah mereka tahu apa yang pasangan mereka mau, pikirkan, dan lain sebagainya. Tapi setelah menikah eh mereka justru tidak saling kenal, seolah tidur seranjang dengan orang yang tidak mereka kenal sama sekali. Lucu hah? Apa pernikahan itu seperti kantong doraemon, yang mengubah semua hal baik menjadi buruk setelah melewatinya?
Kata beberapa ahli, itu semua adalah perasaan yang ditimbulkan oleh bunga-bunga cinta. Perasaan yang sama ini juga yang sinonim dengan cinta itu buta, atau cinta itu tidak bermata. Pokoknya cinta itu isinya semua yang menyenangkan dari hubungan lawan jenis, sama seperti dongeng-dongeng sinderela atau negri di awan. Tapi hanya komitmen yang dapat membuat cinta itu menjadi nyata; menciptakan negri awan di tengah dunia. Tapi komitmen berisikan semua yang tidak mengenakan dari hubungan. Satu-satunya yang dapat menyeleamatkan lembaga pernikahan dari resiko kandas adalah komitmen. Komitmen itu sebuah janji ikatan, janji kesetiaan, tapi bukan saja kepada pasangan kita, namun ke pada Pencipta kita, bahwa kita akan menjaga pasangan kita. Jadi saat kita melanggarnya, sesungguhnya kita bukan saja bersalah kepada pasangan kita, namun kepada Pencipta kita. Seolah kita membohongi Dia. Komitmen itu perlu diusahakan dengan segenap akal dan kemampuan.
Tapi tentu saja saya tidak menyerankan untuk menikah dengan siapa saja yang anda temukan di jalan, karena selain mereka juga belum tentu mau menikah dengan anda, anda juga akan di anggap gila. Tentu saja kita mencari pasangan yang kita rasa sepandan, cocok, nyambung dengan kita, cakep or cantik. Pokoknya yang terbaik yang bisa kita dapatkan sehingga buka mata lebar-lebar saat mencari pasangan, karena setelah menikah anda harus menutup mata serapat-rapatnya. Waspadalah, waspadalah!
Labels:
life
Cinta (atau uanga) Datang untuk Menyatukan Perbedaan
Saya dan kamu terlahir dan tercipta berbeda. Banyak perbedaan yang melekat dalam diri kita, dan itu nyata. Namun kenapa sering kali kita melihat dan mencari apa yang sudah nyata? Kenapa sering kali orang lebih senang membicarakan tentang perbedaan dan bukan sebaliknya? Kenapa perbedaan itu jauh lebih berarti dari persamaan?
Agama, suku, budaya, warna kulit, status sosial, derajat.... kenapa semuanya itu menjadi takaran untuk menilai kamu dan saya? Kenapa orang menganggap penting perbedaan sehingga menutup mata terhadap persamaan, bahwa kita adalah manusia dengan nurani yang sama, tercipta dari Tuhan yang sama, tinggal dalam dunia yang sama?
Terkadang kita tidak ’bisa’ menolong seseorang karena dia berbeda dengan kita. Bahkan memberikan senyum untuk sesama menjadi begitu mahal harganya, hanya karena dia bukan siapa-siapa. Padahal senyum itu sehat, mudah, dan gratis.
Cinta datang untuk menyatukan perbedaan, namun kenapa manusia membedakan untuk mencintai? Apa karena sesungguhnya cinta itu sudah tidak ada lagi dalam masyarakat yang majemuk ini?
Karena aku bukan dari suku yang sama denganmu, aku tidak bisa mencintaimu....
Karena warna kulitku berbeda denganmu, aku tidak dapat mencintaimu....
Karena status sosialku dan hartaku tidak sebanyak dirimu, aku tidak bisa mencintaimu....
Tidak heran banyak orang akan melakukan banyak hal agar dapat diterima dalam sebuah persamaan. Agar sso bisa dicintai.
Yang paling ’murah’ dan mudah adalah dengan uang. Dengan uang seseorang bisa membeli suku. Dengan uang status sosial bisa dibeli. Dengan uang seseorang bisa membeli warna kulit yang sama. Bahkan dengan uang cinta bisa di beli. Uang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan tsb. Sehingga kenyataannya uanglah yang dapat menyatukan perbedaan.
Bahkan bagi beberapa komunitas yang mendeklarasikan sebuah kasih dan persamaan status, mereka memiliki strata juga berdasarkan uang.
Sayangnya aku bukan orang yang memiliki uang untuk mewujudkan semua itu.
Aku punya mimpi. Kita hidup dalam satu dunia yang penuh perbedaan sebagai warna bukan sebagai dinding. Hidup rukun dan tentram tanpa prasangka, tanpa perbedaan sebagai manusia dengan nurani yang sama. Saling tersenyum dan bergandengan tangan. Rukun dan penuh cinta. Bukankah itu cita-cita luhur dari Bhineka Tunggal Ika?
Bisakah aku menggandengmu kawanku dari Aceh tanpa uang yang aku miliki?
Bisakah aku memelukmu kawanku dari Irian tanpa prasangka?
Bisakah aku menaruh kepalaku dibahumu kawanku dari Tionghoa tanpa rasa risih?
Bisakah aku mendoakanmu kawanku dengan kepercayaan yang berbeda tanpa merasa curiga?
Bisakah kita hidup dalam dunia yg satu tanpa memandang perbedaan sebagai penghalang untuk hidup secara harmonis?
Agama, suku, budaya, warna kulit, status sosial, derajat.... kenapa semuanya itu menjadi takaran untuk menilai kamu dan saya? Kenapa orang menganggap penting perbedaan sehingga menutup mata terhadap persamaan, bahwa kita adalah manusia dengan nurani yang sama, tercipta dari Tuhan yang sama, tinggal dalam dunia yang sama?
Terkadang kita tidak ’bisa’ menolong seseorang karena dia berbeda dengan kita. Bahkan memberikan senyum untuk sesama menjadi begitu mahal harganya, hanya karena dia bukan siapa-siapa. Padahal senyum itu sehat, mudah, dan gratis.
Cinta datang untuk menyatukan perbedaan, namun kenapa manusia membedakan untuk mencintai? Apa karena sesungguhnya cinta itu sudah tidak ada lagi dalam masyarakat yang majemuk ini?
Karena aku bukan dari suku yang sama denganmu, aku tidak bisa mencintaimu....
Karena warna kulitku berbeda denganmu, aku tidak dapat mencintaimu....
Karena status sosialku dan hartaku tidak sebanyak dirimu, aku tidak bisa mencintaimu....
Tidak heran banyak orang akan melakukan banyak hal agar dapat diterima dalam sebuah persamaan. Agar sso bisa dicintai.
Yang paling ’murah’ dan mudah adalah dengan uang. Dengan uang seseorang bisa membeli suku. Dengan uang status sosial bisa dibeli. Dengan uang seseorang bisa membeli warna kulit yang sama. Bahkan dengan uang cinta bisa di beli. Uang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan tsb. Sehingga kenyataannya uanglah yang dapat menyatukan perbedaan.
Bahkan bagi beberapa komunitas yang mendeklarasikan sebuah kasih dan persamaan status, mereka memiliki strata juga berdasarkan uang.
Sayangnya aku bukan orang yang memiliki uang untuk mewujudkan semua itu.
Aku punya mimpi. Kita hidup dalam satu dunia yang penuh perbedaan sebagai warna bukan sebagai dinding. Hidup rukun dan tentram tanpa prasangka, tanpa perbedaan sebagai manusia dengan nurani yang sama. Saling tersenyum dan bergandengan tangan. Rukun dan penuh cinta. Bukankah itu cita-cita luhur dari Bhineka Tunggal Ika?
Bisakah aku menggandengmu kawanku dari Aceh tanpa uang yang aku miliki?
Bisakah aku memelukmu kawanku dari Irian tanpa prasangka?
Bisakah aku menaruh kepalaku dibahumu kawanku dari Tionghoa tanpa rasa risih?
Bisakah aku mendoakanmu kawanku dengan kepercayaan yang berbeda tanpa merasa curiga?
Bisakah kita hidup dalam dunia yg satu tanpa memandang perbedaan sebagai penghalang untuk hidup secara harmonis?
Labels:
life
Kunci, seragam, dan tidak nyambung
Hi ther, whatz up kabarnya? Langsung mulai aja ya.
Barusan tadi terjadi hal yang super duper konyol setengah mati. Buat orang lain, mungkin ini kejadian biasa dalam hidup mereka *dan gw kenal dengan baik sso yang hari-harinya di isi dengan kekonyolan seperti ini*
Tadi siang saya latihan musik di Kelapa Dua, di Jalan Panjang Jakbar. Sewaktu berangkat gak ada filling apa-apa, hanya telat aja datangnya. Sampai disana, semua sudah pada ngumpul *iya tau, kan tadi bilang datangnya telat*. Tapi gak telat-telat bangat karena yang lain juga lagi nyocokin kunci.
Latihan dimulai dengan 'agak' berantakan. Karena ada aransemen baru di tambah satu lagu baru (yang sedikit susah). Keyboardistnya Hero. Dan saya sangat kenal baik sahabat saya yang satu ini, tidak ada lagu tanpa sinkop. Cuma yang keteran pemain bass en gitarisnya. Belum lagi di salah satu lagunya dia mulai intro lari-lari pula. Saya berdua dengan Hero cuma bisa senyum pilu. Cuma aku lebh jahat lagi, karena mentertawakan sahabat saya ini karena kudu mengajari mereka.
Akhirnya selesai juga sesi latihan yang meregang nyawa. Saya pulang dengan hati yang riang gembira tanpa punya filling apa-apa.
Eh taunya sampai di kos kunci kamar gak ada di saku!!!! Berarti ketinggalan!!! Selidik punya selidik ternyata tuh kunci sempat di keluarkan dari saku celana karena gantungan 'drum key' jadi satu sama kunci. Yumy eh maksudnya Dummy!!
Saya udah bingung aja, karena tempat latihan sudah di kunci. Baju untuk pelayanan di dalam kamar. Dan ini kamar gak ada kunci cadangan?!! Gak ada ??? Aaaaaaaaa!!!!
Mulai panik. Benturin kepala ke tembok. Pura-pura mati (gak diing becanda). Saya coba tanya ke yang jaga kos apa ada kunci cadangannya. Ternyata benar sodara-sodara, gak ada. Tapi ada secerca harapan begitu dibilang kalo ternyata masih ada seonggok kantong berisikan kunci yang tidak teridentifikasikan.
Akhirnya dengan penuh kesabaran dan tekat yang bulat untuk menemukan kunci tsb saya mulai usaha pencarian tsb. Setelah berkali-kali mencabuli lubang kunci tsb dengan berbagai kunci yang tidak semestinya, akhirnya kutemukan kunci yang dapat membuka pintu surga (baca kamar gw yang berantakan en dingin kek kulkas). Thx God!
Hari ini juga saya sempat sms-an dengan teman. Sampai satu waktu pembicaraannya seputar warna fav (hehehe jadi inget sewaktu SD aja). Aku ini punya pecendrungan yang aneh bin ajaib(??), yaitu senang menyeragamkan sesuatu. Semisal kek sekarang ini, pengen beli notebook baru, MecBook. Jadinya sekarang semua di ganti warna putih, dengan mulai beli baju en celana putih, ganti HP warnah putih, beli iPod warna putih, beli speaker warna putih. Pokoknya menyulap kamar saya dan aksesoris ya menjadi berwarna putih. Ya mungkin belum sekstrim itu, cuma keknya mengganggu aja kalo ada yang gak seragam. Contoh lain sewaktu SMU dulu, tshirt saya merek, model, warna sama. Sering kali dikira gak punya baju lain. Nasib.
Cuma saya rasa secara tidak sadar dan tidak langsung, besar atau kecil orang-orang suka untuk menyeragamkan, atau mungkin memang hanya saya saja yang demikian.
Orang-orang juga suka diseragamkan. Misalnya saja, para ABG yang mau melakukan apa saja agar bisa masuk dalam 'barisan', biar sama dengan teman-temannya. Atau para ABG (lagi) yang latah ngikutin tren baju. Atau (kali ini) para ibu-ibu arisan yang gandrung pake HP3G biar sama kek punya teman sesama arisan.
Ya tapi di dalam barisan keseragaman tsb sebenarnya banyak perbedaan, karena seungguhnya kita diciptakan dalam persamaan derajat namun dengan pribadi yang tidak seragam. Karena dunia ini akan berhenti berputar jika semua isinya menjadi seragam.
Barusan tadi terjadi hal yang super duper konyol setengah mati. Buat orang lain, mungkin ini kejadian biasa dalam hidup mereka *dan gw kenal dengan baik sso yang hari-harinya di isi dengan kekonyolan seperti ini*
Tadi siang saya latihan musik di Kelapa Dua, di Jalan Panjang Jakbar. Sewaktu berangkat gak ada filling apa-apa, hanya telat aja datangnya. Sampai disana, semua sudah pada ngumpul *iya tau, kan tadi bilang datangnya telat*. Tapi gak telat-telat bangat karena yang lain juga lagi nyocokin kunci.
Latihan dimulai dengan 'agak' berantakan. Karena ada aransemen baru di tambah satu lagu baru (yang sedikit susah). Keyboardistnya Hero. Dan saya sangat kenal baik sahabat saya yang satu ini, tidak ada lagu tanpa sinkop. Cuma yang keteran pemain bass en gitarisnya. Belum lagi di salah satu lagunya dia mulai intro lari-lari pula. Saya berdua dengan Hero cuma bisa senyum pilu. Cuma aku lebh jahat lagi, karena mentertawakan sahabat saya ini karena kudu mengajari mereka.
Akhirnya selesai juga sesi latihan yang meregang nyawa. Saya pulang dengan hati yang riang gembira tanpa punya filling apa-apa.
Eh taunya sampai di kos kunci kamar gak ada di saku!!!! Berarti ketinggalan!!! Selidik punya selidik ternyata tuh kunci sempat di keluarkan dari saku celana karena gantungan 'drum key' jadi satu sama kunci. Yumy eh maksudnya Dummy!!
Saya udah bingung aja, karena tempat latihan sudah di kunci. Baju untuk pelayanan di dalam kamar. Dan ini kamar gak ada kunci cadangan?!! Gak ada ??? Aaaaaaaaa!!!!
Mulai panik. Benturin kepala ke tembok. Pura-pura mati (gak diing becanda). Saya coba tanya ke yang jaga kos apa ada kunci cadangannya. Ternyata benar sodara-sodara, gak ada. Tapi ada secerca harapan begitu dibilang kalo ternyata masih ada seonggok kantong berisikan kunci yang tidak teridentifikasikan.
Akhirnya dengan penuh kesabaran dan tekat yang bulat untuk menemukan kunci tsb saya mulai usaha pencarian tsb. Setelah berkali-kali mencabuli lubang kunci tsb dengan berbagai kunci yang tidak semestinya, akhirnya kutemukan kunci yang dapat membuka pintu surga (baca kamar gw yang berantakan en dingin kek kulkas). Thx God!
Hari ini juga saya sempat sms-an dengan teman. Sampai satu waktu pembicaraannya seputar warna fav (hehehe jadi inget sewaktu SD aja). Aku ini punya pecendrungan yang aneh bin ajaib(??), yaitu senang menyeragamkan sesuatu. Semisal kek sekarang ini, pengen beli notebook baru, MecBook. Jadinya sekarang semua di ganti warna putih, dengan mulai beli baju en celana putih, ganti HP warnah putih, beli iPod warna putih, beli speaker warna putih. Pokoknya menyulap kamar saya dan aksesoris ya menjadi berwarna putih. Ya mungkin belum sekstrim itu, cuma keknya mengganggu aja kalo ada yang gak seragam. Contoh lain sewaktu SMU dulu, tshirt saya merek, model, warna sama. Sering kali dikira gak punya baju lain. Nasib.
Cuma saya rasa secara tidak sadar dan tidak langsung, besar atau kecil orang-orang suka untuk menyeragamkan, atau mungkin memang hanya saya saja yang demikian.
Orang-orang juga suka diseragamkan. Misalnya saja, para ABG yang mau melakukan apa saja agar bisa masuk dalam 'barisan', biar sama dengan teman-temannya. Atau para ABG (lagi) yang latah ngikutin tren baju. Atau (kali ini) para ibu-ibu arisan yang gandrung pake HP3G biar sama kek punya teman sesama arisan.
Ya tapi di dalam barisan keseragaman tsb sebenarnya banyak perbedaan, karena seungguhnya kita diciptakan dalam persamaan derajat namun dengan pribadi yang tidak seragam. Karena dunia ini akan berhenti berputar jika semua isinya menjadi seragam.
Labels:
ngeblog
Pendidikan, Pengalaman en Kerja
Wah akhirnya bisa nulis juga disini. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin buka nih blog, cuma biasanya kepotong baca email, baca milis, YM, bales message FS, dan lain sebagainya, alhasil setelah kembali ke halaman ini mood nulis hilang terbawa AC, belum lagi topik-topiknya berubah-ubah terus karena kelamaan gak nulis. Harus bertobat nih.Nah makanya kali ini ngisi blog di tempatkan diurutan pertama biar moodnya tetap ada hehehe.
Ok , kita mulai dengan hari ini. Hari ini saya menemani Andrew, ade ketiga saya, test di UPH, ambil fak Fine Art, or istilah kerennya Fak Musik. Tesnya sendiri dimulai pk7.30 dan berakhir jam1 kurang. Kata dia sih gampang, gak ada setengahnya tes SPMB, cuma kok 20 nomor nembak?? Katanya waktunya kurang.
Hasilnya? Sebelum kami keluar makan malam dia dapat sms yang menyatakan dia lulus dan di trima. Kok bisa ya cepat begitu hasilnya keluar? Maklumlah kampus online, jadi semua hal serba online. Ya pokoknya terima kasih untuk teman-teman yang sudah saya todong untuk berdoa bagi ade saya. Yang di IMI juga keterima. Hasil SPMB aja yang baru Agustus diumumkan. Tinggal dia pilih aja dimana yang dia mau.
Masih mengenai kuliah. Kemarin saat makan siang di warteg dekat kos-kosan, tanpa sengaja saya mendengar percakapan antara dua pelanggan yang makan di situ juga. Bisa saya simpulkan salah-satunya seles mobil dan yang satu lagi supervisor dia. Percakapannya seputar pekerjaan, mulai dari pengalaman seles tsb bekerja di tambang lepas pantai sampai kerja di tempat sekarang. Singkat cerita dalam satu stetmen seles ini berkata bahwa pendidikan itu tidak perlu. Di atas semuanya itu pengalman lah yang dilihat saat melamar kerja. Dia memberikan contoh sering kali justru senior-senior mereka yang notabene hanya lulusan SMU yang mentrening para calon pekerja dengan titel S1 or S2. Entah karena dia sendiri hanya lulusan SMU sehingga dia mengeluarkan opini tsb (karena memang opini ini muncul setelah di picu oleh pertanyaan lawan bicaranya saat menanyakan riwayat studinya) atau karena hal lain.
Saya jadi ingat percakapan di depan kampus saya beberapatahun yang lalu. Isi percakapannya mengenai salah-seorang teman yang bekerja sebagai translate wawancara di salah satu bank swasta nasional. Dia berpendapat gak masalah dengan sistem komisi (yang sangat kecil) asal mendapatkan pengalama kerja, walopun dia S1, karena S1 aja banyak yang pengangguran. Sebagian kawan yang terlibat dalam obrolan tsb sependapat dengan dia.
Memang sih, sekarang S1 aja banyak bangat yang nganggur. Tapi apa benar pengalaman segitu pentingnya dalam penerimaan kerja?
Sebenarnya ini jebakan yang diletakan oleh bagian personalia. Seorang 1st graduate tanpa pengalaman rela di bayar di bawa UMR yang seharusnya di terima seorang lulusan S1. Jangka waktu minimal utk mendapatkan pesangon dan surat keterangan bekerja kira-kira satu tahun. Sehingga selama 1tahun orang tsb 'mengabdi' secara sukarela di perusahaan tsb demi sepucuk pengalaman. Setelahnya jika pegawai merasa tidak puas dengan gaji bisa mengundurkan diri (dan biasanya mengundurkan diri tidak di kasih pesangon). Perusahaan tidak merasa kehilangan karena masih banyak S1-S1 di luar tanpa pengalaman yang mau di gaji dibawa UMR. Akhirnya pengalaman menjadi bumerang juga bagi calon karyawan.
Jadi balik lagi, benar gak sih pengalaman lebih penting dari latar pendidikan?
Nyokap saya dulu sering berujar, "walopun sama-sama petani, tapi hasil dari petani yang lulusan SMU dan lulusan S1 berbeda". Stuju bangat mak!! Emang emak gw deh yang paling top!
Buktinya bukan pengalaman yang didorong agak suatu negara dapat meningkatkan taraf hidup rakyatnya, namun pendidikannya. Dengan pendidikan cara pandang orang akan berbeda saat melihat dunia ini. Seorang lulusan SD yang punya uang 1milyar akan membuang uangnya di tempat di mana biasanya anak SD menghabiskan uangnya. Sedangkan seorang yang terpelajar akan tepat guna menggunakan uangnya.
Segini aja dulu deh, batre HP habis nih. Bye guys.
Ok , kita mulai dengan hari ini. Hari ini saya menemani Andrew, ade ketiga saya, test di UPH, ambil fak Fine Art, or istilah kerennya Fak Musik. Tesnya sendiri dimulai pk7.30 dan berakhir jam1 kurang. Kata dia sih gampang, gak ada setengahnya tes SPMB, cuma kok 20 nomor nembak?? Katanya waktunya kurang.
Hasilnya? Sebelum kami keluar makan malam dia dapat sms yang menyatakan dia lulus dan di trima. Kok bisa ya cepat begitu hasilnya keluar? Maklumlah kampus online, jadi semua hal serba online. Ya pokoknya terima kasih untuk teman-teman yang sudah saya todong untuk berdoa bagi ade saya. Yang di IMI juga keterima. Hasil SPMB aja yang baru Agustus diumumkan. Tinggal dia pilih aja dimana yang dia mau.
Masih mengenai kuliah. Kemarin saat makan siang di warteg dekat kos-kosan, tanpa sengaja saya mendengar percakapan antara dua pelanggan yang makan di situ juga. Bisa saya simpulkan salah-satunya seles mobil dan yang satu lagi supervisor dia. Percakapannya seputar pekerjaan, mulai dari pengalaman seles tsb bekerja di tambang lepas pantai sampai kerja di tempat sekarang. Singkat cerita dalam satu stetmen seles ini berkata bahwa pendidikan itu tidak perlu. Di atas semuanya itu pengalman lah yang dilihat saat melamar kerja. Dia memberikan contoh sering kali justru senior-senior mereka yang notabene hanya lulusan SMU yang mentrening para calon pekerja dengan titel S1 or S2. Entah karena dia sendiri hanya lulusan SMU sehingga dia mengeluarkan opini tsb (karena memang opini ini muncul setelah di picu oleh pertanyaan lawan bicaranya saat menanyakan riwayat studinya) atau karena hal lain.
Saya jadi ingat percakapan di depan kampus saya beberapatahun yang lalu. Isi percakapannya mengenai salah-seorang teman yang bekerja sebagai translate wawancara di salah satu bank swasta nasional. Dia berpendapat gak masalah dengan sistem komisi (yang sangat kecil) asal mendapatkan pengalama kerja, walopun dia S1, karena S1 aja banyak yang pengangguran. Sebagian kawan yang terlibat dalam obrolan tsb sependapat dengan dia.
Memang sih, sekarang S1 aja banyak bangat yang nganggur. Tapi apa benar pengalaman segitu pentingnya dalam penerimaan kerja?
Sebenarnya ini jebakan yang diletakan oleh bagian personalia. Seorang 1st graduate tanpa pengalaman rela di bayar di bawa UMR yang seharusnya di terima seorang lulusan S1. Jangka waktu minimal utk mendapatkan pesangon dan surat keterangan bekerja kira-kira satu tahun. Sehingga selama 1tahun orang tsb 'mengabdi' secara sukarela di perusahaan tsb demi sepucuk pengalaman. Setelahnya jika pegawai merasa tidak puas dengan gaji bisa mengundurkan diri (dan biasanya mengundurkan diri tidak di kasih pesangon). Perusahaan tidak merasa kehilangan karena masih banyak S1-S1 di luar tanpa pengalaman yang mau di gaji dibawa UMR. Akhirnya pengalaman menjadi bumerang juga bagi calon karyawan.
Jadi balik lagi, benar gak sih pengalaman lebih penting dari latar pendidikan?
Nyokap saya dulu sering berujar, "walopun sama-sama petani, tapi hasil dari petani yang lulusan SMU dan lulusan S1 berbeda". Stuju bangat mak!! Emang emak gw deh yang paling top!
Buktinya bukan pengalaman yang didorong agak suatu negara dapat meningkatkan taraf hidup rakyatnya, namun pendidikannya. Dengan pendidikan cara pandang orang akan berbeda saat melihat dunia ini. Seorang lulusan SD yang punya uang 1milyar akan membuang uangnya di tempat di mana biasanya anak SD menghabiskan uangnya. Sedangkan seorang yang terpelajar akan tepat guna menggunakan uangnya.
Segini aja dulu deh, batre HP habis nih. Bye guys.
Midnight recording
Hari Minggu kemarin, tepatnya tanggal 1Juli, untuk pertama kalinya di tahun ini saya nge-take lagu. Terakhir kali take lagu kalo tidak salah dua tahun yang lalu. Namun tidak hanya itu saja, hari Minggu itu menjadi hari yang paling melelahkan.
Hari itu diawali dengan bangun pk6.00, dengan tidur yang kurang, dikarenakan malam sebelumnya kita (saya, Richard (adik saya), Richo (teman kos) en Billy (temen kos juga)) main Dota di warnet sampai pk3 dini hari. Masih dengan mata yang gontai dan langkah yang sayup saya memaksakan diri berjalan ke kamarmandi karena hari itu saya pelayanan di greja pk8.00, dan sudah harus tiba di greja 30menit sebelumnya. Namun bukan saja satu kali ibadah, karena dari greja lokal saya, di teruskan ke Tiberias, pelayanan musik 3sesi dari pk13.00 s/d pk19.00; its mean gw main musik rata-rata hari itu lima jam! Sama kek konser!
Sehabis dari pelayanan yang melelahkan, saya kembali menuju kos untuk ganti baju, terus ke jalan ke Bekasi, karena studio recordingnya di sana. Takenya sendiri pk00.00 dini hari dan sudah harus kumpul disana 1,5jam sebelumnya. Dipilih waktu selarut ini, dengan pertimbangan biasanya ide-ide muncul ditengah malam yang sepi sambil di temnai jangkrik; yang kedua karena distorsi dan gangguannya bisa di bilang gak ada. Namun untung tak dapat di tolak malang tak dapat di tendang, kita telat. Keknya ini merupakan salah-satu anomali bagi musisi. Entah mengapa jika menyangkut musik dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, pasti telat. Liat aja konser-konser musik, yang di mulai tepat pada waktunya bisa dihitung menggunakan satu tangan saja. Cuma kalo urusannya bukan musik (padahal dengan orang yang sama) bisa tuh on time. Hm dunia yang aneh.
Enyway kami (saya, Richard (adik saya), Richo (teman kos) dan Marchel (gak jelas siapa hehehe); ini personil kos band huehuehue) tiba di studio bersangkutan pk1.00 dini hari. Nama studionya 'Meteor'. Sedangkan nama studio rentalnya 'Garden' hehehe jayus dah. Saya sempat kaget juga melihat kondisi studionya, agak meleset dari bayangan saya. Alat-alatnya hampir gak beda jauh dengan studio rental yang 50ribu per jam. Dalam hati kalo tahu begini mah gw bawa simbal-simbal dari MG deh. Belum lagi hardware yang gak menunjang. Hampir aja saya putus- asa en walkout. Cuma karena tuntutan profesionalisme (ciee ilee) akhirnya saya meneguhkan diri bahwa ini tidak separah yang di bayangkan. Untung juga snare bawa sendiri, sekalian tes drive nih 'bini' baru, jadi masih bisa sedikit menghibur hati.
Eh ternyata benar kawan-kawan, hasilnya bagus! Apa lagi snarenya. Awalnya saya tidak menyangka kalo sound snarenya bakalan bright, cos sebelumnya setiap kali di bawa nge-gig secara live soundnya cenddrung warm, malah terlalu warm seperti mendam. Apa lagi untuk recording kali ini snare tsb di tune 'ngawur'. Recording digitalnya sendiri menggunakan Nuendo-3. Keknya biar take drumnya pake ember ma panci, hasil outnya bakalan jadi drum bagus deh. Amaze bangat. Saya sendiri sudah lama gak recording lagu. Kalo dulu biar digital studio, kita juga mainnya harus extra hati-hati en perfect, apa lagi instrumen-instrumennya, pengaruh bangat. Nah kalo sekarang ini, hasil lagi dari garasi rumah juga bisa jadi album coy. Take lagunya juga semi tracking, jadi instrumen dasar live sedangkan untuk melodi, string, en effect tracking sendiri. Vokal sendiri butuh lima track agar hasil suaranya tebal. Dengar-dengar band Ungu habiskan 15tack hanya untuk vocalnya saja. Wow!
Total kita take ada 3kali. Yang pertama saya recording tanpa guiden. Cuma dengar drum aja, kek latihan lagu, tanpa instrumen lainnya. Sebenarnya sudah disiapkan headphone sebagai monitor cuma terlalu tajam sound snare drumnya sehingga saya memilih tidak menggunakannya, dan hanya mengandalkan naluri binatang saya saja. Kali pertama ini saya menggunakan match grip karena dari pengalaman menggunakan traditional grip pasti ada miss-nya kalo rimshoot snare. Hasilnya sih bagus, cuma kata opratornya kurang 'bernyawa'. Di sarankan menggunakan headphone. Akhirnya untuk take ke 2 dengan berat hati saya menggunakan headphone tsb. Selan menggunakan headphone saya juga coba untuk merubah grip tangan kiri ke traditional grip. Ternyata hasilnya jauh lebih baik. Karena bisa mendengarkan monitor hasil lagunya sendiri lebih berisi dan bernyawa (ternyata memang terasa bangat antara lagu yg bernyawa dengan yang sekedar bunyi, padahal apa yg dimainkan sama persis). Selain itu permainana saya sendiri lebih santai karena menggunakan grip sehari-hari saya, match grip. Cuma ada beberapa miss yang dilakukan oleh teman, dan akhirnya diputuskan untuk mengambil satu kali take lagi, dan alhasil yang dipake hasil take yang terakhir.
Setelah beres, giliran take untuk tracking gitar, effect dan vocal. Yang lumayan agak lama take vocal. Selama take untuk vocal dan balancing lagu saya sudah beranjak ke alam lain, alias tidur. jam lima lewat kami beranjak pulang. Sebelum kembali ke Grogol Jakbar, kami sempatkan sarapan soto ayam di daerah Galaxi, mengantar salah-satu teman yang tinggal di Bekasi, baru meneruskan perjalanan pulang. Itu hari Senin, dan kami berangkat dari Bekasi sudah di atas jam6, its mean bloody trafic!!! Udah gitu gw ditinggal nyetir sendirian, yang lain pada tidur! Swt dah. Setelah melalui darah yang berceceran dan lembah kemacetan, kami tiba di kos tercinta jam9, dan langsung memeluk bantal dengan mesrahnya plus posisi nungging mencumbu tempat tidur.
Saya sendiri baru bangun pk 2 dini hari. Tidur 14jam!!! Udah kek jet lag ke Jepang aja. Ck ck... Ya sekian ceritanya mengenai recording kali ini. Sebenarnya mau di posting juga disini hasil recordingnya, cuma selain karena gaptek, tuh lagu bakalan teman-teman dengar juga di final Indonesian Idol;)
Ok deh, mau tidur lagi nih hehehe ini bukan karena masih cape, tapi karena kondisi kurang fit, keknya karena kecapean hari Minggu itu. Bye guys
Hari itu diawali dengan bangun pk6.00, dengan tidur yang kurang, dikarenakan malam sebelumnya kita (saya, Richard (adik saya), Richo (teman kos) en Billy (temen kos juga)) main Dota di warnet sampai pk3 dini hari. Masih dengan mata yang gontai dan langkah yang sayup saya memaksakan diri berjalan ke kamarmandi karena hari itu saya pelayanan di greja pk8.00, dan sudah harus tiba di greja 30menit sebelumnya. Namun bukan saja satu kali ibadah, karena dari greja lokal saya, di teruskan ke Tiberias, pelayanan musik 3sesi dari pk13.00 s/d pk19.00; its mean gw main musik rata-rata hari itu lima jam! Sama kek konser!
Sehabis dari pelayanan yang melelahkan, saya kembali menuju kos untuk ganti baju, terus ke jalan ke Bekasi, karena studio recordingnya di sana. Takenya sendiri pk00.00 dini hari dan sudah harus kumpul disana 1,5jam sebelumnya. Dipilih waktu selarut ini, dengan pertimbangan biasanya ide-ide muncul ditengah malam yang sepi sambil di temnai jangkrik; yang kedua karena distorsi dan gangguannya bisa di bilang gak ada. Namun untung tak dapat di tolak malang tak dapat di tendang, kita telat. Keknya ini merupakan salah-satu anomali bagi musisi. Entah mengapa jika menyangkut musik dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, pasti telat. Liat aja konser-konser musik, yang di mulai tepat pada waktunya bisa dihitung menggunakan satu tangan saja. Cuma kalo urusannya bukan musik (padahal dengan orang yang sama) bisa tuh on time. Hm dunia yang aneh.
Enyway kami (saya, Richard (adik saya), Richo (teman kos) dan Marchel (gak jelas siapa hehehe); ini personil kos band huehuehue) tiba di studio bersangkutan pk1.00 dini hari. Nama studionya 'Meteor'. Sedangkan nama studio rentalnya 'Garden' hehehe jayus dah. Saya sempat kaget juga melihat kondisi studionya, agak meleset dari bayangan saya. Alat-alatnya hampir gak beda jauh dengan studio rental yang 50ribu per jam. Dalam hati kalo tahu begini mah gw bawa simbal-simbal dari MG deh. Belum lagi hardware yang gak menunjang. Hampir aja saya putus- asa en walkout. Cuma karena tuntutan profesionalisme (ciee ilee) akhirnya saya meneguhkan diri bahwa ini tidak separah yang di bayangkan. Untung juga snare bawa sendiri, sekalian tes drive nih 'bini' baru, jadi masih bisa sedikit menghibur hati.
Eh ternyata benar kawan-kawan, hasilnya bagus! Apa lagi snarenya. Awalnya saya tidak menyangka kalo sound snarenya bakalan bright, cos sebelumnya setiap kali di bawa nge-gig secara live soundnya cenddrung warm, malah terlalu warm seperti mendam. Apa lagi untuk recording kali ini snare tsb di tune 'ngawur'. Recording digitalnya sendiri menggunakan Nuendo-3. Keknya biar take drumnya pake ember ma panci, hasil outnya bakalan jadi drum bagus deh. Amaze bangat. Saya sendiri sudah lama gak recording lagu. Kalo dulu biar digital studio, kita juga mainnya harus extra hati-hati en perfect, apa lagi instrumen-instrumennya, pengaruh bangat. Nah kalo sekarang ini, hasil lagi dari garasi rumah juga bisa jadi album coy. Take lagunya juga semi tracking, jadi instrumen dasar live sedangkan untuk melodi, string, en effect tracking sendiri. Vokal sendiri butuh lima track agar hasil suaranya tebal. Dengar-dengar band Ungu habiskan 15tack hanya untuk vocalnya saja. Wow!
Total kita take ada 3kali. Yang pertama saya recording tanpa guiden. Cuma dengar drum aja, kek latihan lagu, tanpa instrumen lainnya. Sebenarnya sudah disiapkan headphone sebagai monitor cuma terlalu tajam sound snare drumnya sehingga saya memilih tidak menggunakannya, dan hanya mengandalkan naluri binatang saya saja. Kali pertama ini saya menggunakan match grip karena dari pengalaman menggunakan traditional grip pasti ada miss-nya kalo rimshoot snare. Hasilnya sih bagus, cuma kata opratornya kurang 'bernyawa'. Di sarankan menggunakan headphone. Akhirnya untuk take ke 2 dengan berat hati saya menggunakan headphone tsb. Selan menggunakan headphone saya juga coba untuk merubah grip tangan kiri ke traditional grip. Ternyata hasilnya jauh lebih baik. Karena bisa mendengarkan monitor hasil lagunya sendiri lebih berisi dan bernyawa (ternyata memang terasa bangat antara lagu yg bernyawa dengan yang sekedar bunyi, padahal apa yg dimainkan sama persis). Selain itu permainana saya sendiri lebih santai karena menggunakan grip sehari-hari saya, match grip. Cuma ada beberapa miss yang dilakukan oleh teman, dan akhirnya diputuskan untuk mengambil satu kali take lagi, dan alhasil yang dipake hasil take yang terakhir.
Setelah beres, giliran take untuk tracking gitar, effect dan vocal. Yang lumayan agak lama take vocal. Selama take untuk vocal dan balancing lagu saya sudah beranjak ke alam lain, alias tidur. jam lima lewat kami beranjak pulang. Sebelum kembali ke Grogol Jakbar, kami sempatkan sarapan soto ayam di daerah Galaxi, mengantar salah-satu teman yang tinggal di Bekasi, baru meneruskan perjalanan pulang. Itu hari Senin, dan kami berangkat dari Bekasi sudah di atas jam6, its mean bloody trafic!!! Udah gitu gw ditinggal nyetir sendirian, yang lain pada tidur! Swt dah. Setelah melalui darah yang berceceran dan lembah kemacetan, kami tiba di kos tercinta jam9, dan langsung memeluk bantal dengan mesrahnya plus posisi nungging mencumbu tempat tidur.
Saya sendiri baru bangun pk 2 dini hari. Tidur 14jam!!! Udah kek jet lag ke Jepang aja. Ck ck... Ya sekian ceritanya mengenai recording kali ini. Sebenarnya mau di posting juga disini hasil recordingnya, cuma selain karena gaptek, tuh lagu bakalan teman-teman dengar juga di final Indonesian Idol;)
Ok deh, mau tidur lagi nih hehehe ini bukan karena masih cape, tapi karena kondisi kurang fit, keknya karena kecapean hari Minggu itu. Bye guys
Langganan:
Postingan (Atom)