Sebuah fenomena muncul pada tanggal 14Juni kemarin. Di bilangan Rasuna Said Jakarta, ribuan orang rela mengantri untuk mendapatkan Communicator E-90. Tidak tanggung-tanggung, penjualan terbatas yang baru dibuka pada pk09.00 ini sudah dinantikan sejak pk03.00 dini hari.
Hanya di Indonesia orang rela mengantri kurang lebih 6jam untuk membeli Communicator. Hanya di Indonesia Comunnicator bisa laku keras. Bahkan pemilik pertama Communicator adalah Hartono Gunawan, berkebangsaan Indonesia. Di dapat melalui lelang dengan bit terakhir US$5000 (sekitar 45juta rupiah).
Harga resmi E-90 saat ini 10,5juta, turun 6juta dibanding keluar perdananya. Secara nalar, sungguh tidak masuk akal membeli hape seharga notebook, yang kemampuannya juga jauh di bawa notebook. Bahkan dengan harga lebih murah dari E-90, kita sudah dapatkan notebook seukuran buku tulis, lengkap dengan pemutar dvd, koneksi yang lengkap, prosesor yang kencang, layar yang lebar, memori yang lebih lapang, office application sungguhan dan tentunya ini notebook yang sebenarnya. Lantas mengapa E-90 ini laku keras, khususnya di Indonesia?
Setelah di tengok jeroannya pun, selain menggunakan prosesor (ARM11- OMAP2420 330MHz) dan RAM paling besar di kelas hape (128MB) tidak ada yang istimewa.
Bandingkan dengan salah-satu spec PDA yang prosesornya Intel Xscale 624MHz (2X lebih cepat dari E-90) dan RAM 64MB/ROM 1GB (4Xlebih lapang) dengan selisih harga 3juta lebih murah dari E-90.
Oprating system (OS) E-90 pun menggunakan Symbial v9.2 3rd edition pack 3.1, atau bahasa sederhananya tidak ada perbedaan dengan hape Nokia seri N lainnya, khususnya N95. Tapi tentu saja E-90 jauh lebih mahal dari N95. Jika seseorang cukup waras, pastilah dia lebih memilih PDA phone sebagai sekunder office gadget setelah notebook jika memang itu alasannya untuk memiliki hape pintar tsb (baca E-90). Lantas apa yang membuat orang menghilangkan kewarasannya untuk membeli E-90?
Ada statistik (dari tabloid Pulsa, lupa edisi keberapa) yang menyebutkan bahwa pengguna communicator di Indonesia adalah pengusaha (masuk akal), pejabat (gak malu pak beli dengan uang rakyat?), sisanya karena dikasih orang (saya juga gak nolak kalo dikasih) dan sebagai identitas diri (mungkin KTP kurang mewakili identitas diri bagi mereka). Jika memang statistik ini benar, berarti pengusaha di negara kita tidak mencerminkan asas tepat guna, atau mungkin sudah menghilangkan kewarasannya. Jika memang statistik ini dapat dipertanggungjawabkan, berarti pejabat di negara kita sudah menghilangkan nuraninya, atau sekali lagi kewarasannya telah terganggu.
Kemarin saya sempat ngobrol dengan rekan mengenai hape ini. Saya sempat tertegun sewaktu dia menyebut hape ini dengan E-go (angka sembilan di baca G). Saya jadi menerka-nerka, bisa jadi Nokia dengan sengaja me-lebel hape ini dengan E-go agar menunjukan pesan tersebut. Hape yang di produksi untuk memuaskan E-go penggemar gilanya. Ironisnya pasar terbesarnya adalah Indonesia (negara kedua diluncurkannya E-90, itu pun setelah Firlandia, negara asal Nokia). Mungkin di mata dunia, Indonesia ini adalah negara berkembang (jika tidak ingin di bilang koleps) dengan E-go paling gila.
Bagi saya, E-90 adalah hape cerdas bagi orang-orang yang bodoh. Dan kebodohan itu di bayar dengan mahal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar