Buat yang sering baca blog saya, pasti sadar, kok tulisannya banyak salahnya ya? Ini yg nulis bisa bedain penggunaan di gak sih?
Soalnya banyak yang komplain. Ok deh, sebenarnya cuma dua orang yg komplain. Apa sehabis nulis blog, gak di cek?
Sudah saya cek kok (yang maksudnya cuma sekali lihat dengan cepat), cuma entah mengapa terkadang masih saja terlewatkan. Akhirnya, saya sendiri mencoba menganalisa kesalahan saya, dengan tingkat ke-sotoy-an ala psikolog -- soalnya ada yang bilang kalo psikolog itu sotoy semua.
Akhirnya ada satu teori yang mendekati kebenaran dari masalah ini (atau setidaknya begitu yang saya pikir).
Saya ingat-ingat kembali, ternyata sewaktu SD dulu saya tidak suka mengeja. Alih-alih malah membacanya langsung. Waktu itu, menurut saya, bodoh sekali jika harus membaca dengan mengeja. Saya pikir saya cukup pintar, tapi nyatanya justru menuai kekeliruan yang cukup mengganggu saat ini.
Karena mambaca dalam konteks saya, bukan untaian huruf yang membentuk kata, namun sekilas huruf yang membentuk kata. Memang dalam membaca, hal ini membuat saya lebih cepat menyelesaikan sebuah buku. Namun saat saya menuliskannya, malah salah-salah.
Gak hanya kamu kok yang komplain, editor saya mungkin sebenarnya juga sudah nangis disana, mengoreksi kesalahan-kesalahan saya hahahaha.
Sebenarnya tidak hanya dalam membaca dan menulis, kita pun sering malas melewati tahap demi tahap dalam belajar. Keinginan hati langsung bisa, tanpa adanya proses; melihat hasil dari pada prosesnya. Sayangnya proses -- walaupun sepele -- itu yang membedakan hasilnya.
Jadi, tolong koreksinya ya kalo ada kesalahan penulisan :D
Ow iya, gimana nih penempatan di yang benar? ^_^
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 comments:
Beberapa waktu lalu saya sempat lihat di sebuah forum ('di sebuah forum', kata 'di' fungsinya sebagai kata depan, jadi ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya) yg memiliki thread tentang kumpulan puisi anggotanya. Ada juga beberapa blog yg mengatasnamakan puisi. Namun setelah di baca (seharusnya 'dibaca', karena kata 'di' pada konteks ini tidak berfungsi sebagai kata depan), isinya tidak jauh berbeda dari narasi, atau -- dalam bentuk seni tertulis lainnya -- disebut (BENAR! sama dengan penjelasan yang sebelumnya, 'di' pada kata 'disebut' tidak berfungsi sebagai kata depan) prosa.
*sotoy mode on*
1. Apa sehabis nulis blog, gak di cek? -> dicek
2. ... editor saya mungkin sebenarnya juga sudah nangis disana.. -> di sana
*guru bahasa indonesia mode on*
Wah-wah, makasih ya de.
Jadi pertanyaan berikutnya yg kk ingin ajukan, 'apa perbedaan di- sebagai kata depan, dengan di- sebagai kata sambung?
Posting Komentar