Penulis: Frank Tallis
Penerbit: Qanita
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Tebal: 581 halaman
Ini buku kedua Frank Tallis dari serial The Liebermann Papers. Bergenre mystery & thrillers. Masih dengan latar Vienna 1902, dokter muda Max Libermann dan inspektur Oskar Rheinhardt. Frank Tallis sendiri adalah seorang Psikologi Klinis, dan pengajar di Institute of Psychiatry dan King's College London dalam bidang psikologi klinis dan neurosains.
Vienna Blood bercerita mengenai pembunuhan (lagi) yang terjadi di Wina. Kali ini Frank mengisahkan tentang pembunuhan berantai yang korbannya didasarkan pada penokohan The Magic Flute, karya Wolfgang Amadeus Mozart.
Korban pertama adalah seekor anakonda yang terpotong menjadi tiga bagian, serupa dengan tiga bagian naga yang terpotong dalam pembukaan The Magic Flute. Setelah itu Madam Borek beserta tigak pembantunya mati dengan cara yang mengenaskan. Belum sampai disana, seorang negro mati, dan seorang Ceko penjual burung. Vienna di banjiri darah pembunuhan berantai.
The Magic Flute sendiri merupakan opra dengan tokoh-tokoh Ratu Malam bersama tiga dayang, Papageno si penangkap burung yang dihukum karena berbohong, Monostatos yang berkulit gelap, ada pula Pangeran Tamino, Pamina, Sarastro yang bijak, Juru Bicara Kuil... dan ada juga anak-anak. Dengan begitu ini baru awal dari pristiwa berdarah tsb...
Detektif kita, Oskar, dibuat kebingungan. Max dengan deduksinya berusaha mengungkap kejahatan yang berutal ini. Namun disaat pembunuhan ini menyita pikirannya, justru pertunangannya dengan Clara Weiss terancam.
Jika London memiliki Jack the Ripper, Wina memiliki Salieri.
plus
- + bagi orang-orang yang suka cerita detektif ala Hercule Poirot, ini bisa jadi novel berikut yang akan menjadi favoritmu.
- + buat saya pribadi, yang menarik justru munculnya tokoh Psikoanalisa, Sigmund Freud dan Albert Adler dalam The Liebermann Papers. Bahkan dikisahkan herr Freud merupakan idola Max Liebermann.
- + Frank Tallis bahkan mengumpulkan risetnya dari seluruh penjuru dunia, untuk membuat novelnya sedetil mungkin. Bahkan berkorespondensi dengan Tram Museum untuk 'sekedar' mengetahui sistem trem di Winna kala itu.
- - saya pribadi kurang begitu suka ending dari novel-novel Frank Tallis (a Death in Vienna dan Vienna Blood). Akhir dari novelnya kurang klimas, dan terkesan datar. Mengingatkan saya pada JR Tolkien, penulis LOTR. Walaupun jenius, dan pandai mengolak ditel, namun jelek dalam membuat ending (walaupun Frank Tallis masih lebih baik sih).
- - kalo yang ini mungkin bocoran dikit bagi yang belum baca. Saya pribadi sangat menyesal saat Max membatalkan pertunangannya dengan Clara. Ah, pria tolol! Yang namanya perasaan, mungkin benar tidak bisa dibohongi, tapi komitmen tidak bisa di nodai hanya dengan alasan perasaan kan? Itu ini juga, yang mau tidak mau, membuat saya menyukai tokoh Max. Dia hanya seoarng pria yang tolol, yang tentunya jauh dari sempurna. Bukan seperti tokoh novel lokal kan, yang selalu digambarkan, sempurna *sinetron kali?!*
1 comments:
Joe.. thanx ya udah mampir ke blog gw. Senang kenalan sama kamu, aplagi kita se IFGF. Terima kasih juga utk info BS nya...
Blog kamu bagus deh.
Posting Komentar