Sebelum saya terdampar sebagai anak Psikologi pun, saya sempat mendaftar di DKV Trisakti, bahkan sempat mendapat beasiswa penuh dari Unikom Bandung, untuk jurusan yang sama. Sayangnya, kala itu saya masih mengejar cinta di Jakarta dan tidak mengetahui kalo di Bandung banyak wanita yang lebih geulis dari gebetan saya.
Setelah berkuliah, saya tidak pernah melukis lagi. Namun sebagai orang yang
Bukan, Masterpiece bukan nama gerai pameran, melainkan nama buku katalog lelang reguler untuk setiap event pameran lukis, baik di Indonesia maupun mancanegara. Sekali lagi perlu saya tegaskan, bahwa saya buka kaum borju yang hobi lukisan. Saya hanya sekedar kaum buruh yang sekedar memiliki katalognya saja sudah merupakan kebahagiaan dari pada harus menempatkan batu kilangan di leher dengan membeli lukisan.
Walaupun saya penikmat lukisan, tapi rasio saya masih sehat - setidaknya saya percaya bumi itu datar dan figur Monalisa itu cowok; sehingga saat saya melihat lukisan dengan judul 'Ingin Seperti Marcopolo' (Masterpiece edisi 11 Mei '08 - Pameran di hotel Hyatt Aryaduta, hal277), saya benar-benar gak habis pikir, bagaimana mungkin lukisan tersebut dihargai 90-120jt. Saya tidak bisa melihat ada yang menarik dari kanvas berukuran 140X160cm dengan sapuan arkilik merah tersebut. Kalo saya bisa temukan gambarnya, akan saya post di sini agar kamu bisa ikut menilainya.
(karena tidak menemukan, akhirnya saya foto dan upload di sini. Foto ini hanya sepotong, namun sisanya hanya ombak orange)
Menurut saya, hanya orang dengan otak di kentang dan pantat di umbi yang mau menghabiskan 90juta buat membeli lukisan tersebut. Namun herannya, ada loh orang berkepala kentang dan berpantat umbi yang membeli lukisan tersebut, bahkan terjual di atas 100juta. Geblek!
Beli ice caramel machiato bisa dapat 2000 gelas lebih tuh. Kalo pun minum tiap hari berdua sama teman pun, bisa cukup sampai dua setengah tahun, loh!?
Masalahnya bukan ada orang yang berkepala kentang, namun karena saya tidak tahu siapa pelukisnya. Namanya Saftari, kelahiran Payakumbuh 1971. Yup, saya memang tidak tahu siapa pelukisnya, tapi pasti ia seorang maestro yang sudah memiliki nama, sehingga kurator galeri menganggkat lukisannya semahal itu.
Sama jika saya menawarkan ke kamu sketsa laki-laki tua yang merokok, berukuran kecil, dan kamu saya suruh membayar 50juta. Bahkan setelah saya sebutkan bahwa sketsa tersebut karya Efendi pun kamu tidak akan bergeming, karena kamu tidak tahu siapa orang tersebut. Tapi saat kamu tahu siapa Efendi, maka kamu akan bergegas mencari pinjaman untuk membelinya, karena karya Efendi rata-rata berkisan 500juta ke atas.
Sering sekali kita tidak mengetahui nilai sebuah barang karena kita tidak mengenal siapa penciptanya. Sama juga saat kita tidak menghargai orang lain, bahkan mungkin diri kita sendiri, lantaran karena kita tidak mengenal siapa Pencipta kita. Juga omong kosong jika ada orang saleh beragama tapi tidak bisa melihat sesamanya sedrajat dengan dia.
Sering kali kita menganggap rendah orang yang miskin, cacat, terbuang, sampah masyarakat (silahkan tambahkan sendiri dengan apa yang kamu anggap rendah). Padahal kalo kita pikirkan kembali, Pencipta mereka dan Pencipta kita pun sama, sudah seharusnya nilai mereka dengan kita pun sejajar. Hanya saja mereka kurang beruntung.
Ilustrasi yang tepat saya dapatkan saat melihat lukisan yang berada pada lot no161 di pameran yang sama. Judulnya 'Jadi Pilihan'. Karya Kusmanto tersebut dilukis menggunakan pensil dan minyak pada kanvas 140X200cm. Lukisan tersebut berkisah mengenai tigak buah kertas yang sudah diremes kucel; kertas buku tulis, kertas iklan, dan kertas uang IDR50.000. Walaupun uang tersebut sudah buruk rupanya, tetapi digambarkan di sana bahwa kertas tersebut menjadi pilihan bagi orang-orang. See? Bahkan sekalipun 'kertas 50.000' tersebut masuk comberan, nilainya tetap tidak berubah, bahkan tidak menjadi IDR49.999,99.
Demikian juga dengan manusia. Bagaimana pun rupa mereka, apa pun atribut mereka, bahka sudah masuk comberan pun, nilainya tetap akan saya seperti diriku dan dirimu. Dan saat kamu menilai dengan benar; sama pentingnya dan sama berharganya seperti dirimu dan diriku, maka saya jamin hidupmu dan hidupku akan menjadi lebih indah. Karena kamu dan saya melihat Tuhanku dan Tuhanmu di dalam karya-Nya.
So, siap mengeluarkan 100juta untuk karya Saftari yang lainnya? Kalo saya masih belum siap.
Sent from my BlackBerry® smartphone from XL
Beli ice caramel machiato bisa dapat 2000 gelas lebih tuh. Kalo pun minum tiap hari berdua sama teman pun, bisa cukup sampai dua setengah tahun, loh!?
Masalahnya bukan ada orang yang berkepala kentang, namun karena saya tidak tahu siapa pelukisnya. Namanya Saftari, kelahiran Payakumbuh 1971. Yup, saya memang tidak tahu siapa pelukisnya, tapi pasti ia seorang maestro yang sudah memiliki nama, sehingga kurator galeri menganggkat lukisannya semahal itu.
Sama jika saya menawarkan ke kamu sketsa laki-laki tua yang merokok, berukuran kecil, dan kamu saya suruh membayar 50juta. Bahkan setelah saya sebutkan bahwa sketsa tersebut karya Efendi pun kamu tidak akan bergeming, karena kamu tidak tahu siapa orang tersebut. Tapi saat kamu tahu siapa Efendi, maka kamu akan bergegas mencari pinjaman untuk membelinya, karena karya Efendi rata-rata berkisan 500juta ke atas.
Sering sekali kita tidak mengetahui nilai sebuah barang karena kita tidak mengenal siapa penciptanya. Sama juga saat kita tidak menghargai orang lain, bahkan mungkin diri kita sendiri, lantaran karena kita tidak mengenal siapa Pencipta kita. Juga omong kosong jika ada orang saleh beragama tapi tidak bisa melihat sesamanya sedrajat dengan dia.
Sering kali kita menganggap rendah orang yang miskin, cacat, terbuang, sampah masyarakat (silahkan tambahkan sendiri dengan apa yang kamu anggap rendah). Padahal kalo kita pikirkan kembali, Pencipta mereka dan Pencipta kita pun sama, sudah seharusnya nilai mereka dengan kita pun sejajar. Hanya saja mereka kurang beruntung.
Ilustrasi yang tepat saya dapatkan saat melihat lukisan yang berada pada lot no161 di pameran yang sama. Judulnya 'Jadi Pilihan'. Karya Kusmanto tersebut dilukis menggunakan pensil dan minyak pada kanvas 140X200cm. Lukisan tersebut berkisah mengenai tigak buah kertas yang sudah diremes kucel; kertas buku tulis, kertas iklan, dan kertas uang IDR50.000. Walaupun uang tersebut sudah buruk rupanya, tetapi digambarkan di sana bahwa kertas tersebut menjadi pilihan bagi orang-orang. See? Bahkan sekalipun 'kertas 50.000' tersebut masuk comberan, nilainya tetap tidak berubah, bahkan tidak menjadi IDR49.999,99.
Demikian juga dengan manusia. Bagaimana pun rupa mereka, apa pun atribut mereka, bahka sudah masuk comberan pun, nilainya tetap akan saya seperti diriku dan dirimu. Dan saat kamu menilai dengan benar; sama pentingnya dan sama berharganya seperti dirimu dan diriku, maka saya jamin hidupmu dan hidupku akan menjadi lebih indah. Karena kamu dan saya melihat Tuhanku dan Tuhanmu di dalam karya-Nya.
So, siap mengeluarkan 100juta untuk karya Saftari yang lainnya? Kalo saya masih belum siap.
Sent from my BlackBerry® smartphone from XL
6 comments:
Aih, postingan-nya reflektif sekali :)
Sent from my Strawberry wireless device.
@Hanny
Strawberry wireless??
Aih, commentnya reaktif sekali :)
hahaha.. Joe, postingan lo cukup menghibur gw dimalam hari nih . haha... yah yah.. mgkn buat gw yang nda ngerti seni di lukisan jg, nda rela bayar segitu deh..
mgkn tunggu gw uda kaya n duit nya uda nda tau mo dikemanain lagi kali yah..
peace
@Sisil
Haha kalo gw sih biar duit metik di halaman belakang jg gak bakal beli lukisan yg isinya cuma perahu kertas :D
Loh memang kenapa nih, kok sepertinya butuh hiburan? :)
Posting kali ini bagus banget Joe ... Top. No more comment Joe You article speak for itself ...
But baru tau nih kalau U pencinta and bisa nikmati lukisan ...
Kalau satu ini, lu lebih mahir Joe ...
@Benny
[quote]Posting kali ini bagus banget Joe...[/quote]
Kali ini? Hm berarti ini sebuah kritik buat postingku selama ini, sekaligus pelajaran untuk membuat posting lain kali...
[quote]Kalau satu ini, lu lebih mahir Joe ..[/quote] kali in? Hmm ini jg gw gak mahir Ben. Jadi memang gw gak ada kemahiran...
Hehe kidding Ben :D
Gak mahir lah, cuma seneng aja lukisan, masih jauh dari mahir. Tq buat commentnya Ben :)
Posting Komentar