Senin terakhir di bulan Juni gw sudah kembali di belakang meja kerja gw di Banjarmasin. Liburan selama dua minggu kemarin di Jakarta cukup menyenangkan. Gw bisa ketemu cewek yang selama ini hanya gw temui di facebook. Gw juga bisa habiskan duit untuk hal yang gak berguna *asem!* gw bisa ketemu sahabat gw yang baru balik dari Belanda, gw bisa ketemu sohib baik gw yang sudah jadi artis ibu kota (yang kalo ketemu dia habrus bikin janji dulu dari tahun lalu) -- susanya setengah mampus.
Gak kalah menyenangkan, akhirnya gw bisa makan sushi bareng sohib gw calon-artis-ibu-kota; makan di sushi tei dengan kalap, habis 800 ribu *nangis darah* (untuk para cowok: gak direkomendasikan makan sushi dengan perut lapar). Gw juga bisa main ke bengkel opel di Jakarta dan lihat blazer limo. keren bangat! Sayang lagu dangdutan, jadi lebih berasa naik angkot ketimbang naik mobil mewah.
Gw juga bisa beli beberapa buku-buku keren, diantaranya bukunya David Sedaris (When You are engulfed in flames), It's Not How Good Your Are, It's How Good You Want To Be nya Paul Arden, sama Catatan Pulau Buru nya Pramoedya Ananta Toer. Habis beli buku-buku tsb gw baru sadar gw masih punya 2 buku yang belum selesai dibaca *garuk aspal*
Selain itu netbook gw juga sudah bisa work well sekarang. Intinya gw sangat menikmati liburan gw ke Jakarta kali ini, seperti balik ke peradaban. Walaupun gw kembali ke Banjarmasin dengan kantong kering. Sangkin enjoynya gw sempat berat kembali ke Banjarmasin. Bahkan sampai di bandara pun seolah maskapai yang gw gunakan mendukung gw gak balik banjarmasin dengan keterlambatan pesawat dua jam. Gw sudah berharap aja sekalian ditunda besok penerbangannya, secara sudah jam21. Tapi kata temen gw delay nya pesawat karena pilotnya nonton Jerman vs Inggris. Pilot kancut!
Ngomongin soal bola, untuk pertama kalinya gw nonton piala dunia di luar pulau Jawa (Banjarmasin). World Cup sebelumnya gw nonton bareng temen-temen kost. Sebenarnya gw gak nonton deng, soalnya kebanyakan gw taruhan. Gw punya aturan untuk tidak menonton pertandingan yang gw pertaruhkan. Jadi pas final gw gak taruhan soalnya gw mau nonton. Gw juga gak pernah nonton Kangen Band, soalnya gw bertaruh bandnya bubar tahun depan.
Gw luruskan dulu soal taruhan sebelum lu judge gw as gambel gambler. Konsep gw soal taruhan adalah soal game, just it. Gw gak berpikir cari uang lewat judi. Sebesar apa yang gw menang sebesar itu juga akan gw habiskan. Soalnya duit hasil judi tuh duit panas; untuk sehari rugi sebulan. Apesnya gw sering bangat menang.
Tapi tahun ini gw nonton hampir semua pertandingan WC dari penyisihan s/d 16 besar saat ini (kecuali yg gw ketiduran dan saat nunggu pesawat kemarin). Tanpa taruhan aja duit gw sudah habis apalagi ditambah dengan taruhan bola. Jadi gw sarankan jangan taruhan bola; kecuali kalo punya duit banyak, gpp disedekahin ke bandar.
Satu hal yang gw lihat dari sepak bola, baik di liga, Champion, khususnya di WC, arus pertandingan akan berubah saat gol pertama tercetak. Bahkan katanya para pelatih kawakan seperti Alex Ferguson sudah dapat memprediksi akhir pertandingan hanya dengan melihat 20 menit pertama. Eh, gak ada hubungannya dengan gol pertama ya?
Ada dong! Contohnya sewaktu Swiss vs Spanyol. Gw yakin spanyol gak akan menang (kalaupun menang, setidaknya 2-1) karena 20 menit pertama gak ada gol yg tercipta. Ternyata dugaan gw bener, Swiss menang dengan skor 1-0. Gol pertama itu menentukan. Bukan selalu gol pertama berdampak negatif pada lawan yg kalah seperti Portugan vs Korut dengan dropnya mental Korut pada gol pertama.
Ambil contoh Argentina vs Mexico kemarin malam. Sebelum gol pertama tercetak, mengantuk rasanya melihat mereka bermain. Mereka bermain seolah saling mengukur dan terlampau berhati-hati. Mereka takut. Tapi begitu gol pertama tercetak, seketika itu juga permainan berubah. Baik Mexico maupun Argentina sudah mulai bermain menyerang dan dinamins, walaupun akhirnya dimenangkan oleh Argentina 3-1. Contoh lain yang bisa dilihat adalah pertandingan paling heroik dan mengharukan antara Italy vs Slovakia.
Intinya gol pertama selalu membawa perubahan bagi ke dua pihak, entah itu ke arah positif atau sebaliknya, ke arah negatif. Yang membedakan adalah sikap.
Negara-negara yang biasanya pernah menang dalam piala dunia biasanya memiliki mental yang baguis. Kalau mereka kebobolan gol pertama, mereka tidak panik atau malah down. Mereka bersikap tenang, seolah-olah mereka sangat yakin akan menang. Tapi yang menunjukan perbedaan adalah permainan mereka yang semakin gencar menyerang.
Sedangkan saat mereka unggul satu gol biasanya mereka sudah siap untuk mencuri angka berikutnya. Untuk tim mental memble, kita sudah tahu bagaimana kondisi mereka. Mereka mudah sekali down saat bertemu lawan kuat dan biasanya langsung lemes begitu kebobolan. Mereka mudah sekali terbawa eforia saat sudah unggul satu.
Saat itu gw sadari, hidup ini sering kali situasinya mirip dengan pertandingan bola. Kita senang berada dalam status quo, standar, tenang, tanpa tekanan, seperti kondisi 0-0. Kita lebih memilih bermain aman dan berada dalam confort zone. Kita cendrung untuk tidak menyerang keluar dan masuk ke dalam daerah 'musuh'. Kita lebih senang menjaga 'gawang' kita sambil menunggu keburuntungan menghampiri kita dengan lawan membuat on goal.
Tapi kita tahu bersama status quo itu tidak berlangsung selamanya karena memang begitu dunia tercipta. Akan ada distorsi-distorsi yang mengusik confort zone kita dan akhirnya terjadinya gol pertama, status non quo.
Banyak dari kita seperti tim kecil dari negara kecil, berpikir bahwa distorsi tersebut datang untuk menghancurkan, membuat kita kalah. Tidak jarang juga kita sudah mundur mengaku kalah padahal babak pertama saja belum usai. Sama sekali tidak berpikir sebaliknya, bahwa kekalahan pertama merupakan kesempatan yang ditunggu untuk menyamakan kedudukan, bahkan memenangkan pertandingan.
Sedangkan petarung dengan mental juara dari negara juara, mereka selalu melihat kesempatan dalam setiap bagiannya, termasuk dalam kekalahan mereka. Mereka tidak akan mundur hanya dengan kebobolan pertama, bahkan ke dua, atau ke tiga. Mereka datang untuk memenangkan pertandingan, apapun tantangannya.
Ini membuat gw berpikir ulang soal keberadaan gw di Kalimantan ini. Sebelumnya gw merasa ini seagai pulau pembuangan. Gw bekerja dengan orang-orang tidak "berpendidikan-dengan-benar". Mereka bekerja tanpa SOP, dan tanpa sopan santun. Gw bekerja bersama perangkat obeng, kunci-kunci dan oli, bahkan gw bekerja bersama monyet dan ular dan preman mabok di dalam hutan rimba, yang jika salah-satu membunuh gw maka makam gw pasti tanpa tubuh, alias ilang dihutan tropis kalimantan sebagai pupuk kompos.
Sampai beberapa waktu lalu gw berpikir ulang soal kerjaan gw yang sama sekali tidak menuntut penggunan nalar dan akademik. Makin hari mental gw makin terisolasi dengan lingkungan gw dan sering kali gw jadi ikutan kampungan seperti ngupil di mana-mana *kayaknya itu sudah dari dulu deh Joe*
Gw jadi jarang nulis; boro-boro untuk buku temen gw yang gw tuliskan, ngeblog aja jg sudah gak sempat. Gw juga jarang punya waktu untuk membaca dan belajar, lingkungan gw gak tunjang hal tsb. Tiap gw ajak ngbrol soal buku dan pengarang tertentu, mereka menyingkirkannya dan menggantinya dengan komik. Obrolan paling tinggi ngomongin gadget.
Cuma waktu-watu sekarang ini gw jadi berpikir ulang, harusnya mental gw gak ditentukan dari kondisi gw. Kalo gw hidup di tengah pengemis, bukan hal yang luar biasa kalo gw jadi pengemis hidup. alo gw hidup diantara pengeluh memang sudah seharusnya gw ikutan jadi pengeluh.
Harusnya seperti negara-negara pemenang World Cup dengan mental pemenang juga. Mereka tidak mengeluh kebobolan duluan, mereka tidak mengeluh dengan cuaca yang panas. Satu-satunya yang membawa kekalahan terhadap tim mereka adalah tim mereka sendiri, jadi begitu juga sebaliknya, yang membabawa kemenangan adalah sikap tim mereka sendiri.
Secepat kita bisa menerima kenyataan gol pertama, secepat itu juga kita bisa bangkit dari keterpurukan.
Malam ini apa lawan apa ya?
0 comments:
Posting Komentar