Pernah dengar, "memang lu bisa bikin yang lebih baik?" ? Atau mungkin kita sendiri pernah melontarkannya? Statment ini biasa kita dengar saat ada yang kritik mengenai karya atau pekerjaan kita. Jadi apakah kita sebaiknya komentari sesuai dengan bidang dan kapasitas keprofesian kita?
Kalau benar seperti itu, tentu yang diperbolehkan mengkritik presiden kita adalah presiden negara lain, atau sekurang-kurangnya politisi senior. Orang awam dan buta politik seperti kita tentu gak boleh ngomong kan. Apakah kita menjadi musisi untuk didengarkan oleh sesama musisi? Atau karya-karya foto kita hanya ditampilkan khusus untuk sesama fotografer? Kita menerbitkan buku untuk dibeli penulis?
Tentu jawabannya tidak. Semua bidang profesi kita umumnya agar dapat dinikmati seluas-luasnya oleh berbagai lapisan masyarakat. Itu yang menjadikan profesi kita bermakna dan bermanfaat. Jadi dengan alasan itu, setiap orang punya hak untuk mengkritik karya/pekerjaan kita. Yes, tidak semua orang memiliki kompetensi atau dasar dalam menilai, itu sebabnya kita pun punya hak yang sama untuk mendengarkan atau tidak pendapat orang-orang tsb. Tapi sepertinya ini susah bagi kita, karena umumnya kita, sebagai orang Indonesia, mudah tersinggung. Ketersinggungan kita umumnya bukan lahir dari pride, tapi lebih kepada kegagalan kita dalam menangkap makna ketimbang atribut. Kalau kita memiliki pride yang tinggi, tidak mungkin seseorang bisa menolak dikatakan korupsi karena uang yang diambil milik yayasan dan bukan milik negara. Tidak mungkin juga alihalih membuang sampah pada tempatnya, justru kita memilih membuangnya di kali dengan alasan tempat penampungan sampah jauh.
Apa yang dimaksud dengan kegagalan menangkap pesan?
Contoh: "Orang Indonesia ini cepat sekali tersinggung. Entah karena pride mereka terlalu tinggi atau karena terlalu bodoh mengerti pesannya"
Orang-orang yang gagal menangkap pesan pasti akan protes, "jadi lu mau bilang orang Indonesia bodoh-bodoh, gitu?!!"
Ini contoh sederhana, tapi menggambarkan bagaimana konsep berpikir kita. Kita cendrung berpikir secara fragment dan bukan holistik. Kita cendrung mudah terpancing dengan atribut-atribut tsb dan mengacuhkan makna dari seluru kalimat. Makna kalimat tsb adalah kontemplasi, di mana retorika tsb mengajak kita merenung, apakah kita menjadi orang yang punya pride atau selama ini sudah menjadi bodoh. 'Kebodohan' ini lah yang sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memiliki agenda dan kepentingan pribadi/golongan, dan ini sudah terjadi sejak beratus-ratus tahun lamanya. Secara efektif, kolonialisme sudah menggunakan 'adu-domba' untuk menguasai kita. Dan pendekatan ini terus-menerus digunakan hingga sekarang.
Contoh yang paling aktual adalah Arfat Abbas. Saya berani bertaruh, hingga minggu lalu tidak hanya saya saja yang tidak mengetahui siapa orang ini. Namun setelah prahara twit dia soal Ahok mencuat, hidup kita harus diganggu dengan mengetahui soal sosok bernama Arfat Abbas.
Jadi lu mendukung omongannya si Arfat?? Lu mau diam aja ada orang menghina etnis tertentu?
Nah kan, tersinggung. Maksud gw adalah, siapa ini Arfat Abbas sampai kicauan dia begitu penting untuk kita indahkan dan komentari?
Ingat, setiap orang punya hak untuk bicara apa saja, dan kita pun punya hak yang sama untuk menanggapi/tidak orang-orang tsb. Sebelumnya Arfat adalah nobody, gak ada arti apa-apa buat saya dan kamu. Tapi begitu saya menanggapinya, posisi Arfat menjadi somebody; jadi memiliki arti (walaupun negatif) dalam hidup saya. Kenapa kita harus membuang-buang waktu, komentar, dan tenaga untuk meladeni sampah semacam ini? Kenapa dia begitu penting untuk membuat kita tersinggung?
Lain halnya jika yang berbicara adalah orang/golongan yang memiliki posisi menentukan stabilitas struktur masyarakat. Contohnya seperti presiden, atau tokoh golongan/masyarakat/agama. Komentar kita menjadi barometer sosial terhadap mereka. Event kita gak paham politik, atau polemik golongan/agama, namun kebijakan mereka berimplikasi luas terhadap kita.
Selama kita tidak belajar untuk memahami makna dibanding atribut, dan mengindahkan hal-hal yang sepele, selamanya kita akan memiliki pikiran yang tertutup, selamanya kita akan menjadi bagian dari masalah dan bukan bagian dari solusi.
Belajar untuk menangkap pesan dan memilah mana yang penting untuk didengarkan dan mana yang tidak, akan menjadikan kita pribadi yang terbuka dan tidak mudah terprofokasi.
0 comments:
Posting Komentar