Tanggal 2 Februari 2013, saya bersama Fotodroids diundang mengikuti foto race Jelajah Kota Tua bersmaa majalah Hai. Dari Fotodroids total ada 15 orang yang ikut. Berkesannya, karena tim yang ke luar sebagai juara pertama adalah tim saya sebagai pemimpinnya, dan salah-satu yang menang dalam foto terbaik adalah foto milik saya. Cerita lengkapnya bisa disimak di sini.
Di diakhir eforia malam itu, saya berpapasan dengan kejadian ironi. Dalam perjalanan pulang saat menaiki angkot M24 menuju kemanggisan, turut bersama-sama dengan saya dan 4 penumpang lainnya, seorang perempuan tuna netra.
Perempuan itu duduk di 'bangku ulang tahun'. Bagi yang sering naik angkot pasti tahu bangku yang saya maksud. Parasnya lebih tua dari usia sebenarnya, kalau saya tafsir usianya mungkin sekitar pertengahan tiga puluhan, namun tampak seperti 40 tahunan.
Perempuan itu duduk di 'bangku ulang tahun'. Bagi yang sering naik angkot pasti tahu bangku yang saya maksud. Parasnya lebih tua dari usia sebenarnya, kalau saya tafsir usianya mungkin sekitar pertengahan tiga puluhan, namun tampak seperti 40 tahunan.
Sebelum naik, ada seorang bapak yang menemani perempuan itu. Bapak ini menitipkan pesan ke sopir bahwa perempuan ini mau ke daerah Sumur Batu (kalo gak salah), dan akan berganti angkot ke M11 di pertigaan. Bapak ini sendiri juga tuna netra dan tidak ikut naik. Lengkap sudah.
Sekitar lima menit angkot berjalan, perempuan itu mengeluarkan uang dari sakunya. Saya ingat betul berapa pecahan uang yang dikeluarkan, lima ribu rupiah. Saya ingat karena saya penasaran bagaimana perempuan itu mengenali nominal uang yang dikeluarkannya.
Setelah mengeluarkan dan menggenggam uang tsb, perempuan itu menyerahkan ke sopir dengan berujar, "ini saya bayar sekarang aja bang, biar gak repot pas turun".
Si sopir tadi hanya menerima uang tsb, lalu mungkin karena gak enak tidak mengucapkan apa-apa, akhirnya dia pesan ke perempuan itu, "nanti saya turunkan di pertigaan ya, lalu mba nyebrang naik M11. Minta tolong orang sebrangkan saja".
Perempuan itu hanya mengangguk. Lalu kembali diam. Setelah menerima uang, si sopir pun tidak bergeming. Saya mulai curiga sewaktu perempuan itu bertanya, mungkin karena dia juga menunggu kembalian tapi sungkan sehingga bertanya, "bang, tadi uang yang saya kasih berapa ya?". Dan kamu tahu si sopir jawab berapa?
2000!
Saya tidak melihat dengan jelas saat perempuan itu menyerahkan uang, karena perhatian saya sedang ada pada cowo yang duduk di samping saya saat melihat perempuan itu saat memberikan uang tsb ke sopir. Cowo ini juga dengar pertanyaan perempuan itu dan dia juga dengar jawaban si sopir, tapi dia diam. Perempuan ini pun hanya diam, namun dia tahu dia telah dibohongi.
Kenapa saya tahu perempuan ini tahu dia sudah dibohongi?
Pertama, karena saya pernah dengar orang-orang yang punya keterbatasan fisik, seperti tuna rungu, daksa, atau tuna netra yang turun ke jalan sendirian, telah dibekali keterampilan khusus untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan dan manusia normal. Sehingga saya percaya perempuan ini pun tahu bagaimana mengenali jalan, lokasi, termasuk mengenali alat pembayaran. Kedua, karena saat perempuan itu mengeluarkan uang kertas lima ribuan, ada secarik kertas yang digulung bersama uang tsb. Kertas tsb diraba, sebelum akhirnya dikembalikan ke kantong. Bahkan manusia normal pun sering menempatkan mata uang dengan nominal tertentu pada kantong tertentu (misal nominal besar pada saku baju, uang receh pada saku kiri celana, dsb), apa lagi saudara-saudari kita ini. Jadi saya yakin dengan cara tsb perempuan tadi mengenali uang yang digunakan.
Awalnya saya pun ingin diam, mengikuti cowo disebelah saya. Apa lagi saya punya alasan yang lebih baik dari dia, yaitu saya tidak melihat langsung berapa uang yang diserahkan perempuan itu ke sopir.
Tapi nurani itu seperti sebuah segitiga di hati. Tiap kali kita menyangkalnya, segi tiga ini berputar. Saat berputar, segi tiga tsb mendesak sisi-sisinya untuk memberi ruang gerak. Ini di mana kita merasa gelisah saat mengabaikan nurani. Semakin sering kita mengabaikan nurani, semakin sering segi tiga ini berputar, dan pada akhirnya akan membentuk lubang menganga dalam hati kita yang tidak bisa lagi ditutupi oleh segi tiga tsb. Rasa kosong dan hampa sebagai ganti nurani.
Dan ya, saat itu saya gelisah. Saya gak ingin menjadi orang yang kehilangan nurani. Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya ke sopir, "bang, tadi bukannya ibu ini ngasih 5000 ya?"
Si sopir menyangkal, dia ngotot terima 2000. Saya sempat tanyakan ke cowo yang duduk di sebelah saya, dia menyangkal melihat kejadian tsb. Saya sebenarnya ingin bertanya berapa jumlah uang yang diberikan ke perempuan itu, tapi buru-buru saya urungkan niat tsb karena pasti jadinya akan canggung. Saya bahkan sempat menawarkan akan membayar 10.000 jika si sopir mengembalikan apa yang menjadi milik perempuan itu, namun berakhir dengan keributan...
Ironisnya ada yang punya mata namun buta nurani. Ada yang melihat namun buta sosial. Demi 3000 perak rela menipu seorang tuna netra. Demi menghindari perdebatan memilih membisu tak bicara.
Sebelum saya turun, saya sempat melirik ke wajah perempuan itu, dan sepanjang malam saya tidak bisa tidur mengingat senyum dingin itu.
Apa yang bisa dibeli dengan uang 3000, sampai seseorang rela menjajahkan nuraninya?
0 comments:
Posting Komentar