Ada beberapa buku yang terlalu fiksi sebagai kisah nyata, tapi ada juga sebaliknya, kisah fiksi yang terlalu logis dan menyentuh seolah itu benar-benar nyata. Gw punya dua buku yang menggambarkan ke duanya, the Man Who Loved Books Too Much by Allison Hoover Bartlett dan the Art of Racing in the Rain by Garth Stein.
Ke dua buku ini bisa dibilang bersifat sentimentil, sesuatu yang bersifat pribadi. Mungkin karena itu ke dua buku ini bagus untuk dibaca kala santai.
the Art of Racing in the Rain;
Mungkin kamu asing dengan judul buku ini, tapi kalo gw bilang Enzo, pasti beberapa dari kamu mengetahuinya. Ya, judul terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah Enzo, nama tokoh utama sekaligus yang mengisahkan kisahnya sendiri.
Enzo sendiri adalah nama anjing campuran labrador dan Terrier (setidaknya itu yg diakui Enzo), memiliki majikan bernama Denny Swift, seorang pembalap profesional.
Enzo mengetahui ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari anjing-anjing lain. Dia seekor filsuf yang gemar menonton TV, khususnya National Geographic dan F1. Dari kotak ajaib itu dia belajar tentang manusia dan menjadi manusia. Dia juga menyimak dengan seksama kata-kata yang diucapkan tuannya.
Melalui Denny, Enzo memperoleh sangat banyak pengetahuan mengenai kehidupan manusia. Dia memahami bahwa hidup, seperti halnya balapan, tidaklah hanya soal melaju kencang. Dengan menggunakan teknik-teknik di arena balap, manusia dapat berhasil menjalani liku-liku kehidupan.
Pada malam sakaratulmaut-nya, Enzo menghimpun kenangan, mengingat kembali semua yang telah dia alami bersama Denny dan keluarganya, termasuk pembebasan majikannya dari pengadian atas tuduhan pemerkosaan. Setelah mempelajari apa saja yang diperlukan untuk menjadi manusia mulia dan sukses, anjing bijaksana itu tak sabar lagi menunggu kehidupan selanjutnya.
Gila memang jika mengira, bahkan berharap, buku ini non fiksi. Tapi tunggu sampai kamu menghabiskan beberapa bab di awal buku ini pasti kamu akan sependapat dengan gw, hampir mustahil berpikir buku ini fiksi. Buku ini mengajar mengenai nilai-nilai kehidupan, persahabatan, keluarga dan kasih sayang. Ada humor, drama, bahkan haru di setiap kisahnya.
Garth Stein penulis jenius, menurut gw. Jarang gw berpikir demikian. Semua teori soal awal paragraf yang baik, ritme menulis, aturan mengenai 'tunjukan dan jangan katakan', momentum untuk menjaga hasrat agar pembaca tetap membaca; setiap ornamen dia tempatkan pada tempatnya. Bahkan melebihi teori-teori retoris dalam menulis, dia melampaunya dengan menambahkan elemen luar biasa. Jiwa.
Mengutip kalimatnya AS. Laksana, bahwa kisah yang bagus adalah kisah yang nyata dan logis. Kisah Enzo menjadi logis karena setiap unsur dalam buku Stein ditempatkan dengan seksama. Bahkan hal-hal spele dengan sengaja diletakkan penulis agar kisahnya benar-benar menjadi hidup, masuk akal, dan membuat pembaca percaya kisah itu benar-benar ada. Seekor anjing dengan jiwa manusia.
Gw masih belum ngerti dengan tepat bagaimana kisah yang terdengar mustahin bisa menjadi begitu nyata saat membacanya. Terlalu nyata untuk bisa dibilang kisah fiksi. Bahkan sampai lembar terakhir buku tsb - walaupun agak norak dan penuh sentimentil, gw tetap menyukai buku ini sampai akhir.
Sent from my Google neXus One™
0 comments:
Posting Komentar