Ada Apa Sih Dengan Musisi Kita??

Genap 27 hari gw di Banjarmasin. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan kota ini jika gw bandingkan dengan Jakarta - eh ada loh kelebihan Banjarmasin dibandingkan Jakarta! Kamu gak akan mengalami macet yang bikin cacat mental.

Terlepas dari itu semua, yang paling sedih adalah gw akan jarang main musik. Memang di Banjarmasin ada cafe-cafe atau tempat makan yang ada live music-nya, walaupun gak sebanyak di Jakarta. Namun namanya tempat baru, gw harus mulai dari awal lagi; dimulai dari kenalan dulu, sering kumpul dan ngobrol dulu, lalu ngejam, baru deh dari sana dapat gig dan band.

Teorinya sih begitu, tapi prakteknya gak semulus itu. Gw tau persis karena dulu gw pernah alami hal tsb saat di Bali. Bahkan saat di Bali gw full time di musik.

Satu yang paling gw benci dari musisi daerah, mereka suka menjelekan sesama musisinya. Gw rasa itu tantangan tersulit dari membangun komunitas musik di daerah. Kalaupun ada biasanya justru komunitas musik itu jadikan tembok gap sekaligus wadah menjelekan musisi lain.

Kalo ada musisi dari luar kota yang datang berkunjung, pasti semua orang datang dengan niat untuk menguji; 'eh bisa main ini gak?' 'Belajar sama siapa?' 'Lagi belajar teknik apa?'.

Sebenarnya itu semua pertanyaan yang wajar saja kalau dilontarkan dengan niat berteman, sayangnya niatnya untuk menguji. Apesnya mereka gak bisa diperlakukan dengan rendah hati. Gw pernah diperlakukan demikian dengan salah-seorang bassist di Bali, pemain greja lagi. Padahal gw tahu pasti harmoni scale-nya salah-salah.

Sebenarnya itu bisa gw maklumi dengan lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jumlah musisi di daerah. Bagaimana pun bisnis hiburan di daerah belum semenggeliat di Jakarta. Di daerah, paling banter night club yang bisa berkembang besar. Jumlah lapangan kerja yang kecil ini ditambah dengan skill dan wawasan yang kurang akhirnya diperebutkan dengan cara-cara seperti itu tadi, saling menjelekan.

Bagaimana di Jakarta?
Kalo di Jakarta jumlah 'kue' (gw menganalogikannya sebagai lapangan pekerjaan) itu banyak, masalahnya sanggup gak makannya? Karena banyaknya kue yang bisa dimakan itu didasarkan pada skill selain pergaulan. Kalau memang memiliki skill yang memadai pasti sanggup meraih kuenya. Kalau enggak ya cuma bisa gigit jari.

Musisi senior pun punya keterbatasan, sehingga merasa perlu untuk meregenerasi ke yang mudah. Makanya gak heran banyak komunitas musik bertebaran di Jakarta dan semuanya saling support.

Secara umum pasti ada saja musisi yang suka menjelekkan musisi lain - gak hanya musisi sebenarnya, dalam bidang lain juga pasti ada, tapi itu lebih di dasarkan pada sifat individu-nya dan biasanya orang yang suka menjelekkan orang lain adalah sifat coping dirinya sendiri, bahwa sebenarnya itu saja kemampuan orang tsb.

Tolong hentikan!
Sikap ini justru menurut gw harus dihentikan, apa lagi seorang musisi. Musisi adalah orang yang berkarya dengan hati, bagaimana mungkin bisa menghasilkan karya yang baik dari sifat hati yang penuh iri? Jangan-jangan selama ini musik tsb tidak keluar dari hati lagi. Coba deh ingat kembali gimana dulu senangnya kita belajar musik tanpa mikir yang muluk-muluk. Bukannya indah ya kalo kesenangan itu bisa kita bagi ke orang lain? Percaya deh, yang namanya ngajar itu pasti bersifat dua arah, ke murid maupun ke guru.

Selain itu sifat iri dan merendahkan itu muncul dari rasa sombong dan tidak terbuka dengan pandangan dan ilmu baru. Ini jadi masalah pelik berikutnya dari musisi daerah. Harus diakui bahwa pendidikan dan media komunikasi di daerah terbatas dan tidak semaju di pusat/Jakarta, kondisi ini diperparah lagi dengan keras kepalanya musisi di daerah untuk berbagi.

Sebagian besar musisi di daerah takut ilmunya 'dicuri' sehingga mereka jarang berbagi dalam wadah komunitas. Kalau mau belajar ya ngeles, yang artinya bayar. Nanti kalau sudah les takut kehilangan murid, bukannya giat berlatih malah menjelekkan musisi lainnya biar muridnya gak pindah. Mungkin sudah gak ada lagi yang mau dilatih karena sudah habis ilmunya.

Jadi?
Ayo dong musisi daerah, sudah saatnya gak bersikap iri dengan merendahkan dan menjelekaan musisi lain. Saatnya buka mata, buka telinga, dan buka hati untuk kemajuan bersama. Biar musik Indonesia semakin maju, bukan Jakarta atau pulau Jawa, tapi Indonesia.





Sent from my BlackBerry® Jave

0 comments:

Posting Komentar