Part of Life (bagian 1)

Namanya Tedja Ayub (nama samaran), salah-satu jemaat di gereja lokal saya. Sudah pernah saya bercerita mengenai dia di twitter, bagaimana kagum bahwa ada seorang manusia yang diuji beban hidup melebihi kemampuan yang pernah saya tahu.

Dia termasuk dari keluarga Dayak yang cukup terpandang, masih keluarga dengan Teras Narang, gubernur Kalimantan Tengah dua periode. Beberapa tahun lalu ditipu oleh (oknum) bank Swasta nasional. Singkat cerita dia berhutang sampai 10 milyar. Walaupun demikian dia bukan pengusaha, hanya seorang peternak dan penjual daging dengan omset sekitar 10juta per bulan. Bekerja selama 10 tahun dengan menyetor semua penghasilannya saja baru genap 1,2 milyar. Artinya dia perlu bekerja sekurang-kurangnya 90 tahun untuk dapat melunasi hutangnya. Seharusnya kalau dia mau lari atau menolak membayar bisa saja dilakukan, karena ini bukan sepenuhnya kesalahan dia. Herannya oknum tsb hanya di pecat oleh bank, dan tetap menagihkan ke pak Tedja. Benar! Saya pun berpikir dia bodoh.


Dari gali hutang tutup hutang, pinjaman ke rentenir, ditipu orang, sampai pinjam ke sodara dan dimaki-maki sodara pun dilaluinya. Bahkan saudaranya sendiri meminjamkan uang dengan bunga 20% sebulan. Artinya dengan pinjaman 450 juta, dia harus menyetor setiap bulannya 9juta plus angsuran pokok, dan sudah dua tahun dia hanya membayar bunga dari pinjaman. Dan masih saja banyak yang mengambil keuntungan dengan meminjamkan dia uang dengan bunga besar.

Rumah pak Tedja berada di pingir kota Banjarmasin, mungkin seperti Bekasi atau Tangerang. Dia punya peternakan di Kapuas, sekitar satu jam ke arah barat dari Banjarmasin. Seperti yang kamu ketahui, untuk memotong ternak perlu tempat penjagalan khusus, kita tidak bisa memotong sendiri, dan tempat penjagalan berada di Banjarbaru, sekitar satu jam perjalanan dari Banjarmasin ke arah timur. Rutinitasnya setiap pagi bangun jam lima, bawa ternak ke pejagalan. Selesai potong ke Banjarmasin untuk berjualan di Pasar. Seusai berjualan, mengantar beberapa pesanan daging, lalu pulang ke rumah. Sore hari mengecek ternak di Kapuas dan kembali ke rumah jam 1-2 dini hari. Demikian setiap hari. Total ada 100 km yang ditempuh menggunakan motor.

Berkat kemurahan Tuhan, lima tahun berselang, hutangnya saat ini tersisa 800 juta. Anaknya empat orang. Tiga perempuan dan satu laki-laki, yang paling besar baru duduk di kelas 4SD. Istrinya penuh dengan kepahitan karena ditipu oleh kerabat-kerabat dekat sampai saudara sendiri. Bahkan tidak tahan melihat betapa suaminya tabah melewati ini semua tanpa mengeluh. Istrinya sempat berkisah kalau dia selalu memancing keributan agar bisa bercerai dengan pak Tedja. Mulai dari membiarkan rumah berantakan, sampai menyindir pak Tedja. "Pulang bukan bawa uang malah bawa hutang!", adalah salah-satu ejekan yang sering dilemparkan ke pak Tedja, atau, "tiap hari hanya berdoa saja. Mana Tuhanmu itu yang kamu sembah?? Harusnya dia ada dan menolong kita saat ini!". Dia tahu itu tidak benar, tapi semua itu dilakukan agar memancing emosi dari suaminya dan akhirnya bercerai dan bisa hidup sendiri-sendiri. Sayangnya seolah pak Tedja tidak menghiraukan semua usahanya. Istrinya sempat lari membawa anak-anaknya ke Pangkalan Bun, Kalteng, karena tidak tahan setiap hari ditagih hutang. "kalau itu yang kamu anggap baik, ya pergilah", hanya itu yang pak Tedja katakan.

Istri pak Tedja juga tidak senang dengan hamba Tuhan yang sering sok menasehati dia, sampai akhirnya dia bertemu gembala lokal gereja kami. Suatu hari dia ingin berobat ke Banjarmasin karena sudah hampir sebulan batuk tanpa henti, akhirnya menumpang mobil gembala kami yang kebetulan akan kembali dari Pangkalan Bun ke Banjarmasin. Awalnya dia sudah bersiap-siap akan dikhotbahi sepanjang jalan pikirnya. Namun yang terjadi tidak seperti yang diduga. Dia menangkap kesan gembala suaminya sabar dan ramah.

Setiba di Banjarmasin istrinya sempat masuk rumah sakit karena sesak nafas, dan di sinilah semua hal menjadi berubah. Dia melihat kebaikan orang-orang yang menolong dan memperhatikan dia tanpa berharap imbalan, malah sebaliknya, membantu perawatan dia di RS. Kebaikan dan keramahan orang-orang ini yang membuat dia melihat bahwa tidak selamanya hidup itu kejam dan pahit. Berangsur-angsur pahit hatinya berubah menjadi manis.

Mungkin kamu bertanya, dari mana semua ini saya ketahui. Minggu lalu untuk pertama kalinya istrinya bersaksi di gereja, setelah bertahun-tahun tidak pernah menginjak rumah Tuhan. Dan itu adalah kesaksiannya yang terakhir.

(bersambung ke sini)

0 comments:

Posting Komentar