The Raid: Redemption


Saya sudah dengar bahwa film ini keren, sejak penayangan pertama di gala premier. Beberapa teman saya yang ikut nonton di Gala Premier, bilang ini film wajib nonton. Tapi seperti film lokal yang sudah-sudah, saya masih sedikit sangsi. Niat nonton, tapi tidak terlalu ngebet. Baru setelah teman saya yang berada di luar negri berujar bahwa film ini mendapat standing ovation di Los Angeles, saya benar-benar penasaran.

Akhirnya saya niatkan pulang kantor lebih awal untuk nonton film ini. Ini salah-satu tulisan kritikus film barat, "may be the first time I have heard critics say that they would happily turn right back around and rewatch the movie then and there. And I would have joined them". 


PLOT
Saya tidak ingin spoiler di sini, tapi serius, cerita film ini sederhana. Seorang bos gembong penjahat besar telah menguasai apartemen kumuh di pusat sebuah kota (Jakarta?), dan mengubahnya menjadi kerajaan pribadinya. Seorang polisi bersama tim khususnya (SWAT) datang untuk menerobos pertahanan dan menangkap bos penjahat tsb. Hanya saja perburuan berubah, dari yang berburu menjadi diburu. Apartemen tsb dihuni oleh seluruh penjahat paling berutal di kota tsb. Polisi terkepung di dalam apartemen, berusaha menyelamatkan diri, dan keluar hidup-hidup dari apartemen tsb.

Apa Hebatnya Film Ini?
Film ini padat; singkat dan tidak bertele-tele. Ritme fillm yang berdurasi 101 menit ini cepat. Lima menit pertama scene menjelaskan secara cepat latar belakang tokoh utamanya, kolonel, dan penjahatnya. Rama (tokoh utama yang namanya mungkin baru kamu tahu di pertengahan film) digambarkan sebagai orang yang saleh, sebentar lagi akan menjadi ayah; intinya adalah orang baik. Bos penjahat, dengan scene awal membantai tujuh orang secara brutal, sudah cukup untuk menggambarkan betapa sikopat dan berbahayanya orang tsb. 

Setelah itu ritme film bergulir dengan cepat. Awal film sudah disuguhi rentetan senapa mesin dan ledakan. Di awal film ini, bahkan saya sempat bertanya-tanya, dengan tensi secepat ini, apa gak akan kehilangan ritme di akhir film? Adakah klimaknya? Dan jawabannya, ADA.

Ritme film ini sesekali menurunkan tensinya, untuk menjelaskan poin-poin penting bagi penonton untuk adegan berikutnya, dan tanpa berlama-lama, pertarungan senjata api berubah menjadi pertarungan tangan kosong. Kalau kamu tidak suka film yang brutal dan penuh darah, sebaiknya jangan tonton film ini. Film ini benar-benar hanya ada aksi yang tiada henti, dan tentunya darah serta kebrutalan. Beberapa gerakan koryografi traditional-martial-art nya (Silat) benar-benar original dan segar. Tidak kalah jika dibandingkan dengan film-film martial-art Thailand, dan secara kualitas lebih baik. Bahkan www.npr.org menyebutnya film aksi Asia paling dinamis sejak tahun 1990, puncak jayanya John Woo dan Tsui Hark.

Elemen ruang tertutup pada setting apartemen tua yang dikepung memberikan elemen-elemen yang diperlukan; mencekam, kejutan, dan aksi yang fenomenal.

Dengan segala aksi dan kelebihan yang ada pada film ini, yang mencengangkan adalah budget film ini yang tidak lebih dari 1juta dollar. Setidaknya ini mengesankan para kritikus film luar. Dan tokoh favorit saya di sini Mad Dog (Yayan Ruhian) dan Tama (Ray Sahetapy). Dua orang ini tokoh antagonis yang punya karisma, dan ini yang membuat film ini hidup.

Cons?
Kalau di web-web luar film ini isinya pujian semata, di mata saya ada beberapa kekurangan sepele yang jadi besar, karena seharusnya hal-hal tsb tidak terjadi pada film sekelas The Raid ini. Film ini dibuat berdasar observasi yang matang terhadap silat. Gareth Evans (sutradara asal inggris) tidak asing lagi dengan silat, karena tahun 2008 membuat film dokumentasi tentang silat (Mystic Arts of Indonesia: Pencak Silat) dan Merantau (2009). Seharusnya dengan banyak terlibatnya teman-teman air soft gun di film tsb, bisa mengantisipasi keteledoran sepele tsb.

Keteledoran yang saya maksud, pertama adalah saat Joe Taslim, pemimpin regu briefing di dalam mobil. Sepele, tapi bahkan polisi biasa pun tidak akan melakukan briefing saat menuju rendezvous area. Seharusnya adegan briefing terjadi di markas polisi, dan menampilkan emosi pada scene di dalam mobil. Itu jauh lebih dramatis.

yang kedua, yang bisa dibilang paling parah, saat sniper muncul berpasangan. Adegan ini banyak disebut-sebut sebagai scene munculnya-gay-sniper. Sniper gak mungkin muncul berduaan seperti itu, dan menembak dari sudut yang sama. Selain itu, laras sniper tidak boleh melebihi jendela bidik, yang dalam film ini adalah dinding balkon. Itu poin dasar sebagai sniper. Adegan ini bisa jadi elemen dramatis untuk membuat setting lebih mencekam, sayangnya jadi seperti tempelan.

Yang ke tiga plotnya yang samar. Di beberapa review luar, mereka mengabaikan dialog yang ada. You really don’t have to worry too much about that in The Raid—there are possibly 100 lines of dialog in the entire film. You could watch it from start to finish and never read a word, and still be impressed by it.(www.digitaltrends.com). Sampai akhir film tidak ada konklusi kenapa mereka menyerang apartemen tsb, tapi yang ini gw maklumi, karena itu adalah ponteis sekuel, dan memang The Raid dibuat untuk trilogi.


KESIMPULAN
Film ini layak untuk ditonton. Bahkan saya dua kali nonton film ini di bioskop dan akan membeli DVDnya. Sangat jarang sekali, apa lagi film Indonesia. The Raid adalah era bangkitnya filim aksi Indonesia. Cocok ditonton, tapi tidak bersama keluarga.

The little known Indonesian action flick The Raid: Redemption isn’t just the best action movie of the year, it is one of the best action movie in years. (http://www.digitaltrends.com)

(recommended) 

2 comments:

marly mengatakan...

Setuju niiih... aku baru liat filmnya kemarin dan bener2 gak nyangka Indonesia bisa buat pilem sebagus itu.... walau awalnya ragu tuk beli tiketnya... ampe rela nahan kencing demi gak mau ketinggalan sedetik pun...
Bener ya mau dibuat trilogi... asal bagus juga kayak yang ini...

joh juda mengatakan...

hi Marly! Surprise masih mantau terus blog ini
\(^.^)/

Iya, ini film keren banget! Bangga bener deh nontonnya.

Posting Komentar