Tumbang Samba

Kamis 11 Februari 2010
Setelah selesai sosialisasi tender dengan pihak Indosat di Samptit, gw langsung menuju arah Palangkaraya. Waktu itu jam menunjukan pukul 14.00 wib. Sebenarnya tujuan gw bukan ke Palangkaraya, tapi salah-satu site Indosat di Tumbang Samba. Tumbang Samba itu 90 km dari Palakaraya ke arah Sampit.

Selama kerja di maintenance BTS Indosat gw, belajar untuk tidak mencari tahu lokasi suati site. Kamu hanya bisa percaya GPSmu saja dan bukan akses jalan. Sering kali BTS tidak terletak di pinggir jalan, atau malah tidak bisa diakses menggunakan kendaraan darat. Ada yang harus menggunakan akses sungai, malah ada yang hanya bisa dijangkau dengan kendaraan khusus roda dua, alias tidak ada akses jalan sama sekali ke sana.

Di satu sisi gw salut dengan Indosat yang punya BTS di daerah terpencil (sering malah BTS Indosat berdiri sendiri tanpa ada 'teman-teman' BTS dari provider lain. Minusnya, teknisinya meregang nyawa setiap ke lokasi, seperti kejadian yang gw alami ini...

Pukul 15.44 gw tiba di mulut jalan menuju Tumbang Samba. Dari jalan umum, Tumbang Samba masih masuk lagi 30km lagi ke dalam. Jalan ini sebenarnya aman saja, asal dilalui pada saat terang. Jalan ini juga digunakan para penambang untuk mengakses sampai ke lokasi tambang. Selain tambang emas, teradapat juga tambang peyu. Peyu adalah bahan dasar untuk membuat intan atau berlian imitasi. Biasanya untuk diekspor ke Cina maupun Hongkong.

Daerah ini bisa dibilang berbahaya karena yang berlaku hukum rimba. Orang bisa saja selesai menambang lalu dirampok dan mayatnya dibuang ke hutan - tidak ada yang perduli di sana, hanya yang kuat yang menang. Makanya tidak jarang juga para penambang membawa pistol. Banyak juga preman yang menguasai jalan di sini. Kebanyakan mereka minta uang keamanan. Tapi karena ini lokasi tambang emas dan peyu, tentu gak cuma puluhan ribu yang mereka minta.


Kendaarn peribadi yang melalui desa itu kebanyakan melaju dengan kencang. Kadang mereka tidak perduli dengan kondisi jalan yang banyak lubang atau rusak, seolah ingin sampai di tempat tujuan dengan segera. Saat itu gw masih belum sadar arti dari semuanya itu.

Pukul 16.23 kami tiba di desa Kelanaman kabupaten Katingan, di mana posisi site BTS yang ingin kami kunjungi berada. Ada yang berbeda di sini, semua orang memandang ke arah kami dengan tatapan kurang bersahabat. Musolah adalah tempat pertama yang kami masuki untuk mencari informasi penjaga site. Dari semua orang yang ada di dalam musolah, termasuk ustadnya memandang dengan dingin, hanya satu orang yang masih tersenyum. Saat itu perasaan tidak enak mulai perayap diam-diam.

Pukul 16.33 kami tiba di site. Kondisi site pintu shulter rusak, pagar dekat ruang genset bekas dibobol. Langit jingga meroba, bercampur kelabu di ufuk timur.

Kami putuskan untuk stay di lokasi karena berbagai pertimbangan. Salah-satunya yang gw baru tahu dari penjaga site bahwa jalan akses yang menuju ke jalan umum tidak aman. Karena jalan itu menuju lokasi tambang sehingga saat gelap banyak perompak yang mengincar mobil-mobil pribadi. Itu menjawab kenapa sepanjang jalan banyak mobil yang melaju sangat kencang tanpa memperdulikan kondisi jalan. Ini membuat hati menjadi semakin risau tak menentu. Belum lagi tidak adanya rumah penduduk di sekitar BTS selain pondok penjaga site di depan BTS.

Walaupun begitu gw putuskan untuk tetap melakukan perbaikan mesin. Sore menjelang malam kami mulai membongkar mesin. Sebenarnya perbaikan itu tidak rumit, hanya saja tetap perlu waktu karena kondisi penerangan yang tidak memadai.

Menjelang pukul 20.33 kami tidak dapat meneruskan pekerjaan karena kondisi lingkungan. Selain gelap, banyak sekali serangga berterbangan. Gw gak bisa bayangkan itu hewan apa, tapi satu sayapnya aja sebesar telapak tangan orang dewasa! Gw baru sadar saat keluar dari ruang genset menuju pekarangan BTS, serangga tersebut ratusan dan terbang berkeliaran menutupi jarak pandang, begitu ketenangannya terusik dengan kehadiran gw. Beberapa dari serangga tersebut sempat menyerempet lengan dan leher, meninggalkan luka goresan. Mau nangis rasanya...


Malam itu gw tidur di mobil dengan kondisi mesin menyala. Selain itu juga gw bergantian berjaga malam. Gw sempat melihat ada orang datang mengawasi BTS tersebut, entah penjaga sitenya atau orang lain. Saat itu gw masih belum tahu apa sebenarnya yang terjadi dan yang akan terjadi...

Pukul 6.04 gw bangun. Matahari belum muncul dari peraduan. Semakin cepat kami membereskan pekerjaan hari itu semakin cepat kami pulang. Artinya semakin aman bagi kami. Nanun saat gw balik dari sungai untuk cuci muka dan ambil air bersih, gw sudah lihat dua orang pemuda datang menggunakan motor. Mereka hanya duduk-duduk di depan, sambil mengawasi kami. Mereka baru pergi setelah penjaga site datang. Dari penjaga site kami baru tahu kalo semalam mereka sudah kumpul puluhan orang untuk bersiap pagi ini. Tengkuk gw mulai dingin, padahal matahari pagi menyengat panas. Akhirnya gw kermbali kerja secepat gw bisa, berusaha untuk tidak merisaukan keadaan lingkungan tempat di mana gw berada.

Pukul 9.36 tiga pemuda datang dan berjaga-jaga di depan gerbang BTS. Kali ini badan mereka besar-besar. Gak kebayang kalo kami cuma berdua harus berhadapan dengan mereka. Kehadirannya cukup mengganggu gw. Beberapa kali baut lepas dari tangan. Rasanya keki dan jengkel sekali, kami kerja memerah keringat terus ada yang nungguin untuk dimintai uang. Kalau saja mereka belalang pelahap atau ular derik pasti akan gw injak-injak sampai mati. Sayangnya saat itu mungkin sebaliknya, gw yang seperti belalang dan gw yang akan diinjak-injak sampai mati.

Pukul 10.00 kami selesai bekerja bertepatan dengan datangnya penjaga site. Betapa leganya hati ini melihat kai-kai tua itu, padahal mungkin jika terjadi kekisruan, dia pun tidak bisa bertindak apa-apa. Awalnya kami berniat untuk mampir ke rumah penjaga sitenya, namun sepertinya kondisi tidak memungkinkan. Akhirnya setelah berpamitan, kami menerobos keluar dari BTS menuju ke jalan utama.

Ada 30km jalan yang membentang dimana hidup kami dipertaruhkan. Apa saja bisa terjadi sepanjang jalan tersebut, mengingat apa yang sudah terjadi malamnya dan baru saja kami kabur tanpa membayar apa-apa ke preman di site BTS. Waktu berjalan lama sekali, 30km seolah seperti ratusan km.

Sebelum sampai di jembatan perbatasan kampung, sepasang mengendara motor mengisyaratkan kami untuk berhenti. Namun kami melaju tanpa memperdulikannya.

Mobil melaju dengan 80km/jam kecepatan yang tidak mungkin seharusnya untuk jalan kecil dan serusak itu. Lima belas menit kemudian tiba-tiba dua orang yang boncengan mendadak melaju dari arah hutan untuk menghadang jalan. Kali ini tubuh mereka lebih besar dan beringas. Seolah tidak ingin membiarkan kami lepas...

Beruntung di depan kami ada mobil sehingga mereka tidak bisa menghalangin kami tanpa menghalangi mobil di depan. Gw sudah berpikir kami pasti dikejar sehingga menginjak pedal gas lebih dalam dari yang seharusnya.

Masih ada satu lagi yang mencoba menghadang, tapi mungkin mereka berpikir kembali untuk coba menghadang mobil berkecapatan tinggi.

Entah keberuntungan seorang pemula atau kebaikan Tuhan semata yang membuat kami lolos dari mereka. Padahal mereka punya pilihan untuk mengejar kami. Bagaimana pun gw bersyukur masih dapat menulis blog ini sekarang di tengah-tengah cafe Capung sambil menghirup teh 'Capung'...

0 comments:

Posting Komentar