Cinta (atau uanga) Datang untuk Menyatukan Perbedaan

Saya dan kamu terlahir dan tercipta berbeda. Banyak perbedaan yang melekat dalam diri kita, dan itu nyata. Namun kenapa sering kali kita melihat dan mencari apa yang sudah nyata? Kenapa sering kali orang lebih senang membicarakan tentang perbedaan dan bukan sebaliknya? Kenapa perbedaan itu jauh lebih berarti dari persamaan?

Agama, suku, budaya, warna kulit, status sosial, derajat.... kenapa semuanya itu menjadi takaran untuk menilai kamu dan saya? Kenapa orang menganggap penting perbedaan sehingga menutup mata terhadap persamaan, bahwa kita adalah manusia dengan nurani yang sama, tercipta dari Tuhan yang sama, tinggal dalam dunia yang sama?

Terkadang kita tidak ’bisa’ menolong seseorang karena dia berbeda dengan kita. Bahkan memberikan senyum untuk sesama menjadi begitu mahal harganya, hanya karena dia bukan siapa-siapa. Padahal senyum itu sehat, mudah, dan gratis.

Cinta datang untuk menyatukan perbedaan, namun kenapa manusia membedakan untuk mencintai? Apa karena sesungguhnya cinta itu sudah tidak ada lagi dalam masyarakat yang majemuk ini?

Karena aku bukan dari suku yang sama denganmu, aku tidak bisa mencintaimu....
Karena warna kulitku berbeda denganmu, aku tidak dapat mencintaimu....
Karena status sosialku dan hartaku tidak sebanyak dirimu, aku tidak bisa mencintaimu....

Tidak heran banyak orang akan melakukan banyak hal agar dapat diterima dalam sebuah persamaan. Agar sso bisa dicintai.

Yang paling ’murah’ dan mudah adalah dengan uang. Dengan uang seseorang bisa membeli suku. Dengan uang status sosial bisa dibeli. Dengan uang seseorang bisa membeli warna kulit yang sama. Bahkan dengan uang cinta bisa di beli. Uang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan tsb. Sehingga kenyataannya uanglah yang dapat menyatukan perbedaan.

Bahkan bagi beberapa komunitas yang mendeklarasikan sebuah kasih dan persamaan status, mereka memiliki strata juga berdasarkan uang.

Sayangnya aku bukan orang yang memiliki uang untuk mewujudkan semua itu.

Aku punya mimpi. Kita hidup dalam satu dunia yang penuh perbedaan sebagai warna bukan sebagai dinding. Hidup rukun dan tentram tanpa prasangka, tanpa perbedaan sebagai manusia dengan nurani yang sama. Saling tersenyum dan bergandengan tangan. Rukun dan penuh cinta. Bukankah itu cita-cita luhur dari Bhineka Tunggal Ika?

Bisakah aku menggandengmu kawanku dari Aceh tanpa uang yang aku miliki?

Bisakah aku memelukmu kawanku dari Irian tanpa prasangka?

Bisakah aku menaruh kepalaku dibahumu kawanku dari Tionghoa tanpa rasa risih?

Bisakah aku mendoakanmu kawanku dengan kepercayaan yang berbeda tanpa merasa curiga?

Bisakah kita hidup dalam dunia yg satu tanpa memandang perbedaan sebagai penghalang untuk hidup secara harmonis?

1 comments:

Anonim mengatakan...

Aku setuju banget dengan kamu jo... kenapa orang zaman sekarang semakin hari semakin picik dengan yang namanya ras,suku, warna kulit yah?? padahal semua itu indah.... ehm...coba kalo didunia ini semua orang berkulit putih?? pasti butek juga neh mata liat warna putih semua, tapi karena perbedaan itulah semua menjadi indah. :) jo, blog kamu bagus2, tapi kenapa ngak ada yang kasih comment yah selain aku? wkwkwkwk..

Posting Komentar