JakJazz 2009 Urung Digelar

Di ujung simpang siur ada tidaknya JakJazz tahun ini, siang ini akhirnya kepastian itu datang dari IMPro melalui telpon ke redaksi wartajazz.com, menginformasikan bahwa parlehatan JakJazz 2009 dengan terpaksa ditiadakan. Memang kabar angin soal ini sudah terdengar jauh akhir bulan lalu.

Ngomongin Jakarta Jazz Festival, mau gak mau pasti bikin inget sama Java Jazz Festival. Kenapa justru 'adik' festivalnya ini lebih jaya dibandingkan dengan kakaknya, setidaknya lebih sukses. Kalau ada yang bilang JJF juga mau bangkrut - seperti yang sering didengar 'ini festival terakhir' tiap tahunnya, maka gw bilang itu hoax banget. Faktanya tiap tahun mulai dari tahun ke tiga JJF meraup untung bukan main besarnya.

Secara logika seharusnya JakJazz yang punya pengalaman menyelenggarakan festival jazz bersekala dunia sejak 1991, tapi faktanya sejak JakJazz diselenggarakan kembali, nampaknya malah terseok-seok jalannya.

Melihat JakJazz dengan Java Jazz sama halnya seperti melihat idealisme dengan komersil, sama halnya seperti melihat musisi punya acara dengan pengusaha bikin acara.

Dari banyak segi JakJazz kalah dibandingkan dengan JavaJazz; kalah SDM, kalah modal, kalah koneksi, dan kalah populer. Untuk modal dan koneksi gw gak akan bahas itu di sini, karena bakalan bikin polemik panjang nantinya. Tapi gw mau ngomongin soal 'kalah populer'.

Bagaimana pun musik jazz memang bukan musik yang populer di Indonesia karena beberapa sebab. Pertama jazz bukan musik tradisional bangsa kita. Kedua karena untuk belajar dan mengerti jazz butuh waktu, gak bisa karbitan (seperti musik pop kita saat ini, baru belajar gitar sebulan sudah masuk rekaman - entah SDMnya yang sakit atau komputernya yang sakit). Dua alasan utama tersebut bikin jazz jadi musik yang gak mainstream.

Berbeda seperti di US yang memang menjadi asal musik jazz sekaligus musik tradisional mereka. Maka gak heran saat summer di sana bertaburan festival dan event jazz. Gak heran yang datang bisa ratusan ribu orang dalam sekali event. Mungkin kalo di sini seperti festival dangdut kali ya, di mana om Rhoma Irama bisa bawa masa puuhan ribu orang.

Gimana dengan eropa? Gw belajar satu hal dari sifat orang eropa, dan kebanyakan orang-orang barat, mereka senang menganalisa, dari masakan, geologi bahkan sampai ilmu seni, termasuk musik. Musik jazz sendiri setelah masuk era bebop menjadi musik yang bidang ilmiah yang bisa diukur dan dianalisa. Maka musik jazz pun menjadi musik yang diteliti bagi orang eropa. Itu sebabnyak juga mengapa antara jazz US dengan jazz eropa memiliki perbedaan pendekatan sendiri-sendiri dalam berimprovisasi.

Maka bagaimanapun bisa dimaklumi pamor festival jazz tanah air gak akan bisa nyamai di luar sana.

Lalu kok Java Jazz bisa sukses?

Karena JavaJazz lebih banyak musik komersilnya dari pada musik jazz-nya itu sendiri. Ngomongin JavaJazz hanya 30% nya aja yg benar-benar jazz, mungkin malah gak sampai. Terlepas dari pro dan kontra, pendekatan yang dilakukan manejemen JavaJazz terbukti berhasil.

Mungkin selain pendekatan gaya JavaJazz, ada satu lagi yang bisa diperbuat, adalah memasyarakatkan musik jazz di tanah air. Gw rasa sudah cukup image bahwa musik jazz harus dibawakan di dalam hotel-hotel mewah dengan mengenakan setelan jas. Sudah waktunya jazz dimainkan di warung-warung kopi tubruk.





Sent from my BlackBerry® Jave

0 comments:

Posting Komentar