Model Industri Musik Yang Ideal



Kompas Hari Selasa, 27 Oktober, halaman 34, Hermawan Kartajaya dan Waizly Darwin mengangkat Starbucks sebagai tema model bisnis, dengan judul "Mengembalikan Pengalaman Starbucks Lewat Caring". Kalo gw gak baca artikel tersebut, gw gak akan tahu kalo ternyata Howard Schultz sempat turun dari tampuk CEO kerajaan Starbucks, sebelum akhirnya Januari 2008 kembali menjadi CEO Starbucks.

Yang membuat Schultz kembali menjadi COE karena memudarnya Starbucks Experience (bahkan sampai dibandingkan dengan McD dan Dunkin Donuts). Tugas Schultz mengembalika The Starbucks Experience tsb *hm... seperti sinopsis film ya?*

Sebenarnya artikel ini tidak langsung menarik perhatian gw, kecuali soal Starbucks Experience yang pernah gw baca bukunya. Cuma pada hari yang sama, saat gw pulang dari rumah mas Beben, gw baru sadar bahwa nota pribadi Schultz berbicara secara global - dan bagi gw adalah soal musik dengan perangkat industrinya.

Saat di rumah mas Beben, sambil nunggu selesainya giliran mati lampu, kami jammin' lagu-lagunya the Beatles. Dari sana obrolan soal musik pop jaman sekarang muncul. Teman gw, yang juga musisi, bahkan sampai berkata di twitter-nya, "beberapa band yang sedang beredar di TV, benar-benar merupakan penghinaan terhadap seni musik..."

Mungkin sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk nembus top40 indonesia, kalo gak pop melayu, ya pop kacangan - semakin murah, makin laku (mungkin sesuai dengan prinsip orang Indonesia kali ya, 'yang penting murah'). Alasannya juga macam-macam, kebanyakan karena "orang awam kan gak suka musik yang ngejlimet", atau "permintaan pasar kan memang demikian, konsumen kan raja".

Kalo ide dan gagasanmu masih seperti itu, coba baca tips dari company yang melegenda ini.

Dalam nota pribadinya yang dia kirimkan secara berkala kepada seluruh pegawainya, Schultz menyatakan bahwa the Starbucks Experience hanya akan dicapai jika tiap pegawai menunjukan RESPECT dan DIGNITY bagi customer. Ini menunjukan bahwa Starbucks tidak menjadikan customer raja, tapi sebagai pihak yang setara.

Meskipun Schultz selalu berbicara tentang menjadikan customer sebagai pusat dari segala aktifitas perusahaan, dia tidak percaya pada customer survey. Jika Schultz ingin mengetahui lebih banyak tentang customer, dia akan mengamati sebuah outlet. Ini berarti Starbucks tidak selalu mengikuti apa yang diminta oleh konsumennya secara eksplisit melalui survey, namun lebih pada observasi langsung - apa yang sebenarnya diperlukan oleh customer. Hingga kini Chultz masih mengunjungi 25 outlet tiap minggunya.

Contohnya pada akhir 2008, Starbucks di US menghentikan penjualan sandwich sarapan yang dihangatkan tiap paginya. Meskipun sebagian besar customernya menyatakan bahwa mereka senang dengan produk tersebut, Schultz merasa bahwa aroma dari sandwich mengganggu aroma kopi yang menjadi ciri Starbucks. Tidak semua yang diminta oleh konsumen itu harus dipenuhi oleh perusahaan.


Gw menyimpulkan ada lima alasan kenapa konsumen tidak bisa menjadi raja industri musik:
  1. mereka jarang mengetahui tujuan mereka, apa yang benar-benar mereka inginkan. Sering kali mereka hanya membeli CD atau RBT karena itu yang dibeli teman mereka, karena itu yang sering didengarkan di radio, karena itu yang sering dinyanyikan pengamen, karena itu yang tranding saat ini. Ambil satu contoh, customer bilang musik kangen band sederhana dan enak, sayangnya mereka gak tahu apa arti sederhana dan enak didengar.
  2. permintaan mereka sering berubah-ubah. Kenapa? Karena permintaan mereka bukan didasari oleh kebutuhan, tapi karena keinginan. Gak usah musik deh, makanan aja yang katanya kebutuhan sekunder aja orang beli nasi padang bukan karena dia butuh tapi karena lagi ingin makan padang. Sebagai penjual kita tidak mungkin menyediakan semua yang diinginkan pembeli, karena cepat atau lambat kita pasti tewas! Seperti Schultz, dari pada mengikuti keinginan customer, dia malah mengarahkan keinginan tsb. Kenapa customer tidak diberi kebebasan? Baca poin nomor satu.
  3. mereka tidak dapat dipercaya. Customer tidak merasa punya kewajiban apa-apa saat dianggap menjadi raja. Tapi kalo diperlakukan mereka setara, mereka akan loyal dengan karyamu.
  4. Penilaian mereka subjektif. Walaupun sebagus apapun lagu kamu, kalo kamu bukan siapa-siapa mareka, mungkin tidak akan dihiraukan. Jika tahu hal tsb, maka dengan tulus jadikan mereka kawan kamu dari pada menjadi sumber uang kamu.
  5. Karena selain hak ada kewajiban juga, dan sering kali customer kita lebih senang menuntut hak sebagai raja dari pada melaksanakan kewajiban sebagai raja.

Bedakan antara band cafe dengan band rekaman. Kalo gw punya band cafe, gw akan mainkan apa yang diminta pendengar gw. Tapi kalo gw band rekaman, gw akan mainkan suara nurani gw, karena itu nanti yang akan didengar anak-cucu gw.

Budi Darma juga pernah menyampaikan pesan yang senada,
Harus ada karya seni (sastra) yang serius dan idealis. Yakni karya yang tidak perlu dibaca/didengar masyarakat secara luas, tetapi mempunyai daya jangkau pemikiran yang berdimensi masa depan. Karena yang menggerakan dunia bukan massa, melainkan pemikir-pemikir yang jumlahnya sedikit namun berpengaruh.

Demikian pula dunia sastra. Apa yang terjadi di dunia buku bacaan saat ini dipandang Budi Darma sebagai kecenderungan budaya pop, saat selera masyarakat terus berubah. Banyak buku yang terbit menjadi popular, namun cepat tenggelam. Mirip seperti band-band saat ini kan?

C'mon guys, maju untuk Indonesia yang lebih baik!




Sent from my BlackBerry® Jave

2 comments:

Ribz mengatakan...

MERDEKA !!!

joh juda mengatakan...

@Ribz: apa sih?? :D

Posting Komentar