Apa Kata Joh Terhadap ToS Instagram

Baru-baru ini netizen, khususnya para warga Instagram, dihebohkan dengan Terms of Service (ToS) Instagram terbaru. Salah-satu klausal yang menjadi kontroversi yaitu memungkinkan Instagram untuk menggunakan foto-foto yang ada di dalamnya untuk kebutuhan advertising. Sontak ini, menimbulkan pro dan kontra, tapi tentu lebih banyak yang menolak keputusan ini.


Bahkan beberapa pendukung utama Instagram seperti, National Geography menghentikan sementara mengupload foto ke Instagram untuk sementara waktu, sampai adanya kejelasan mengenai ToS ini. Jika tidak ada perubahan, maka sudah pasti akan mendelete akun mereka di Instagram.

Beberapa yang mentolerir keputusan Instagram ini beranggapan karena media seosial ini bersifat gratis dan dalam bentuk media internet. Ini mirip kayak majalah dinding pada jaman kita SD atau SMP. Pajang foto/gambar di sana, saat hilang, ya gak bisa protes. Kalau gak mau dicuri ya jangan majang foto. Tapi kalo bisa mejeng di mading, kayaknya eksis banget kan.

Itu sebabnya fotografer pro yang gunakan media sosial internet seperti Instagram, tidak pernah upload foto terbaik mereka, karena buat itu nafkah mereka. Buat yang hobi, akan pajang foto terbaik mereka, karena ya sekedar hobi.

Tapi cara pandang orang berbeda-beda. Ada yang merasa senang dibajak. Contoh kayak Pandji. Dia sudah release 3 album, salah satu judul lagunya, 'Bajak Lagu Gw'. Cara berpikirnya sederhana, kalau lagunya dibajak, berarti akan semakin ngetop, fee off air nya akan naik. Fotografer pun ada yang kayak gitu, contohnya Arbain Rambey. Dia pajang foto-foto dia di internet, dan tidak keberatan dicuri. Menurut dia, "sialhkan aja kalo ada yang copy, toh kalau mereka perlu fotografer mereka akan cari saya". Cara mereka berpikir adalah sebagai musisi/fotografer aktif.

Ada juga tipe yang berpandangan karya adalah sebuah pride. Bukan masalah bagus/jelek, untung/rugi, tapi karya adalah eksistensi diri dan perpanjangan keberadaan diri. Seumpama bagian tubuh, mau wajah kita jelek/bagus, tapi kita ingin punya kehendak bebas menggunakan wajah kita.


Saya pribadi sadar sepenuhnya saat saya share sesuatu di dunia maya, saya sudah siap untuk dicuri. Tidak cuma foto, tapi dari jaman saya kenal sosial media. Dari tahun 2006 saya aktif di forum dan blog, dan tulisan-tulisan saya udah sering banget di-copas tanpa ijin. Bahkan tulisan saya pernah nongol di web berita nasional tanpa sepengetahuan saya. Dulu saya masih agresif untuk protes, tapi lama-kelamaan sadar soal 'sindrom kepemilikan-bersama' di dunia maya. Kadang kita protes karya kita dibajak, tapi masih pakai aplikasi/software bajakan, atau copas twit otanpa sepengetahuan orangnya. Saya lihat orang-orang yg menulis di Wikipedia, mereka nulis secara sukarela, tapi tidak protes kalau kita main jiplak.

Pada akhirnya sewaktu foto saya pertama kali dibajak di Picplz dan Mytubo, saya malah senang. Berarti foto tsb bagus sampai ada yg mau copy kan. Ide saya akan selalu tinggal bersama diri ini, sekalipun hasil karya saya diakui orang lain.


Tapi soal SoT Instagram ini isu yg berbeda, dan saya termasuk yg tidak setuju. Buat saya ini tidak sekedar foto kita diambil, tapi pemanfaatan seluas-luasnya. Artinya Instagram secara legal merasa berhak atas foto-foto kita. Mendukung ini seperti melegalkan piracy besar-besaran. Bayangkan saya upload foto selfportrait, dan ternyata foto tsb dijadikan iklan before & after produk kecantikan? Itu contoh ekstrim sih, tapi bentuk kongkrit penggunaan sebebas-bebasnya yang belum bisa kita bayangkan apa maksud IG sebenarnya, dan itu yang mengkhawatirkan.

Alasan kedua, IG bermain tidak transparan. Lain cerita kalau dari awal IG sudah bermain sebagai broker/agensi foto, ekosistem dan atmosfir yg diciptakan tentu berbeda. Awalnya IG datang sebagai media sosial, itu sebabnya komunitas bertumbuh di dalamnya (seperti iPhonesia, salah-satu contoh dari banyaknya komunitas yg lahir dari Instagram). Bandingkan dengan wikipedia yang dari awal memang bermain sebagai 'broker' informasi, komunitas akan sulit lahir di sana. Tapi tetap sukses kan, walaupun pendekatannya berbeda. Di sini yang saya bilang IG tidak transparan, mereka ingin dukungan solid komunitas tapi sebenarnya berencana jadi broker; seolah mereka membuka taman bermain, dan setelah ramai dengan pengunjung mereka merubahnya menjadi pabrik, dan status pengunjung jadi pekerja sukarela.

Dan jangan berpikir karena gratis, sehingga IG berhak lakukan apa saja. IG bisa laku satu milyar dolar karena dukungan komunitas loh (jumlah users dan potensinya). Socmed yang berbayar pun belum tentu memberikan kita hak penuh, contohnya Multiplay yang tutup tahun ini, users pun tidak bisa protes.

Kalau ada yg tanya, "kalau gitu gimana IG mau untung?". Pernah bertanya dari mana keuntungan twitter? Nah kenapa IG tidak meniru twitter.

Saya sendiri akan lihat 1-2minggu ini, jika tidak ada perubahan, terpaksa delete foto dan hanya upload foto secara temporary ke IG. Memang disayangkan.

0 comments:

Posting Komentar