Para Penjelajah Waktu Dari Masa Lalu

Sehabis meeting di Citiwalk, saya beranjak menuju Plaza Semanggi untuk mencari sebuah barang. Akhirnya gak ketemu sih. Namun yang ingin saya ceritakan kali ini pertemuan saya dengan para relawan dari Yayasan Jantung Indonesia.

Sebagai warga Jakarta yang sering berlalu-lalang di jalanan umum atau di dalam mall, pasti gak asing dengan para relawan yang selalu meminta sedikit waktu kita. Dan memang terbukti, kalau warga Jakarta itu menghargai waktu mereka melebihi uang, karena lebih sering kita dapati orang Jakarta memberikan sedikit duit mereka kepada pengemis ketimbang memberikan sedikit waktu kepada para relawan ini ;D


Dulu saya merasa tidak keberatan memberikan sedikit waktu saya, entah akhirnya memberikan donasi atau tidak. Namun saat ini, terus terang, saya merasa terganggu. Bukan karena soal waktu yang semakin kurang saya miliki, namun bertemu para relawan ini seperti bertemu penjelajah waktu. Dari masa lalu.

Cara seperti ini sudah ada sejak awal saya kuliah. Saya masih ingat donasi pertama saya kepada Greenpeace, lalu donasi berikutnya untuk beasiswa sekolah anak kurang mampu. Dan setelah hampir 14 tahun, metode funding seperti ini tidak berubah.

Sekarang era digital dan sosial media. Funding akan sangat mudah dan menjangkau lebih luas dengan waktu yang singkat dan tenaga yang minim. Namun alih-alih memanfaatkan teknologi, tetap saja yayasan-yayasan sosial ini berkutat di jalan-jalan, meminta waktu warga Jakarta yang semakin sedikit mereka dapatkan, apa lagi donasinya. Dan boro-boro memanfaatkan teknologi, website dan alamat email mereka lebih sering under maintenance. Makanya sering kali para relawan ini saya tinggalkan sambil tak lupa melempar senyum. 

Namun sore tadi kaki saya berhenti saat yang mencegat mengenakan seragam Yayasan Jantung Indonesia. Dan setelah mengetahui bahwa ada 92 anak yang sedang menunggu antrian untuk operasi kelainan jantung mereka, akhirnya saya mendaftar sebagai donatur. 

Anak kecil yang memiliki kelainan jantung bawaan (cacat sejak lahir, dan bisa menimpa siapa saja), dan bahwa itu anak Indonesia, itu sudah cukup menyentuh hati saya.

Tapi saya tetap menyampaikan keluhan saya. bahwa funding seperti ini seharusnya sudah tidak dilakukan lagi, karena tidak efisien dan efektif. Ery Erdiansyah, relawan yang terpaksa menghadapi keluhan saya, beralasan bahwa hal ini dilakukan karena keterdesakan. Ingin saya mengatakan alasan tsb tidak masuk akal, namun urung saya sampaikan, karena saya tahu jawaban mas Ery sekenanya yang berasal dari singkatan DDDP (Direct Debit Donor Program), dan mas Ery hanya eksekutor.

Saya sempat lihat form yang dipegang olehnya, dan baru mendapat 3 orang donatur. Total ada 4 orang relawan sore itu. Mereka sudah ada sejak jam 12 siang dan paling mereka hanya sampai jam 18. Tarolah masing-masing dari mereka bisa dapat 5 donatur hari itu, total ada 20 donatur. Itu pun kalau para calon donaturnya beres. Ada kalanya orang-orang hanya asal mengisi. Mas Ery sendiri cerita sebelumnya ada 4 orang yang gagal didebit karena masalah teknis pada bank. Belum lagi yang mengisinya dengan rekening kosong. Jadi bisa saja dari 20 donatur, yang benar bisa diproses hanya 10 orang. Artinya dalam satu hari hanya mengumpulkan 1-2 juta. Program seperti ini biasanya hanya berjalan selama satu bulan di satu kota. Sedangkan satu anak setidaknya memerlukan biaya 80 juta untuk biaya operasi. Bukankah ini seperti menjaring angin?

Bayangkan jika program ini diadakan secara digital, pasti akan jauh lebih efisien dan efekti. Saya sendiri akhir tahun lalu baru saja mengadakan program charity digital bersama komunitas saya. Program tsb bertujuan untuk membantu anak-anak yang terkena kanker. Campaign tsb tidak terlalu sukses sebenarnya, karena keterbatasan waktu dan bersamaan dengan beberapa program lainnya. Walaupun demikian hasil yang didapatkan hampir sama dengan teman-teman relawan kita dari Yayasan Jantung Indonesia selama satu bulan menjemur kulit di terik-hujan Jakarta.

Saat ini orang lebih percaya internet. Saat memperoleh informasi seperti ini, mereka akan googling. Kalau website nya saja forbidden, orang akan ragu bahwa program ini real, walaupun mungin sebenarnya program ini benar-benar nyata.

Jadi saya menghimbau untuk yayasan-yayasan sosial, udah saatnya meninggalkan cara-cara lama yang sebenarnya tidak berfaedah (mungkin berdampak jika di kota-kota kecil di Indonesia). Mari kita menolong dengan cara yang lebih cerdas dan bijak agar informasi lebih tepat sasaran dan lebih banyak lagi anak-anak yang bisa kita selamatkan.



Nb. Bagi yang ingin berdonasi, silahkan mengunjungi website mereka (semoga sudah bisa diakses) di inaheart.or.id, atau langsung cari di wikipedia aja kontaknya.



0 comments:

Posting Komentar