Belajar ke Belanda dengan Musik Jazz




A painter paints pictures on canvas
But musicians paint their pictures on silence....



DISEBERANG BENUA KINCIR

Gw gak begitu suka berada di tempat yang penuh sesak dengan orang, seperti pasar, mall saat weekend, atau di tengah Gramedia yang sedang sale 70%. Tapi yang ini beda, gw rela harus berhimpit-himpit ria demi mendapat tempat paling depan, gw rela harus berpegal ria karena tidak ada tempat duduk, bahkan gw rela harus teriak-teria untuk ngomong ke teman gw yang jarak telinganya hanya lima senti dari mulut gw. Karena ini Java Jazz Festival, bung!

Gw masih ingat saat itu, saat gw datang ke Java Jazz Festival (JJF) 2005. Gw begitu gak sabaranya untuk masuk ke dalam gedung Jakarta Convention Center. Gw begitu excited, sama seperti pertama kali gw mencuri nonton film bokep.

Gw masih ingat Ketika Deodato mempertontonkan musik jazz-rock elektriknya yang unik -- dengan kepala yang gw pikir akan patah diakhir pertunjukan; atau saat Al McKay memimpin Earth Wind and Fire Experience mengumandangkan September -- dan gak bosan-bosannya untuk datang kembali ke JJF dengan lagu yang sama tahun berikutnya; atau Tania Maria yang karena keterlambatan pesawatnya, langsung dari Bandara Soekarno Hatta tanpa sempat ganti baju, menuju Jakarta Convention Center untuk melantunkan suara merdunya -- dan malam itu langsung masuk angin.

Melihat Java Jazz Festival, pikiran gw gak bisa lepas dari North Sea Jazz, festival yang seumur hidup ingin gw kunjungi. Peter Gonta, founder dari JJF pun tidak memungkiri, bahwa ambisinya menyelenggarakan JJF tidak jauh dari pesona festival jazz indoor terakbar seantero dunia yang tidak pernah absen ia kunjungi itu. Bahkan dia pernah bercanda ingin membeli North Sea Jazz Festival, "sayang mahal sekali, haha...", celetuknya (ya iyalah?!!).

Entah memang Indonesia tidak bisa lepas dari Belanda atau ada alasan lain, karena lucunya, almarhum Paul Acket, penggagas North Sea Jazz yang untuk pertama kali diselenggarakan 1976 itu, adalah pria berkebangsaan Belanda yang lahir di Semarang.


SEMANGAT AKULTURASI DALAM DUTCH JAZZ

Gw rasa semangat Paul Acket dalam membangun festival North Sea Jazz didorong dari kulturisasi bangsanya dalam melihat dan memahami budaya lain. Kalo kita mundur sedikit, jazz sendiri lahir dari asimilasi musik barat (kala itu musik klasik) dengan musik rakyat Afrika di tengah perbudakan kulit putih awal 1915. Dari jazz lah genre-genre musik yang kita kenal saat ini lahir. Bahkan Indonesia yang berada ribuan mil pun sudah berpartisipasi di sini jauh sebelum musisi kita dikenal luas di mancanegara. Tidak harus band dan instrumen moderen yang tampil di North Sea Jazz, tapi juga instrumen dan musik etnik dari berbagai budaya dan bangsa (yang familiar disebut world music).

Awalnya Dutch jazz merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut musisi atau band jazz yang muncul dari Belanda, yang tentunya banyak bisa dilihat dalam North Sea Jazz. Namun dengan berjalannya waktu, Dutch Jazz merupakan rujukan dari sebuah warna baru dalam jazz, 'Jazz-rasa-Belanda'. Dutch Jazz berangkat dari sub genre free jazz yang lahir di US pada akhir 50an, diprakarsai oleh musisi-musisi muda, salah-satunya John Coltrane (A Love Supreme). Sub-genre ini begitu cepat berkembang di eropa, termasuk Belanda. Nama-nama seperti Ayler, Steve Lacy and Eric Dolphy merupakan musisi-musisi yang diduga bertanggung-jawab dalam mempopulerkan free jazz di dataran eropa.

Dari sana Dutch Jazz bukan lagi sekedar free jazz yang nyeleneh dan tidak patuh pada pakem musik jazz, apa lagi sekedar sebutan untuk musisi asal Belanda. Idiologi yang diserap oleh Dutch Jazz adalah kebebasan akulturasi budaya dan toleransi sosial yang besar. Dutch Jazz muncul sebagai genre yang membaur tanpa batas ruang-waktu, batasan status-sosial, maupun batasan budaya.

Sebut saja Yuri Honing bersama trionya. Band trio jazz asal Belanda yang beranggotakan Joost Lijbaart (drummer), Tony Overwater (kontra bass), dan Yuri Honing sendiri, membawa semangat bermusik yang sangat plural.

Semangat ini tidak hanya tercermin dari Yuri Honing Trio yang selalu memadukan musik mereka dengan budaya setempat di mana mereka berkunjung (seperti Jepang, Cina, Arab), namun juga tercermin dari masing-masing personilnya. Joost Lijbaart, selama studi di conservatory Hilversum, dia pergi ke Senegal (Afika Barat) untuk belajar Perkusi Afrika dengan pemain perkusi legendaries Ali un D’Aya Rose.

Begitu juga dengan Tony Overwater yang sedang mendalami studi musik Arabia, juga merupakan pemain Oud (semacam gambus, alat musik dari Arab).

Pengaruh dari berbagai macam gaya musik yang berbeda menjadikan hal yang utama dalam interpretasi musik mereka, baik musik pop, musik klasik, musik-musik masa kini, bahkan musik timur tengah menjadi salah satu yang mempengaruhi permainan mereka.

Selain Yuri Honing dan kawan-kawannya, masih banyak musisi Belanda lainnya yang memiliki semangat akulturasi ini, sebut saja Peter Beets, Candy Dulfer, Michiel Borst, bahkan René Creemers & Wim De Vries dalam The Drumbassadors, ensembel perkusi asal Belanda yang kaya warna.

Music is the universal language of mankind...

KENAPA GW MEMILIH JAZZ?

Sempat pada sebuah masa di dataran eropa dan Amerika orang-orang hanya mengenal satu jenis musik, yaitu jazz (hm gak kebayang dari pengamen sampai hotel musiknya jazz...). Dari jazz ini munculah berbagai genre musik yang kita kenal, seperti rock n roll, rock, pop, funk, dsb. Genre-genre ini merupakan bentuk kebebasan yang dilahirkan dari jazz. Sayagnya justru genre-genre tsb mendikotomikan musik yang seharusnya untuk kita dengar dan nikmati, bukan untuk memperbanyak perbendaharaan kata kita.

Bentuk protes akan pengkotak-kotakan adalah lahirnya musik-musik lintas genre, seperti rock yang ditabrakan dengan house music, atau musik pop instrumentalis, atau yang sekarang sedang populer instrumen yang dikolaborasikan dengan bentuk seni lainnya, seperti teater dan sastra.

Protes ini justru membuat kita kembali pada semangat free jazz yang lebih luwes dan mengalami moderenisasi. Mungkin itu dia, kenapa harus jazz, karena ini genre paling bebas dan paling jujur, dan musik sebagai alat komunikasi universal lintas budaya dan lintas waktu. Jadi di mana menurutmu kita belajar saling menghargai dan berkomunikasi lintas budaya dalam bermusik?

Belanda, tunggu gw...

6 comments:

Ribz mengatakan...

maap...ga bisa kasih saran apa2 pas lo kirim draft tulisan ini...bahkan sampe neh tulisan dah lo posting-pun...stil NO COMMENT, coz sejujurnya...

g ga ngerti...sumpah yud...g bener2 ga ngerti dan kurang tertarik sama sejarah2 musik kek gini

skali lagi maap ;p

joh juda mengatakan...

Hehe gpp. Gw cuma pengen tahu aja reaksi orang kalo baca tulisan gw yang super ngaco; apakah menarik, hepi (memang, ini bukan marijuana), atau kentut (ok, kalo yg ini alami).

*btw orang percaya gak sih gw kehilangan mobil kalo comments gw kek gini??*

Anonim mengatakan...

tulisannya unik, kayaknya cuma ini deh yang tentang musik gitu ... musisi ya? kalo adik-ku gitaris blues nah boleh nanya donk kalo blues ini kaitannya ma jazz gimana? aku ga ngerti sih kalo denger jazz hehehe, maklum awam

salam kenal ya dari aku (sesama peserta kompetiblog), smoga ikutan ini nambah pengetahuan n teman juga :-)

joh juda mengatakan...

@Nadya
Hi Nadya, salam kenal juga

Ok, sebagai musisi (gadungan) gw akan mencoba menjawab

Blues itu tepat berada di bawah jazz dalam hirarki histroikal musik. Dasar blues itu 12 bar jazz blues. Blues lahir hampir bersamaan dengan be-bop (akhir 50 dan awal 6an). Setelah blues lahirlah rock n roll, rege, funk dll (kalo diperhatikan dasar 12bar bluesnya masih kentara di genre0genre tsb).

Ok cukup sekian ke-sok-tahuan gw, semoga informasi ini semakin membingungkan anda. Btw kok gw gak bisa ninggalin comment ya di blogmu?

Ade mengatakan...

Gut lak yaa..

joh juda mengatakan...

@Ade
Sama-sama mba :) *kalo bukan karena gw ngecek blognya, gw pasti bakalan bilang bro*

Posting Komentar