Mencari Ide & Mood

Sekarang saya lagi di SB Pelangi. Ramai sekali di sini, mungkin karena bertepatan dengan perlehatan Indonesia Idol. Soalnya tadi saya sempat ke WC, dan berbondong-bondong orang mengenakan baju 'vote Ajie'. Ada ya finalis Indonesia Idol yang bernama Ajie? Memang sudah sampai final ya? Sori, soalnya saya tidak mengikuti Indonesia Indol tahun ini. Lagi pula alasan saya berada di sini untuk melanjutkan mengerjakan draft tulisan, yang sebenarnya hanya menyalin draft satu bab dari notes ke laptop. Sigh.

Hampir sebulan ini mood saya lagi surut untuk menulis. Tidak usah bicara novel, untuk menulis blog saja susahnya setengah mati. Memang tidak dewasa untuk menyalahkan mood dalam menulis, seolah mencari kambing hitam dari kemalsan diri. Tapi nyatanya memang mood saya tidak ada untuk menulis!

Sebenarnya sudah ratusan kali saya coba pikirkan kemana mood saya pergi. Semua tempat di jagad nalarku sudah saya telusuri. Hasilnya hampir nihil, kecuali satu, bahwa waktu saya sudah mulai teratur, dan bahwa insomnia saya sudah sembuh. Mungkin inilah yang membuat mood menulis saya hilang.

Saya rasa, tidak bedanya saya dengan beberapa penulis lainnya. Ok, rasanya terlalu naif untuk menggolongkan diri saya dengan kaum penulis minoritas. Jadi saya ralat, kira-kira beginilah cara saya menggali sumber kreativitas saya dalam menulis. Ide dan mood saya dalam menulis datang dari sesuatu yang kurang baik, khususnya bagi diri saya sendiri. Kalo kamu perhatikan posting blog saya awal tahun ini, justru ditulis di tengah malam menjelang pagi. Tidak jarang malah yang ditulis di pagi hari, setelah terjaga semalam penuh. Justru di dalam kondisi tubuh yang tidak sehat, kekreativitasan saya meluber bermuara karsa.

Sayangnya saat ini insomnia saya sudah sembuh, tidur saya mulai teratur semenjak saya rutin lari pagi dan nge-gym. Olah raga membuat tubuh ini berintuisi untuk teratur. Tidur sebelum jam23, dan bangun jam5. Menjaga makan makanan sehat. Kegiatan saya mulai tertata rapi dalam rutinitas. Ini membuat instingku dalam menulis hilang.

Tidak bedanya dengan menulis puisi, atau cerpen, atau draft yang saya harapkan menjadi buku; semua tulisan saya justru lahir dari kondisi fisik yang lemah, dari kondisi yang berantakan. Begitu juga sewaktu hati ini galau dengan cinta dan air mata, justru tulisan yang sanggup saya bukukan lebih banyak dibanding saat hati penuh dengan bunga-bunga cinta.

Saya butuh ketidak bahagiaan untuk menulis. Saya butuh ketidaknyamanan untuk mengalirkan ide. Mungkin saat saya senang dan nyaman, membuat nalar saya tidak peka akan hadirnya ide. Mungkin akhirnya saya menyimpulkan kekreativitasan hadir karena kita tidak merasa nyaman. Karena orang merasa tidak nyaman hanya dengan mengendarai kuda, mereka menciptakan kendaraan. Karena orang tidak nyaman dengan surat menyurat, mereka menemukan telpon. Karena mereka tidak nyaman dengan lampu gas, mereka menciptakan listrik.

Hanya saja tidak mungkin saya menukar kesehatanku dengan ide dan mood. Ok mungkin terlihat sepadan, tapi kesehatan merupakan investasi berharga jangka panjang. Bahkan saat saya sama sekali tidak bisa menulis, kesehatan tetap bisa menjadi modal untuk melakukan hal bermakna lainnya.

Jadi solusinya agar tetap dapat menulis? Mungkin saya akan mencoba menulis dalam posisi kayang, atau sambil digantung terbalik. Tentunya itu tidak mengenakan dan cukup membuat tubuh menderita untuk dapat terus menulis.

Sebenarnya kalo ditelaah lebih dalam, ada solusi yang lebih baik dari pada ide-ide penyiksaan jaman romusa itu. Tidak harus keadaan fisik kita yang mendorong kita untuk berkarya. Sebenarnya ada yang lebih mudah tanpa perlu menyakiti diri, yaitu memotivasi diri. Tidak harus keadaan dari luar yang mendorong kita, tapi bisa juga keadaan dari dalam yang memotivasi diri kita. Walaupun lebih mudah, nyatanya sedikit yang berhasil.

Contohnya saja, seberapa banyak sih dari kamu yang mau berubah karena motivasi diri dibanding karena keadaan lingkungan yang memaksa? Saya berani berkata 1:5 yang terjadi dikehidupan nyata. Walaupun tidak ada orang yang suka dipaksa, nyatanya banyak orang lebih suka dipakasa oleh keadaan (entah dia sadar atau tidak) dari pada berubah atas keasadaran diri.

Akhirnya kembali lagi kan pada gagasan awal saya, bahwa ide dan mood bisa dicari, bisa dimunculkan dalam diri ini, tanpa harus menunggu. Ataukah saya memang terlalu malas sampai nantinya harus dipaksa untuk berubah? Jika demikian, apa bedanya saya dengan orang terjajah?





Johanes P
johanesjuda.blogspot.com
fivestroke.blogsopt.com
_____________
This mail sent by Sony Ericsson M600i

4 comments:

Wibowo Kosasih mengatakan...

Karya itu butuh inspirasi Joe ...
You got it right ... Dalam penderitaan dan nestapa, karya mudah mengalir. Toh sudah dibuktikan oleh Beethoveen, Mozart, Shakespear and Van Gogh ...

Rutinitas memang pembunuh ide. Gue juga rasain tuh ...

Terus PD Joe, and yakin kalau tulisan u itu bagus.
I see you in the path of greatness ...

joh juda mengatakan...

Ugh, abound tq for ur commet, support, and inspiration pal.

Honestly, posting ini terinspirasi dari salah-satu posting loe bro :)

Anonim mengatakan...

sama banget. semua tulisan saya juga lahir dari kesakitan, perih, kehilangan arah dan cucuran air mata. Makanya tulisan saya kebanyakan gelap. Kalau lagi seneng2, kemana ilangnya kreativitas itu yah?

Sekarang saya sedang mengalami kematian otak. Setiap bersiap menulis, selalu BLANK! Padahal kan seharusnya moodnya cocok banget. PATAH HATI! Hhmmppfff!!!

(caution : curhat colongan detected)

joh juda mengatakan...

Hahaha gpp curhat di sini, toh gak ada yg tahu jg :p

Posting Komentar