Belajar dari Pengalaman

Sudah seharusnya seseorang belajar dari pengalaman hidupnya, dan bagi orang yang pintar, dia akan belajar dari pengalaman orang lain. Tapi tidak semua pengalaman orang lain menyenangkan untuk dipelajari. Ada kalanya pengalaman tersebut, ehm sulit.

Beberapa hari yang lalu saya menerima telpon dari nomor +9665443247**
penelpon: halo, bisa bicara engan Fian?
saya: oh maaf mas salah sambung.
penelpon: gak, saya mau bicara dengan Fian
saya: iya mas, tapi tidak ada yang namanya Fian
penelpon: kalo begitu Anton aja
penelpon: ini penting.
'klik'

Bagian mana sih dari 'salah sambung' yang tidak dia mengerti? Atau mungkin dia pikir kalo ganti nama orang yang dicari, bisa jadi tidak-salah-sambung.

Beberapa saat telpon berbunyi kembali. Nomor yang sama.
penelpon: ini dari Mekah. Penting!
penelpon: bla... bla... bla... bla... (sudah diterjemahkan dari bahasa arab)
saya: mualaikum salam mas...

Seharusnya dia belajar, masih ada 30% orang Indonesia yang sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, kecuali mualaikum salam.

See?? Itu makanya saya jarang bisa belajar dari orang lain. Mungkin kurang sabar, atau mungkin juga saya terlalu bego untuk belajar dari orang lain. Atau bisa jadi saya tidak berbakat menjadi orang pintar. Akhirnya saya berpikir kembali, jika tidak bisa menjadi orang pintar, setidaknya saya harus menjadi orang kebanyakan, belajar dari pengalaman sendiri. Berbeda dengan belajar dari orang lain, belajar dari diri sendiri membutuhkan ketekunan, ketabahan dan ugh daya tahan untuk menghadapi penderitaan.

Beberapa hari yang lalu saya baru saja membeli sebuah buku, salah-satu bukunya David Sedaris. Hampir semua buku-bukunya menggondol bestseller, bahkan internasional bestseller. David Sedaris ini orang berbakat dalam menulis buku-buku yang mengocok perut, bahkan disebut-sebut penggantinya Woody Allen atau Oscar Wilde.

Dengan gairah, nafsu dan birahi tinggi (tolong sebelumnya bagi yang masih dibawa umur membaca blog ini, harap didampingi oleh orang tuanya.disclaimer) saya menyerbu Aksara bookstore terdekat - yang sebenarnya 8 km kalo ditempuh dari apartemen saya.

Awalnya judul buku yang saya cari habis, akhirnya saya cari bukunya David yang lain. 'mau dibungkus mas?' Gak usah, mau langsung dibaca mba. Akhirnya saya buka buku tersebut sambil senyum-senyum najong. lalu berlanjut ke halaman berikutnya. Masih dengan senyum najong. Lalu halaman berikutnya, lalu berikutnya. Sepuluh halaman kemudian saya ngakak, gede bangat. Sumpah gw gak ngerti!!

Untungnya gak ada orang yang baca buku ini di samping saya. Mungkin kalau ada, itu orang sudah terbahak-bahak dari halaman pertama. Terus di halaman ke empat lebih terbahak-bahak lagi. Selagi dia terbahak-bahak, dia melihat keheranan ke arah saya. Ehm sori gigi gw lagi sakit jadi gak bisa ketawa lebar-lebar he... he... he...

Saya belajar, sebenarnya tidak ada yang salah dengan selera humornya David Sedaris. Yang salah adalah orang yang membacanya, sori tepatnya orang sok-sok mau membacanya.

Dengan penuh ketabahan, masih mencoba mencerna bukunya om David, saya habiskan waktu seharian di Take a Break, berdua dengan Richard. Ow iya, kalian sudah baca kan posting tentang dia? Hehe tunggu foto-foto yang lain ya. Selagi Richard asik inet, dan saya sekarat bersama David, telpon berbunyi. Halo... ow, ok... bagaimana... ow ok, ok... Bye. Setelah menutup telpon saya langsung bergegas mengambil dompet dan HP. "Mau ke mana kak?". Mau jalan sama temen, jawabku tergesa-gesa. "Tunggu dulu kak!". Ade gak bisa ikut, potong saya. "Bukan itu, kak belum bayar duit kopi. Gw gak mau bayar, gak ada duit!".

Setengah jam kemudian, saya masuk ke cafe. Cafe yang sama. "Loh, gak jadi pergi kak??". Ditinggal. "Kenapa basah kuyup begitu??" Karena kakak baru belajar, sekencang-kencangnya berlari menembus hujan lebat dengan angin kencang tidak akan membuatmu tetap kering. Sedikit pun tidak. Dan setelahnya adik gw ketawa dengan biadab bangat di sudut ruangan. Asem!

ditinggal+kehujanan=apess

Terkadang otak yang kita memiliki cara 'berjalan' yang lebih cepat dari pada indra kita. Tidak jarang pengalaman yang kita ceritakan kembali sebenarnya sudah jauh dari faktanya, karena banyak opini yang menjadi bumbu cerita kita.

Contohnya dua malam yang lalu, selagi saya sedang mengetik, TV saya sedang menyiarkan berita. Saya lupa tepatnya apa nama liputannya, tapi yang bisa saya pastikan, berita tersebut di MetroTV. Kira-kira begini bunyi beritanya, "...terjadi pembunuhan di desa tegal. Korban diduga dianiaya terlebih dahulu sebelum di bunuh dan dirampas harta bendanya. Tersangkanya tukang krupuk yang masih teman korban, yang berprofesi sebagai tukang nasi goreng..."

Dan tebak apa yang disimpulkan benak saya, '...terjadi pembunuhan oleh tukan krupuk. Korban dianiaya dan dibunuh dengan jalan mulutnya disumpel pake krupuk sampai megap-megap dan akhirnya mati kehabisa nafas. Terus harta tukang nasi goreng; wajan, kecap manis, piring dan gelas, di angkut tukang krupuk yang selama ini iri karena hanya bisa berjualan krupuk...'

Pesan moralnya, jangan terlalu cepat beropini, apa lagi jika kamu memiliki otak sama besar dengan saya.

Happy sunday guys ^^

0 comments:

Posting Komentar