Hubbu

Penulis : Mashuri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 237 halaman
Format : 13,5 cm x 20 cm




Ini novel juara pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Awalnya saya sempat berpikir, Kalo juara satunya sayembara DKJ seperti ini, gw juga bisa juara satu kali!, pikir saya sewaktu menapaki halaman-halaman pertama buku ini. Namun pikiran tersebut sirna begitu mengetahui keunikannya, walaupun akhirnya tidak terlalu istimewa. Dengan latar belakang pesantren dan budaya Jawa, Mashuri meraciknya menjadi sebuah kisah; Cinta, yang dalam bahasa Arab adalah Hubbu.

Kisahnya ini bertutur mengenai Abdullah Sattar, yang lebih dikenal dengan nama Jarot. Seorang pemuda asal Alas Abang, anak keturunan Kiai pendiri kampung. Jarot terhitung cerdas, dan memiliki daya hafal tinggi dalam sekali baca. Hal ini ditunjukan dengan mudahnya ia menghafalkan perubahan kata bahasa Arab, yang memang membutuhkan hafalam murni. Namun karena cerdasnya, ia cendrung cepat bosan. Bukan karena ia malas belajar, namun sebaliknya, karena dia memiliki keingintahuan yang besar untuk mempelajari segala hal.

Dimulai saat ia bertemu uak Tomo, sosok yang berkecimpung dalam budaya Jawa, termasuk kejawennya. Dari situ ia mengenal Sastra Gendra, yang akhirnya menjadi tujuan dan pencariannya seumur hidup. Mencoba mengungkap Sastra Gendra dan menggabungkan budaya Islam dan budaya Jawa yang kuat.

Dari Alas Abang ia melanjutkan kuliahnya ke Surabaya, dan lari dari tanggung jawabnya sebagai penerus Alas Abang. Alasannya, karena ia belum siap dan belum menemukan jawaban-jawaban pertanyaan hidupnya. Di Surabaya ia bertemu dengan Putri, yang melambangkan sebuah budaya moderen. Awalnya nilai-nilai agama yang begitu kuat mampu dipegangnya, namun mulai terkikis, dan akhirnya ia mendapati dirinya tidur seranjang dengan seorang gadis. Karena rasa berdosa, bersalah dan malunya, ia tidak kembali ke Alas Abang, malah memilih melarikan diri ke Ambon.

Dasar Cerita
Mungkin bisa dibilang keeksotikan buku ini terletak dari tema yang tidak umum, budaya Islam dan sastra Jawa, khususnya dalam hal ini Sastra Gendra, sebuah tema yang diambil dari cerita Pewayangan Ramayana. Cerita pewayangan inilah yang menjadi alur bagi cerita besutan Mashuri, bahkan lebih dari itu, cerita ini dimulai dengan Lontar Lokapala, prolog Wisrawana. Bagi yang tidak tahu, mungkin ada baiknya kita menilik kisah pewayangan yang diserap dalam Hubbu.

Alkisah, anak dari Begawan Wisrawa, Wisrawana, jatuh cinta kepada Dewi Sukesi, putri Alengka. Wisrawana merupakan penerus kerajaan Lokapala yang di pimpin ayahnya, tapi ia memilih mengasingkan diri menjadi petapa, tapi karena cintanya kepada Dewi Sukesi sehingga ia turun gunung. Ayahnya tahu bahwa Wisrawana tidak sanggup memenuhi dua syarat untuk mendapatkan Dewi Sukesi. Syarat pertama dari Dewi Sukesi, bahwa pemuda yang meminangnya harus memiliki kecakapan sastra. Sedangkan syarat kedua justru datang dari paman Dewi Sukesi, Arya Jambumangli yang memiliki maksud juga dengan kemanakannya itu. Syarat itu adalah mengalahkan dirinya. Hal itu hampir mustahil, karena di Alengka ialah yang paling perkasa.

Begawan Wisrawa yang tak tega melihat putranya merana karena cinta, sehingga ia turun dalam sayembara itu, sekaligus mempertaruhkan hubungan persahabatannya dengan Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi. Begawan Wisrawa berangkat mengalahkan Arya Jambumangli dan merebut hak memiliki Dewi Sukesi. Sebagai ayah, ia ingin membawa Dewi Sukesi dan menghadiahkannya pada Wisrawana, putra yang dikasihinya. Namun syarat kedua ini lah yang membawa petaka. Dewi Sukesi minta dibukanya rahasia Ilmu Sastra Gendra Hayuningrat Pangrumating Diyu - Sastra Gendra.

Namun sastra Gendra menyimpan rahasia langit, dan karena inilah sehingga swargaloka mencegah, dengan mengirim sepasang dewa merasuki dua insan sehingga yang terjadi justru birahi berapi-api. Lalu, bukan hanya Wisrawana yang mesti terpenggal dari cintanya, lebih jauh, dari persenggamaan itu lahirlah: Rahwana, Kumbakarna dan Sarpakenaka yang membawa angkara ke dunia.

Sayangnya, setelah mengetahui dasar ceritanya pun, saya masih belum bisa menangkap pertaliannya dengan kisah Jarot di Hubbu ini. Justru saya melihat dari mulut Jarotlah ia merasa seperti tokoh Wiswarana, dan seolah dipaksakan dan tempelan antara kisah Mahabarata dengan Jarot. Mungkin benar seperti kata Fanabis, novel ini dimuai dengan kuat, namun Mashuri tidak memiliki kapasitas dalam mempertahankan intensitas kekuatan cerita ini.

Bentuk Eksperimen Penulis
Di Hubbu ini ada yang tidak seperti biasanya. Gaya bertutur Mashuri melompat-lompat. Mungkin sudah tidak jarang kita melihat novel yang memainkan alur cerita, antara maju dengan mundur, tapi penggunaan kata 'mengingatkan',dan 'aku ingat' menjadi rambu usang yang sepertinya sudah terlalu sering dipakai untuk mundur. Sepertinya Mashuri malas mencari kata-kata baru sebagai padanan. Padahal seperti kata AS Laksana, padanan baru bisa menjadi signature khusus kita dalam keahasanahan tulisan.

Selain alur, Mashuri bereksperimen lebih jauh lagi. Ia melompat diantra tokoh-tokoh yang ada. Bahkan tidak sedikit menempatkan 'aku' bagi tokoh bukan utama. Sebenarnya ini bisa jadi tambang bagus bila dikerjakan dengan baik. Sayangnya justru seperti bumerang bagi penulis, karena absrud. Hal ini sempat terjadi pada halaman 21, percakapan Jarot dengan ibunya. Entah mengapa Mashuri menggunakan,
"kalau sudah bermain, lupa sekolah!", omel si perempuan tadi, yang ternyata adalah ibu jarot, muthmainnah.

"tidak bu. saya kira sudah magrib!", seru jarot.

perempuan yang ternyata ibu jarot itu langsung……
Bahkan penulisnya sempat lupa kalo perempuan tadi itu ibunya. Masih belum puas, diulangnya tepat di bawa. Tapi dengan lompatan-lompatan ini, justru membuat kisah ini menyisahkan kejutan terakhir di akhir cerita. Walaupun tokoh Aida dan tokoh-tokoh lain yang bernarasi sebagai orang pertama memiliki 'suara' yang sama.

Hubbu masih terlihat seperti ajang bereksperimen. Karena selain gaya bercerita tersebut, Mashuri juga mencoba menulis dengan berbagai bentuk. Dari bentuk diari, sampai bentuk surat. Kembali lagi ini terlihat patah bagi keutuhan ceritanya.

Kalo mencermati riwayat penulis, sepertinya buku ini mengkisahkan tentang penulisnya sendiri. Mungkin karena alasan ini lah, novel ini masih utuh hingga sekarang. Mengingat juga ini adalah novel pertama Mashuri, jadi tentunya sudah merupakan kewajiban berbagai pemakluman dalam buku ini.

(-) Poor
  • banyaknya kisah yang seolah dipaksakan, atau seperti tempelan, yang justru kok terbalik dengan penilaian dewan jurinya
  • ini seperti novel lama, kata-kata lama, dengan sampul yang baru

(+) Rich
  • novel ini mengusung tema yang tidak biasa
  • setidaknya novel ini juara Sayembara DKJ 2006

Ranking C buat buku ini.

1 comments:

Anonim mengatakan...

salam kenal, nice to meet u
mungkin saya nulisnya waktu itu sangat emosional. dan begitulah yang aku rasakan. :)

Posting Komentar