Saya dan Psikologi

Beberapa dari kamu mungkin masih ingat kalo saya pernah bertemu pasangan muda yang sedang jalan pagi. Walaupun si suami masih ngantuk, tapi dia paksa juga dirinya untuk menemani sang istri yang sedang hamil tua. Itu loh, yang saya tebak anak pertama? Kalo masih lupa kamu bisa lihat disini.

Tebak apa yang saya lihat tadi pagi? Bukan, bukan suaminya jalan sama cewek lain. Anak yang dikandung itu sudah lahir!! Masih dengan suami yang sama, dengan mata yang masih berat, si istri juga masih sama, hanya kali ini isi perutnya sudah digendong hehehe. Lucu deh anaknya, keknya sih laki-laki. Soalnya sambil lari jadi kurang memperhatikan.

Masih sedikit nyambung dengan anak kecil, mainan. Ada kalanya mainan itu membuat kita fun, tapi mungkin yang ini berbeda. Permainan ini khusus untuk orang dewasa yang bernyali gede. Bagi yang berminat main silahkan klik. Pringatan sebelumnya, hanya khusus bagi yang bernyali gede ok!

Ok, setelah beberapa posting sebelumnya berbicara kesotoyan tentang sastra, kali ini saya menyorot, apa yang menjadi latar belakang pendidikan formal saya. Mungkin sebagian dari kamu tahu kalo saya ngaku-ngaku musisi, dan mungkin juga ngaku-ngaku penulis, tapi apa sih latar belakang pendidikan formal saya?

Jangan kaget, jangan heran, bukan sulap, bukan sihir, kalo ternyata saya calon psikolog. Sama kah dengan S.Psi? Tidak tepat. Karena S.Psi itu predikat yang disandang orang-orang yang telah berjibaku selama 4-6 tahun di fakultas Psikologi. Dan akhirnya selamat. Psikolog? Orang-orang yang sudah selamat, tapi mau balik lagi buat mati.

Memang jika dikaitkan dengan tulis-menulis agak gak nyambung, apa lagi kalo dengan musik, itu lebih gak nyambung. Sastra dan musik merupakan minat saya terhadap hidup, sedangkan psikologi adalah latar intelektual saya sebagai manusia berpendidikan. Sayangnya justru latar ini yang sering saya cemooh, dan mungkin juga ada suatu penyesalan di dalamnya.

Berawal dari paradigma keliru yang sudah terlanjur terbentuk dalam masyarakat luas, bahwa psikolog itu adalah orang-orang yang mempelajari ilmu jiwa (sampai sini benar), bisa mengobati sakit jiwa (agak melenceng), dan yang paling umum, bisa baca watak, kepribadian bahkan pikiran orang lain (terlalu jauh...). Ini psikolog apa Tsang-Tung si ahli nujum sih?!

Mudah bangat kok melihat prilaku keliru masyarakat ini, bahkan tidak jarang saya sendiri alami. Begitu teman saya mengetahui latar belakang pendidikan saya, sekonyong-konyong mereka minta untuk dibaca kepribadiannya, atau entah dari mana mulainya sesi curhat dibuka. Yang paling apes, pernah langsung disodorin telapak tangan. Buat apaan??. Baca watak gw dong kek mana? Buseet?!

Udah gak beda gw kek Mama Loren!

Memang kalo untuk masyarakat awam, saya bisa maklumi, tapi yang ironis, para calon sarjana psikologi pun setali tiga rupa -- gw masuk psikologi biar bisa maca watak sso, dan memberikan solusi yang terbaik, menolong banyak orang deh. Kentang! Ok, saya juga memang salah-satu dari orang-orang bodoh itu, makanya kentang kuadarat!!

Sering juga pengetahuan akan berbagai jenis kepribadian tersebut menggiring kepada eforia sesaat, yaitu bangga saat bisa mengetahui watak seseorang. Yang ditemukan di lapangan, para konselor atau para psikolog yang mengintrupsi kepribadian seseorang. Dibanding orang itu sendiri psikolog lah yang lebih tahu. Padahal siapa sih sih yang benar-benar tahu siapa kita sebenarnya? Orang yang sudah menikah dengan kita selama bertahun-tahun saja masih harus belajar mengenal pasangannya, apa lagi orang yang baru tahu nama lengkap kita lima menit yang lalu? bagaimana dia bisa bilang dia tahu kita??

Kecendrungan lain dari para mahasiswa psikologi adalah mudah sekali menjatuhkan penilaian terhadap seseorang. Memang biasanya ini kecendrungan para mahasiswa tingkat awal, yang baru tahu empat watak manusia, tapi ada juga yang membawanya sampai jenjang profesi sebagai psikolog. Mending kalo penilaiannya didasari oleh substansi ilmiah, riwayat hidup, observasi dan dasar teori yang jelas, ini malah dengan 'insting' dan sedikit landasan teori. God shake!!

Siapa sih kita sampai kita dengan enteng menilai seseorang yang baru kita kenal, dan menggolongkannya seperti buku-buku di rak?

Kembali kepada dasar psikologi. Ini bukan ilmu baca-membaca watak, pribadi, atau malah nasib seseorang. Ilmu ini menelaah esensi yang paling rumit dari manusia, yaitu kepribadian, agar manusia bisa sehat secara utuh dan memecahkan masalah-masalah mengenai kejiwaan secara manusiawi . Karenanya memiliki teori-teori kepribadian itu tidak sampai setengah dari ilmu ini. Ada tujuan dan pencapaian yang lebih luas dan rumit ketimbang bermain tebak-tebak pribadi sso.

Bukankah lebih tepat jika kita memposisikan terapis kita sebagai teman dari pada sebagai objek? Memang keterlibatan emosional sangat tidak dianjurkan dalam sesi konseling, tapi bukannya kepribadian adalah bentuk emosi dari manusia?

Akhirnya mungkin lebih adil jika manusia menyimpan penilaian dan pembacaan kepribadian sso hanya bagi ilmu pengetahuan dari pada untuk teman. Karena persahabatan itu dirasa bukan dipikir.

As for me, all I know is that I know nothing (Socrates)


.

4 comments:

Anonim mengatakan...

... yud....
anjrit......
kapan2 yah commentnya...


perut gue sakit!!

bukan pengen boker



tp gemeter ngakak baca post u kali ni.... huhuhuhu

joh juda mengatakan...

Dasar loe! Ngakak aja pake gemetar, apa lagi nahan boker?!

Ya sana gih ketawain gw, yg penting tq sudah ninggalin comment :D

Anonim mengatakan...

[quote]
Padahal siapa sih sih yang benar-benar tahu siapa kita sebenarnya?
[\quote]

si cantik :"kak, percaya gak klo dulu gue ada koleriknya?"
calon psikolog :"ha??? gak de,lo itu sanguin!!" *SOTOY MAMPOES!!*

Anonim mengatakan...

muahahahahaa elo sih, posting kayak gini.... eh sialan, kl gue kebelet boker gue kaga gemeter tapi megap2 tauk. =__= ada perbedaan besar ya disana :p

Nice entry, i really like it =D

You go, Yudha!!!!!


*terlalu lebay ga sih?*

Posting Komentar