Sebuah Cerpen

Sebuah cerpen, termasuk dalam bagian karya sastra yang penting, bahkan peranannya dalam sastra Indonesia. Sebagian orang menganggap cerpen bukanlah sebuah karya yang utuh. Tidak usah jauh-jauh, saya pun dulu sempat beranggapan demikian. Sebuah cerpen hanya menjadi lingkup pengisi ruang kosong dalam majalah atau koran. Sebuah media pembelajaran bagi anak-anak agar sedari dini suka membaca, dan seharusnya karya sastra buat orang dewasa adalah novel.

Begitu juga dengan pengarangnya. Bagi saya justru menulis cerpen terlihat seperti kegiatan membuang 'limbah sastra' bagi pengarang, saat novel mereka belum juga rampung. Seperti pendapat Umar Kayam, bahwa seorang pengarang belum lah lengkap, sebelum mereka menulis novel. Mungkin karena bingkai cerpen yang terbatas, sehingga masalah yang dibahas pun akan menjadi terbatas. Tapi apakah benar cerpen hanya sebuah limbah sastra dari karya yang lebih besar, seperti novel?

Sebelum mengupas kepentingan cerpen dalam kehasanahan sastra, ada baiknya kita mencari tahu definisi dari Cerpen. Tentunya, kamu pasti tahu Cerpen singkatan dari Cerita Pendek, tidak ada penjelasan yang lebih pendek lagi dari itu. Tapi pertanyaannya, sependek apakah cerita itu agar masuk dalam cerita pendek? Apa lagi dalam bahasa inggris, Cerpen dibedakan lagi menjadi long short story dan short short story.

Kembali ke Masa Lalu
Banyak rambu yang diletakan oleh para pelopor penerbitan dan editor, agar sebuah karangan tetap dalam bingkai cerita pendek. E Allan Poe, seorang pengarang, cerpenis, dan editor pada abad ke-19, mengatakan bahwa cerpen itu harus dibaca at one sitting, dalam sekali duduk. Mungkin ini bisa memicu perdebatan baru, berapa lama waktu untuk sekali duduk. Namun yang pasti ruang lingkup yang terbatas itulah, sehingga tidak mungkin mengangkat masalah yang kompleks.

Berbeda dengan Balai Pustaka (BP), pelopor penerbitan di Indonesia, memiliki sudut yang berbeda dalam memandang Cerpen. Cerpen dianggap sebuah kisah yang dibaca untuk mengisi waktu. Memang terdengar konyol, namun perlu diingat, bahwa BP merupakan penerbit terhormat, penerbit sastra kanon, dan penerbit sastra bermutu, bukan sebaliknya, sastra picisan. Ironisnya, cerita-cerita pengisi waktu inilah yang justru populer, malah sekitar 1950-an mayoritas karya sastra di Indonesia adalah Cerpen. Justru Novel sangat jarang saat itu.

Perdebatan 'sependek apakah sebuah karangan Cerpen' masih berlajut sampai sekarang. Seturut perkembangan jaman, sepertinya akan semakin mudah untuk menentukan seberapa pendek sebuah Cerpen. Beberapa media nasional menetapkan jumlah kata dan kalimat untuk menjadi patokan panjang-pendeknya Cerpen; 6-8 lembar kertas A4, diketik berjarak 1,5 spasi, 12 point, font Times New Roman. Untuk versi inggris kira-kira sependek ini juga, malah cendrung lebih pendek lagi. Sedangkan untuk short short story bisa dalam beberapa paragraf saja (malah saya pernah baca hanya berisi satu paragraf). Lebih mudah bukan?

Perdebatan Sepanjang Masa
Lantas kenapa harus pendek? Mungkin alasan ini datang dari kesibukan manusia yang semakin menggila, sehingga waktu senggang semakin terbatas. Di dalam rutinitas yang padat ini, Cerpen menjadi sebuah terminal, tempat persinggahan, baik bagi pembaca maupun penulisnya. Pembaca membutuhkan cerpen, sedangkan penulis membutuhkan media untuk kisahnya. Sayangnya Cerpen harus dikondisikan dengan baik dalam sebuah media (koran dan majalah). Tema serta panjang-pendeknya cerita menjadi pengkondisian dari sebuah Cerpen. Mungkin bisa di bilang ini lah alasan paling netral untuk mengakhiri perselisihan panjang-pendeknya sebuah Cerpen.

Sudah bisakah bernafas lega? Sayangnya belum. Dewasa ini, saat reformasi mengisi semua bidang, termasuk sastra dan industrinya, Cerpen pun tidak lepas bereformasi. Semakin maraknya buku-buku baru keluar, berisi mengenai segala hal, seolah juga Cerpen menemukan media baru selain korang dan majalah. Tidak jarang kita menemukan deretan buku dengan judul 'Kumpulan Cerpen si Anu' (yang biasanya seorang penulis terkenal, atau artis, atau malah bukan siapa-siapa). Seolah menemukan kebebasannya, tidak jarang Cerpen yang ditemukan dalam kumpulan tersebut, tidak memiliki aturan baku mengenai panjang pendeknya sebuah Cerpen agar bisa di sebut Cerpen. Malah saya pernah baca sebuah Cerpen yang hampir menghabiskan 15 halaman buku, setengah dari syarat Cerita Bersambung.

Sepertinya memang Cerpen hanya dibatasi oleh media yang terbatas. Karya sastra tahunya hanya bersastra, dan bagi penulisnya berkarya; sedangkan ukuran ditentukan oleh medianya. Mungkin juga tidak menutup kemungkinan jika sebuah cerita di muat dalam buletin, maka akan muncul istilah Cersapen, Cerita Sangat Pendek.


Akhirnya bagi saya, sebuah Cerpen adalah masalah ukuran 'kanvas'. Sama seperti lukisan Three Musicians-nya Picasso, akan sama nilai seninya dengan lukisan raksasa Leonardo da Vinci, The Last Supper.

0 comments:

Posting Komentar