Rokok, Kopi, Hujan dan Cerpen

Sejak kemarin malam Jakarta di guyur hujan sampai pagi ini. Herannya justru tidak ada titik banjir di Ibu Kota, entah karena Pemda sudah bekerja giat, atau karena hujannya tidak terlampau deras. Sepertinya yang paling mungkin adalah yang kedua.

Bicara mengenai hujan, itu berbicara mengenai hal yang saya sukai. Memang saat hujan turun, beberapa aktivitas bisa ikut terhenti. Tapi tidak ada hal yang lebih menyenangkan buatku selain hujan di pagi hari -- berbarin di ranjang dengan bed cover tebal, segelas kopi dan sebuah buku. Tidak ada juga hal yang lebih menenangkan hati selain tidak bergeming di bawah siraman air hujan, saat banyak pikiran. Tapi sepertinya tidak hanya saya saja yang suka dengan hal-hal ini.

Belakangan ini saya sedang getol-getolnya membaca cerpen (cerita pendek). Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan lalu, tapi baru-baru ini saya sadar. Ternyata kebanyakan cerpen memiliki stereotipe kopi, rokok, dan hujan. Bahkan setelah saya amati cerpen-cerpen saya sendiri, baik yang sudah pernah di publikasikan, dan yang masih tersimpan di folder, ternyata SEMUANYA memiliki stereotipe kopi, rokok, dan atau hujan! tidak jarang juga setting cerita yang dimulai di cafe atau di warkop, yang salah-satu tokohnya sedang meminum kopi. Sangkin populernya, bahkan kopi pernah menjadi artisnya Dewi Lestari yang ditulis dalam Filosofi Kopi.

Kalo mau dirunut, sindrom ini sebenarnya menjawab sebuah pertanyaan klise dalam membuat cerpen. Dari dulu sampai sekrang, setiap teman yang membaca cerpen-cerpen saya pasti akan (selalu) bertanya,
Yud, ini kisah nyata loe ya?
atau, kok cerpen loe kek curhat ke pembaca gini?
Ada juga yang langsung to the point, ini berapa persen yg bener, dan berapa persen yg boongan?

Menggemberikannya, ternyata tidak saya saja yang mengalami hal ini. Hampir rata-rata cerpenis punya pengalaman serupa, apa lagi orang-orang yang memiliki gaya bernarasi orang pertama.

Fiktif vs Kisah Nyata
Pada sindrom kopi, rokok dan hujan, ke tiga kata ini secara proaktif menciptakan pengalaman yang sendu terhadap pembacanya. Namun selain itu karena ini juga keseharian yang tidak lepas dari penulis. Walaupun saya tidak merokok, namun tidak bisa ditampik rokok itu tidak lepas dari kopi. Karena penulis perlu menjaga kesadarannya agar tetap terjaga sebelum deadline selesai, maka ini lah teman terbaiknya. Hujan? Beberapa waktu lalu teman saya ada yang berkata kalo biasanya penulis itu rata-rata orang yang melankolis. Ya tahu sendiri kan hujan itu cendrung di sukai oleh orang yang pemurung, jadi tidak heran kalo hujan turut disertakan dalam tulisan mereka. Atau mungkin saja hujan ini hanya sekedar pembelaan pribadi saya.

Sindrom inilah yang sering kali tidak disadari (mungkin juga sadar, tapi tetap sengaja) oleh penulis, sehingga memasukan pengalaman pribadi mereka dalam penokohan. Tapi saya tidak bilang semua cerpen pasti ada sindrom demikian loh! Hanya saja yang bisa saya jamin, lima dari sepuluh cerpen pasti memuat sindrom ini. Sindrom ini yang menjadi bukti langsung kalo semua cerita itu berawal dari kisah nyata.

Tapi sampai sejauh mana batas antara kisah nyata dengan jagat imajinasi?

Walaupun sebuah cerita kamu ambil utuh-utuh dari kisah nyata pengalam pribadi, hanya saja pasti nama, tempat, dan lokasi akan diubah. Mungkin juga menukar-nukar posisi tokoh, atau menyusun ulang plot agar enak dibaca. Akhirnya kisah tersebut tidak lagi disebut sebuah kisah nyata atau jurnal curhat, melainkan sebuah cerita yang utuh dan bisa dinikmati. Maka dari itu saya juga kurang setuju kalo ada orang yang bilang menulis hanya membutuhkan imajinasi.

Selain kecakapan dalam menyusun plot, agar menarik, sebuah kisah juga harus dapat meyakinkan dan dapat di percaya. Sekalipun cerita fantasi, tapi fantasi tsb harus logis. Semakin logis ceritanya, semakin meyakinkan dan menarik untuk disimak. Nah menurutmu di mana mencari sebuah kisah yang benar-benar dapat di percaya? Tentunya dalam sebuah kehidupan nyata. Kalaupun cerita tersebut murni dari jagad fantasimu, cerita tersebut harus dihadirkan dalam kehidupan nyata, sehingga pendengar atau pembaca akan percaya. Ini merupakan alasan bahwa cerpen itu harus dari kisah yang nyata dan tidak ada yang namanya cerita imajinasi murni.

Di saat yang bersamaan, sebuah kisah harus memiliki nilai cerita, karena tidak semua kisah bisa menjadi cerita. Maksudnya begini, jika sebuah cerita hanya sekedar menyalin kisah sehari-hari, maka orang tidak perlu membaca ceritamu, karena orang sudah melihatnya setiap hari. Kamu perlu imajinasi dalam menyusun potongan kejadian sehari-hari agar menjadi sebuah cerita yang menarik. Unsur ini lah yang tidak dimiliki dalam kehidupan nyata.

Seorang storyteller bukanlah seorang yang memiliki imajinasi tanpa batas, melainkan orang yang pintar menyusun plot dan bertutur. Dua orang bisa melihat sebuah pengalaman yang sama, menceritakan hal yang sama, namun bisa berbeda ketertarikan kita dalam mendengarnya.

Bentuk
Berbeda dengan novel, novel memiliki banyak gaya dalam bertutur cerita. Mulai dari yang konvensional (penokohan orang pertama, kedua, dan ketiga), atau yang paling mutakhir dengan gaya sebuah jurnal, atau dengan observasi simpatisan. Contohnya buku yang pernah saya review disini. Gaya bercerita seperti ini sebenarnya pengembangan dari 1st person indirect. Bisa juga hal yang sama di tiru untuk orang kedua, hanya saja membuat keterlibatannya akan semakin jauh dari cerita.

Sedangkan cerpen memiliki seting cerita dan konflik yang terbatas. Namun demikian, hampir semua gaya penulisan dalam novel dapat digunakan dalam penulisan cerpen. Jadi sebenarnya sah saja jika menyalin jurnal dapat menjadi sebuah cerpen. Tapi kembali lagi, kisah tersebut harus memiliki nilai cerita agar bisa dinikmati.


Siapa tahu teman-teman punya opini sendiri mengenai cerpen, jadi bisa berbagi juga di sini.

4 comments:

Wibowo Kosasih mengatakan...

Hallo Bro ... I'm back ...
Tulisan ini Superb ...

Aku setuju dengan pendapatmu ... Blog ku sendiri juga mempunyai Pola yang sama dengan cerpen yang kamu bilang.

Weleh jadi bertanya-tanya apa blog g ini ternyata cerpen? Wah bukan blogger dong gue cerpenis ... hehehe ... sekedar refleksi diri aja dari tulisanmu.

Menurut gue setiap penulis pasti menulis berdasarkan pengalaman hidupnya, atau pandangan hidupnya. Konon JRR Tolkien dalam menulis Lord of The Ring diilhami oleh sejarang perang dunia kedua, dan atlantis serta bible.

Interesting topic though ...

Cheers

joh juda mengatakan...

Hi Ben, sudah balik Indo?

Haha itu sindrom, kecendrungan seoarang cerpenis. Bukan berarti itu syarat sebuah cerpen. tapi gw rasa loe ok juga kalo nulis cerpen Ben, soalnya cerita loe kan banyak tuh, dan lagi loe banyak baca buku :D

Yup, bener bangat, semua penulis pasti menulis dari pengalamn hidupnya, baik yg langsung atau tidak. Nikolayevich Tolstoy jg menggunakan pengalaman PD1 dalam tulisannya.

Hanya saja yg ingin gw kupas tuh, sejauh mana sih seorang penulis menggunakan pengalama pribadinya. Apa sebenarya semua tulisan mereka itu bisa dijadikan cermin kisah hidup mereka, atau penglaamn hanya sekedar pemercik bagi cerita?

Btw tq sudah ninggalin pesan bro. Kapan nih mulai nulisnya lagi? Sudah sebulan loh ^^

Anonim mengatakan...

kupasan yang menarik. sekedar ingin memncari solusi dari kencendrungan tadi. sejauhmana karya (cerpen) bisa berdiri menjadi hiburan imajinasi yang segar, karena curhatan penulis hanya merupakan sampah informasi bagi pembacanya.

dan satu lagi cerita pendek Amerika (kekinian) cenderung naratif 1st person indirect. . Konflik yang dibangun dari plot tidak lagi menjadi kunci utama.

Apakah cerpen indonesia harus seperti itu juga?

Salam
Storywritter

joh juda mengatakan...

Ok, coba kita kupas.

Sejauh mana? Hm sejauh mata memandang. Kalo kamu baca Kumpulan Cerpen Korea, Laut dan Kupu-Kupu, cerpen mengalami perubahan, mungkin bsia dibilang evolusi.

Demikian jg dengan cerpen Indonesia. Pada masa '45, di mana hampir semua sastra Indonesia berisi cerpen, maka tema cerpen adalah perjuangan. Begitu masuk masa 60an, tema pun berubah. Sampai akhirnya era 21.

Kembali pada pertanyaan, sejauh mana? Mungkin sebagai penulis jawabannya harus dikembalikan kepada pembaca. Apakah cerita kita kontekstual atau tidak dengan jaman, budaya dan sosial. Dan terpenting apakah para pembaca terhibur atau tidak.

Menanggapi cerpen amerika, saya rasa tidak ada kata harus. Lagi pula amat sangat tidak mungkin cerpenis indonesia mengikuti cerpen amerika, karena tentunya kita memiliki budaya, sosial yang berbeda.

Semoga bisa menjawab pertanyaan. Btw, sori baru dibalas, soalnya jarang ngecek comment di posting lama :)

Posting Komentar