Marmut Merah Jambu Paling Manusiawi



Sembari nunggu ade gw ke La Piazza, gw bunuh waktu (dan diri gw) dengan makan junk food terpopuler, Burger King.

Gw baru selesaikan baca buku terbaru dari Raditya Dika, Marmut Merah Jambu. Yang bikin buku-buku Dika menarik adalah walaupun gokil tapi kisah tsb nyata (setidaknya kita yakini demikian dan hanya Tuhan dan Dika yang tahu kebenarannya). Sedangkan buku- buku sejenis itu kebanyakan mengada- ada; mungkin benar terjadi tapi ditulis dengan gak nyata. Mungkin seperti penulis buku the Ghost Writer, yang membedakan buku laris dg sebaliknya, buku-buku laris ditulis dengan kejujuran - atau setidaknya demikian kita yakini.


Di buku MMJ ini Dika berkisah tentang Cintanya. Buat gw ini buku terbaiknya Dika. Gw bilang buku ini lebih manusiawi dibandingkan dengan buku- buku dia sebelumnya yang sangat beprikebinatangan. Buku ini terasa dekat dengan hampir semua kaum cowo yang berwajah pas-pasan kayak Radith, termasuk gw. Semua pengalaman yang ditulis hampir pernah dialami oleh para cowo, khususnya yang berwajah pas-pasan itu.

Gw sama sekali gak ingin mereview buku Marmut Merah Jambu, karena gw pikir pasti sudah banyak blogs yang telah mereview buku tsb. Gw hanya ingin mengangkat topik yang sudah terlebih dahulu menjadi pembahasan dalam buku Radith.

Selain kepiawaiannya menulis buku, gw salut dengan kegigihannya mencari cewek. Gw sendiri belum sebanyak dia dalam berpacaran dan lebih banyak lagi dalam hal ditolak cewek. Kenapa dengan begitu banyak penderitaan dia merasa sepadan melakukannya?

Jujur gw sendiri sudah gak punya tenaga dan hati lagi untuk nyari cewek. Gw sudah coba nyari cowok, ternyata perut dan mental gw belum kuat untuk menerima disorientasi gender tsb, sehingga gw keburu muntah duluan saat membayangkan punya boyfriend *hoekss* tuh kan, muntah lagi.

Gw menghormati cowo-cowo yang masih berjuang mengejar cinta seperti seorang pahlawan yang gugur dengan terhormat di medan perang. Tidak jarang juga para cowo tsb akhirnya mengalah dengan meguburkan harapannya untuk memperoleh cewek cantik, akhirnya mereka mencari yang populer disebut "pilihan yang rasional". Kadan itu karena tuntutan usia dan tidak jarang karena tuntutan biologis. Biasanya teman-temannya akan menghibur dengan kalimat paling populer, "jangan terlalu pemilih".

Berbeda dengan makanan, milih pasangan hidup itu justru harus selektif. Gw bisa makan apa aja -- ok, tentunya itu sejauh bahan makanan, bukan jeroan, sayur yang mateng, tidak berwarna putih *loh kok kontradiktif??* tapi tentu gw gak bisa meikah dengan siapa saja. Itu bukan sesuatu yang kita temukan di pinggir jalan lalu membawanya ke altar.

Ok, memang tampang gw gak ganteng, otak juga gak encer-encer amat, status juga bukan bangsawan, duit juga gak banyak-banyak amat, tapi gw sangat pemilih dan itu rasional buat gw. Kenapa? Karena itu pilihan seumur hidup, dan bukan sesuatu yang boleh kita sesalkan suatu saat nanti. Menikah itu bukan makanan yang bisa kita beli dan lempar di tempat sampah saat makanan itu mulai basi.

Mungkin terdengar perez, tapi gw lebih memilih menderita karena sendiri dari pada menderita karena menikah. Menikah merupakan kejadian sekali dalam hidup manusia yang normal dan beradab, maka kita justru harus selektif, karena wanita atau peria yang kita pilih tsb akan selalu ada tiap kali kita bangun tidur, seperti bayangan yang melekat dengan tubuh kita. Coba bayangkan kalo orang tersebut mulai kita benci, seperti tai yang menempel di telapak kaki kita tapi malangnya tai tersebut tidak bisa kita cuci dan harus kita cium seumur hidup kita. bayangkan SEUMUR HIDUP KITA.

Gw gak bisa bayangkan hal tersebut, tapi gw bisa bayangkan bagaimana rasanya sendiri seumur hidup.

0 comments:

Posting Komentar