Uangmu, Sudut Pandangku

Selamat hari Ayah bagi yang merayakannya ya. Walopun terlambat satu hari, tapi niatnya tulus dan suci hehehe. Harapan saya semoga kedepan, peran ayah dalam keluarga semakin nyata, sama seperti ibu. Amin.

Beberapa hari ini kepala saya agak berat. Mungkin karena arak bali dari si Remond nih. Jangan-jangan tuh arak hasil curian lagi, bukan di dapat secara halal. Hehehe. Tuh arak yg warnanya tidak berwarna, seperti air putih, telah memakan korban....

Kemarin siang, sepulang dari greja, saya dan ade perempuan saya, Marisa mampir makan. Belum ada semenit pesan makan, HP saya tiba-tiba berbunyi. Ternyata ada sms masuk. Ternyata sms dari ade laki-laki saya, Richard. Isi smsnya: "Kak, di botol aqua kmr kk air apa??!".
"arak bali dr temen kk. Mmg knp de?"
"tadi aku kira aqua. Aku minum. Sempat muntah td. Pusing nih"

Padahal dia berangkat greja dengan motor. Untung di jalan gak mabok. Pesan moralnya, malu bertanya, mabuk di jalan hehehe.


Ok, topik hari ini mengenai TERTANAM dan BERAKAR.
Tema hari ini tidak ada hubungannya dengan majalah agrikultur, apa lagi dengan majalah Trubus, tapi mengenai hati. Apa yang ada di hatimu dan hatiku? Apa yang tertanam dan berakar disana?

Tentu jawabannya bisa sangat majemuk. Tapi tahukan anda, kalo apa yg tertanam dan berakar disana memperngaruhi bagaimana kita melihat sesama kita? Sadar atau tidak sadar, sering kali kita melihat sso dari apa yang melekat pada diri mereka. Salah satunya uang dan materi. Sadar atau tidak sadar kita yang mengaku diri semartabat dan sederajat dalam berpancasilais, ternyata memiliki kasta dalam menilai sso. Cara mengetahuinya mudah saja. Biasanya sikap kita akan berubah saat bertemu orang yang awalnya kelihatan biasa-biasa saja, dengan pakaian yang sederhana, atau mungkin malah terlihat gembel. Namun setelah mengetahui siapa mereka sesungguhnya, semisal ternyata orang yang ngobrol dengan kita adalah Arivin Panegoro, padahal lima menit yang lalu mungkin kita menganggap sebelah mata orang yg kita ajak ngomong ini -- sikap kita langsung berubah.

Mungkin tanpa kita sadari hal tsb tertanam dalam hati kita. Pernah dengar, orang tua kita bilang,"rajin-rajin belajar, biar pintar. Jangan seperti ayah"? Biasanya kalimat ini di lontarkan dari keluarga yang kurang mampu. Belajar dari pengalaman mereka, bahwa ternyata untuk bisa di pandang mereka harus punya uang. Kalo mereka tidak punya uang, mereka tidak dianggap apa-apa dalam lingkungan mereka. Sehingga secara tidak langsung mereka menanamkan mental ini pada anak-anak mereka. Ya itu memang tidak bisa disalahkan, karena nyatanya lingkungan kita memang seperti itu.

Tidak usah jauh-jauh, dulu saya pun secara tidak sedar sudah bersikap seperti itu. Hal ini baru saya sadari setelah menggunakan N6610. Dulu kebiasaan saya selalu berganti-ganti hape. Setiap ada yang baru dengan fitur dan teknologi yang baru, pasti ada keinginan dan hasrat untuk mengganti, dan biasanya selalu terwujud. Terakhir saya menggunakan PDA iPAQ 6828. Cuma karena satu dan lain hal, hape tsb harus saya jual. Sebagai gantinya saya pake hape bekas saya sebelumnya N6610. Entah berasal dari mana, dalam benak saya muncul pikiran, 'saya tidak akan di hargai jika tidak manggunakan hape yang mahal. Saya harus ganti hape!'. Oh man!! Setelah sadar, betapa malunya saya. Ternyata tanpa saya sadari, saya menaruh kualitas hidup saya dalam benda mati! Selama ini tanpa saya sadari, sedikitnya saya membentuk kepribadian dari benda-benda yang saya miliki. Mungkin tidak sekstrim ini, tapi tetap saja merasa malu. Bukan karena saya tidak mampu membeli hape baru yang mahal. Saya punya cukup uang, bahkan sekalipun itu untuk membeli mobil, namun bukan dari situ kepribadian saya terbentuk. Jika barang-barang tsb tidak ada; mobil, rumah, pakean mahal, dan hape -- bukan berarti saya harus kehilangan segala-galanya. Justru saat barang-barang tsb menjadi kepribadian saya, berarti saya telah kehilangan segala-galanya.

Karena dalam diri ini sedikit demi sedikit tertanam bahwa standar hidup adalah uang dan materi, kita pun mulai menilai orang lain berdasarkan tolak ukur tersebut. Seberapa sering kita bermanis mulut saat kita tahu lawan bicara kita adalah orang penting, atau memiliki uang, sedangkan merasa bosan dengan orang yang tidak memiliki apa-apa? Seberapa sering kita mengelompokan orang berdasar yang kaya dan yang miskin? Pada akhirnya apa yang tertanam dan berakar dalam diri kita sejak kecil, yaitu bibit, bobot, bebet -- itu juga yang kita pake dalam menilai sesama kita manusia.

Semua itu sah-sah saja, apa lagi dalam dunia yang plural ini. Hampir semua orang dan lapisan masyarakat menggunakan 'kasta' ini dalam menilai sso, bahkan sekalipun kelompok tsb yang menyuarakan kebebasan, persamaan hak, dan kasih. Tanpa kita sadari memang demikianlah dunia ini. Namun jika yang tertanam dan berakar dalam hatimu adalah materi, pohon yang tumbuh adalah kekhawatiran. Saat materi tersebut tidak ada, kita akan khawatir. Setiap hari kita bekerja bukan untuk aktualisasi diri dan berkarya, namun semata-mata mencari uang menumpuk harta.

Tapi jika yang berakar dan tertanam dihatimu adalah kasih, maka pohon yang tumbuh adalah kebahagiaan. Mulailah pandang setiap orang yang kita temui begitu penting, begitu bernilai, begitu berarti, siapapun mereka, karena mereka adalah investasi kebahagiaan hidupmu kelak. Bukan karena apa yang mereka pakai dan kenakan, namun siapa mereka.

0 comments:

Posting Komentar