Dari mood sampai BBM

Beberapa hari ini entah kenapa saya merasa lemas kurang energi, kurang gairah, kurang senyum. Kerjanya tidur tiap ada kesempatan; di mobil, jam makan siang, bahkan tidak lupa juga saat boker.

Termasuk jg untuk menulis blog. Beberapa kali lembar post creat blog sudah dibuka, ide jg sudah disiapkan, namun entah kenapa tidak ada yg sanggup saya tuliskan di sini. Lemas, jadi lebih banyak diam, diam (bahasa kerennya: bengong) dan kegiatan lainnya yg hanya melibatkan diri sendiri dan mental (atau melamun).

Atau mungkin jg saya lagi ketularang teman saya yg lagi hibernasi menulis blog. Padahal saya tahu saya harus tetap mengisi blog ini dengan tulisan yg (tidak) berguna apapun kondisinya; sanggup atau tidaknya saya menuang ide. Ya, menulis merupakan sebuah tindakan mendisiplinkan diri, seperti jg membaca. Kenapa? Karena manusia harus terus bertumbuh, tidak hanya secara biologis, tapi jg secara mental.

Bicara mengenai membaca, saya lagi membaca sebuah buku tua, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya (Alm) Ir Karyoto Kunto. Buku yg terbit 1983 ini mengisahkan sejarah munculnya Bandung, dan bagaimana berbedanya Bandung dulu dengan Bandung moderen (saat itu, 1983) yg telah kehilangan keelokannya. Mungkin kalo pak (Alm) Kunto masih hidup, doi tidak akan sanggup melihat betapa amburadulnya lagi Bandung saat ini. Namun syukrlah beliau sudah meninggal.

Review bukunya akan saya posting mendatang, soalnya saya belum selesai baca. Hal yg cukup terngiang di telinga saya, saat saya membawa buku ini ke kampus. Ada yg nyeletuk, ngapain sih loe baca buku sejarah kek gini?

Tidak saya pungkiri bahwa sewaktu sekolah dulu pun saya termasuk yg tidak menyukai pelajaran sejarah. Bagi yg dulu tidak menyukai sejarah seperti saya boleh angkat tangan. Yang gak setujuh boleh angkat kaki aja dari blog gw. Kidding mode on.

Hanya saja saya pernah dengar, entah di mana dan entah siapa yg berkata, bahwa siapa yg tidak mengenal sejarah bangsanya tidak mengenal bangsanya, ugh... keknya gak gitu deh. Bagi yg tahu tolong ingatkan saya ya, yg quotenya mirip-mirip gitu. Maklum otak lagi konslet.

Saat membaca buku ini, dan jg majalah Tempo edisi 100 tahun kebangkita Indonesia (baca deh, itu bagus bangat), saya jadi cukup menyesal karena tidak memperhatikan dengan seksama selama pelajaran Sejarah dulu. Saya rasa, saat sso mengenal sejarah bangsanya, mereka akan lebih menghargai perjuangan pahlawan mereka.

Masih sehubungan dengan Tempo edisi 100 Tahun Kabangkitan Indonesia, saya baru terbuka kalo pendiri Indonesia adalah cendikiawan-cendikiawan muda yg cerdas dan nasionalis. Kebanyakan yg duduk dijajaran pemerintahan atau berkutat di politik pada masa-masa awal berdirinya bangsa ini adalah seorang pengamat sosial, budaya, yg menjadi fundamental bangsa ini -- baik diakui atau tidak; dan juga seorang penulis (dan tentunya jg merupakan orang-orang yg gemar membaca). Bukan berisi orang-orang yg gemar menjawab tanpa otak.

Bukan hanya menulis dalam bahasa Indonesia, melainkan fasih dalam berbagai bahasa. Sebut saja pembelaan Bung Hatta saat dipenjarakan di Belanda, yg ditulis dalam tiga bahasa tersebut (Belanda, Inggris, Indonesia). Wow, betapa terpelajarnya dan cerdasnya orang-orang dulu. Bandingkan dengan sekarang yg syarat jadi presiden harus sarjana saja sudah banyak komplain. Coba kalo syaratnya harus bisa berbagai bahasa.

Belum lagi pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Indonesia yg lebih maju dari bangsa lain saat itu. Sebut saja bagian UUD45 yg menyatakan Kemerdekaan itu adalah Hak semua Bangsa..., Ya mungkin bagi kita saat ini itu terdengar wajar saja, namun pada masa itu dunia terlambat 15tahun berpikir, bahwa Negara Jajahan Berhak Meminta Kemerdekaan kepada Negara yg menajajah, melalu memorendum PBB pada tahun 1960.

Belum cukup?
Sebut lagi Hukum Maritim yg diperjuangkan Bung Hatta dalam konfrensi PBB, bahwa laut dianggap sebagai pemersatu, bukan sebaliknya. Fyi hukum ini masih dipakai sampai sekarang sebagai hukum internasional. Sebut jg Dasar-Dasar Perang Grilya yg ditulis AH Nasution yg menjadi buku wajib bagi marinir di Inggris. Herannya justru AH Nasution dikucilkan di negrinya sendiri.

Mungkin itu bukti bahwa pada dasarnya orang Indonesia tidak menghargai pahlawannya. Bahwa pahlawan hanya dianggap sebagai simbol nasionalis yg selama mendunkung kepentingan penguasa, maka akan tetap menjadi pahlawan. Jika tidak, maka bukan apa-apa

Perjuangan yg gigih, kecerdasan, serta keuletan para pejuang dulu untuk belajar, maka Indonesia dulu sempat menjadi macan Asia. Dan dengan berlalunya waktu, dengan berbagai kepentingan pribadi pengasanya, macan itu kehilangan gigi, dan mungkin sekarang sudah menjadi bulan-bulanan di asia.

Menurut saya (yg sotoy ini), masalah Indonesia bukan pemulihan ekonomi dan stabilitas sosial, atau semacamnya, melainkan pendidikan. Orang boleh mati karena kelaparan, tapi tidak karena kebodohan. Dan BLT adalah bentuk pembodohan masal bagi bangsa ini.

Kalo memang harga BBM harus naik, maka naikan. Tapi tidak serta merta menyogok rakyat dengan BLT. Itu justru tidak manusiawi, seolah-olah pemerintah bisa menyogok kesengsaraan rakyat dengan uang 300ribu. Suksesnya orang-orang mengantri BLT justru membuktikan bahwa sebenar-benarnya rakyat butuh pendidikan.

Oh, tapi mungkin jg Pemerintah takut kalo rakyat ini pintar dan cerdas, mungkin sogokan mereka tidak akan berhasil meredam kesengsaraan rakyat.

Saya ingat sebuah karikatur Kompas beberapa tahun lalu, yg berisi anjuran rakyat intuk mengencangkan ikat pinggang. Sepertinya jg karena reaksi dari kenaikan BBM. Sayangnya rakyat sudah tidak menggunakan ikat pinggang lagi, pak -- sudah dijual untuk beli beras.

Ah secara tidak langsung -- atau memang tidak ada hubungannya -- kenaikan BBM mempengaruhi keadaan saya yg melow ini. Saya jadi uring-uringan.

1 comments:

Anonim mengatakan...

Hey Yud... baguslah dikau sudah menyeret pantat malasmu itu dan menghibur hari gue dengan post baru dari kau hehehehehehe =D

Yeee kok u ikutan lemes sih bbm naik. Gue dong... tetap cerah ceria di bis kota..... =D =D

Gue setuju sama u yg tentang sejarah! hehehehehe

Posting Komentar