Ada Ndeso, Ada Nafsu

1. culture shock=ndeso (wongdeso.red)=gunakan hape sembarangan

Kemajuan komunikasi yg begitu pesat dewasa ini patut kita syukuri. Namun dari yg disyukuri ada beberapa akibat justru menimbulkan -- kalo bisa saya sebut, culture shock. Masih menurut saya, ini terjadi karena begitu cepatnya perkembangan komunikasi tanpa disertai penetrasi yg baik dalam masyarakat.

Kalo lima tahun yg lalu, yg bisa pegang hape hanya segelintir orang. Berbeda seperti saat ini yg siapapun dapat memiliki HP (Hand Phone). Jangankan anak sekolah yg belum melek baca tapi sudah pegang HP, pemulung di Jakarta saja sudah menenteng-nenteng alat komunikasi ini.

Tapi jangan tanya saya kegunaan bagi mereka, atau di mana mereka charging batrei, karena saya jg tidak tahu. Digunakan atau tidak saja saya tidak tahu (kebayang gak sih, pemulung sambil ngorek-ngorek sampah, telponan??).

Ow sori, sepertinya sejauh ini saya belum mengutarakan duduk-perkara bacot saya. Culture shock yg saya maksud di sini adalah penggunaan HP yg tidak pada tempatnya.

Loh, memang untuk menggunakan HP, perlu tempat khusus seperti merokok - ya walpun pada kenyataannya semua orang bebas merokok di mana saja saat ini?

Ya, menggunakan hape perlu tempat dan waktu tertentu. Tidak di semua tempat dan keadaan kita bisa menggunakan HP. Misalnya, menerima telpon -- atau yg lebih gawat -- membaca dan membalas sms sambil mengendarai kendaraan bermotor.

Pasti yg biasa membawa kendaraan setidak-tidaknya pernah melakukannya sekali (walaupun sangat diragukan kalo hanya sekali saja). Saya sendiri tidak lepas dari penyalahgunaan tempat ini. Itu alasan kesekian kenapa saya tidak mau membawa kendaraan pribadi. Saya pernah lihat pengendara sepeda motor yg bersms ria sambil membawa tunggangannya di atas 60km per jam.

Sebenarnya masih banyak contoh penyalahgunaan tempat dan keadaan, tapi yg khusus ingin saya angkat di sini adalah salah-satu penggunaan hape di waktu yg tidak tepat, yaitu saat bekerja. Mungkin kalo bekerja di belakang meja, mencuri pakai HP tidak terlalu bermasalah. Namun lain halnya jika bekerja dalam bidang jasa pelayanan.

Akan sangat menjengkelkan bila (setidak-tidaknya bagi saya) menemukan pramuniaga swalayan, yg mencuri-pakai HP disaat ramai dengan pengunjung. Saya sendiri punya banyak pengalaman mengenai perlakuan (yg sekali lagi menurut saya) kurang baik, menyangkut penggunaan HP pada jam kerja. Salah-satunya terjadi beberapa hari yg lalu, saat saya dan sepupu saya menggunakan taksi menuju kost.

Di tengah perjalanan, supir taksi menerima telpon.

Sopir Taksi: tadi aku telpon gak diangkat... soalnya tadi lagi di daerah Cawang
........
ST: sekarang di Tanah Abang
.......
ST: memang sudah selesai? Iya, nanti dari sini jemput kamu di sana. Tunggu abang ya....

WTH???
Tinggal saya dan sepupu saya yg bengong, kok seolah-olah kita yg numpang sih?? Ini sopir kok sopan bener nerima telpon saat ada penumpang??!

Memang saya kenyang dengan pengalaman kurang enak menyangkut penggunaan HP yg tidak pada tempatnya -- dari yg perhatiannya terbagi antara melayani dan membaca sms, sampai tidak dihiraukannya membayar di kasir karena ybs sedang menerima telpon -- tapi baru kali ini ada sopir taksi yg menerima telpon.

Kenapa saya bilang ini culture shock, atau bahasa kesehariannya ndeso? Karena masyarakat Indonesia belum dapat menempatkan penggunaan HP, baik pesan suara maupun pesan tertulis. Bahwa HP adalah benda yg dapat membenarkan segala tindakan terkait menerima pesan melalui HP. Sehingga seperti orang dari kampung yg berpikir bisa terima sms dan telpon dalam segala situasi.

Makanya, kalo tidak mau dibilang wong deso yg kaget sama teknologi, perlihatkan dengan tahu etika menerima pesan dari hape.


2. menikah bukan modal nafsu doang

Masih dengan perjalanan dengan sopir taksi edan. Setelah si sopir menutup telpon, perjalanan dilanjutkan kembali dengan keheningan. Setelah melewati perempatan Tanah Abang menuju Kemanggisan, si sopir tanpa diminta menginfokan kalo di belakang Tanah Abang banyak WTS yg mangkal di pinggir jalan. Mungkin inisiatif tsb muncul karena melihat tampang saya yg aduh kasihan gak laku gini. Atau bisa jadi tampang saya dan sepupu saya seperti cowo-cowo pencari belaian wanita. Entah yg mana.

Dengan maksud agar sopir taksi tidak merasa jayus ngomong tanpa di minta, saya menimpali dengan iseng bertanya.

"Memang kebanyakan dari mana PSKnya?"

"Dari Jawa mas. Indramayu, Pekalongan, Magelang", sopir tsb menjawab dengan penuh semangat.

Saya yg sebenarnya kurang antusias hanya bergumam singkat.

"Tapi bodoh mas, kalo ada yg mau main sama PSK", tandas supir tsb.

Wow, ternyata walaupun agak ndeso -- karena menerima telpon sambil bekerja -- sopir taksi ini memiliki sudut pandang yg bijak dalam menyikapi 'PSK! Dari yg awalnya menatap bulan di luar (aduh, klise bangat sih??!), saya berpaling memandang sopir tsb, menunjukan apresiasi tingkat tinggi terhadap sopir tsb!

Karena seolah diberi angin, sopir taksi tsb melanjutkan. "Iyalah, jajan diluar itu rentan sama penyakit kelamin. Hanya orang bodoh yg melakukannya", ditambahkannya kembali, "Lebih baik cari istri".

"Betul mas!", ujar saya membenarkan.

"Kalo istri sendiri kan nyaman 'mainnya'. Kalo mas mau, biar saya carikan istri di Sukabumi".

"Ow enggak mas, saya belum mau menikah, masih ingin bebas dulu", ujar saya sambil cengengesan.

"Ini jg bisa buat 'mainan' bisa kok mas. Mas cukup bayar 1jt aja, itu sudah sama penghulu, surat nikah di bawa tangan, pokoknya bersih mas. Mas datang ke sana, tinggal milih, langsung nikah. Jadi dari pada jajan di luar, lebih baik sama istri simpanan".

Saya masih bengong ngelihat dia ngrocos terus tanpa sadar.

"Yang tadi telpon ini itu istri kedua saya. Kata orang sih, memang mau kasih makan apa hidup susah kek gini, kasih makan istri satu aja susah, apa lagi dua??

Cuma kalo saya sengaja cari yg mapan kek gini. Istri kedua saya ini pengusaha, jadi saya gak perlu kasih-kasih uang belanja aja. Nikmat loh mas. Ini aja saya mau cari lagi".

WTH! Dunia, dunia... Gak sanggup deh mas dengerinnya.

Yang pasti menurut saya, menikah itu gak hanya urusan alat kelamin. Ada kasih, persahabatan, komitmen dan kesetiaan. Kalo menikah sekedar nafsu semata, gak kebayang deh anak yg lahir dari nafsu doang.

Lagian gak mikir dia, coba kalo istrinya berpikir kek gitu jg, memang dia mau?? Ck ck ck... ndeso, ndeso.

0 comments:

Posting Komentar