Layang-Layang

Minggu lalu, mungkin tema yang tepat bagi saya adalah orang tua. Sebenarnya bukan karena saya seorang yang mengalami langsung polemik tersebut, tapi beberapa kawan yang bertutur kisahnya kepada saya. Tidak usah dibantah, karena saya pun yakin 100% bahwa kamu, tentunya yang pernah menjadi anak (kecuali kalo kamu tiba-tiba menjadi besar seperti sekarang dalam dua menit), pernah berkonfrontasi dengan orang tua masing-masing, dan mungkin juga malah dengan orang tua dari orang lain - seperti saya yang pernah tidak disukai oleh orang tua mantan, atau sewaktu kecil tidak disukai orang tua tetangga karena gemar mengambil mangga tetangga sebebas-bebasnya.

Bagi seorang anak, apa lagi yang sudah hidup mandiri, apa lagi yang sudah terlalu lama hidup mandiri (saya mulai hidup mandiri, alias tidak tinggal bersama orang tua dari SMU), apa lagi sudah bekerja dan sudah terlalu lama hidup mandiri, dan apa-lagi - apa-lagi lainnya, tidak jarang saat berkumpul dengan orang tua, justru menimbulkan konflik-konflik tertentu. Misalnya yang sederhana saja, kamu akan diatur kapan harus tidur dan kapan harus bangun, kapan harus makan dan apa yang perlu kamu makan. Kemana kamu pergi dan kapan harus pulang. Bahkan di mana kamu kerja dan dengan siapa kamu pacaran. Belum lagi kalo kamu kerja sama orang tuamu, maka bersiaplah untuk diatur apa yang harus kamu tulis, dan apa yang harus kamu laporkan.

Tiba-tiba semua berubah seolah-olah kamu begitu fragile.

Kalo usiamu masih dibawa 17 tahun, mungkin hal itu lumrah, tapi bagaimana kalo kamu sudah kuliah, bahkan sudah lulus kuliah?

Sering kali kita sebagai anak mulai berpikir, kapan waktunya kita benar-benar dianggap dewasa? Apa itu berdasarkan usia? Atau berdasarkan atap? Atau berdasarkan sumber penghidupan? Atau mungkin apa status kita?

Coba kita lihat satu-satu; Jika berdasarkan usia, menurut negara kita dianggap dewasa saat berusia 17 tahun. Pada usia tersebut kita dianggap wajar untuk nonton 'film 17 tahun ke atas', usia tersebut juga dianggap layak untuk memiliki KTP dan SIM. Usia tersebut juga dianggap mampu mengkonsumsi alkohol tanpa berubah menjadi tolol. Dan yang paling asik usia tersebut sudah boleh menikah secara hukum. Tapi nyatanya usia tersebut saya masih dikejar-kejar nyokap menggunakan sapu untuk disuruh mandi.

Mungkin berdasarkan atap kali ya. Maksudnya, saat kamu sudah tinggal beda atap dengan orang tuamu. Sedikitnya ini ada benarnya, karena tentunya orang tuamu tidak akan mengaturmu, setidaknya tidak secara langsung. Faktanya, telpon seperti ini yang dulu sering saya terima: 'Yuda, kamu ada di mana?'; 'Yuda, sudah makan belum?'; 'Yuda, kapan pulang ke Bandung?' (padahal masih dalam perjalanan kembali ke Jakarta), dan sewaktu kampus saya masuk berita karena terlibat demonstrasi maka,

'Yuda, mama lihat di berita kampus kamu ikutan demo ya?! Aduh, kamu jangan suka ikut-ikut demo ya? Nanti kamu bisa mati loh! Kamu ada di mana sekarang? Belum pulang?'

'Belum ma, masih di depan gedung MPR/DPR...'

'HAAAAAHHH....?? Malam begini belum pulang?!! Tuh kan, mama sudah bilang mama gak suka kamu ikut-ikut rusuh! Aduh, nanti kamu bisa mati beneren! Siapa yang antar-antar mama kalo belanjaaa!!!'

'..... ma, demonya kan di kampus'

Bagaimana kalo kita sudah cukup mapan untuk bisa menghidupi diri sendiri, masihkan diatur oleh orang tua? Yang sering terjadi dikehidupan sehari-hari: 'Kamu jadi melawan ya sama papa?! Mentang-mentang sudah punya uang sendiri, sekarang berani bantah papa! Siapa yang besarkan kamu dulu ha?? Yang bayar kuliahmu?! kasih uang saku?! Dan mobil, papa yang bayar biaya perbaikan sewaktu kamu tabrak pagar depan rumah!! Perbaikannya itu mahal!!!'.
Sepertinya opsi ini juga gak mungkin, terlebih selama ayahmu masih mengingat 'jasa-jasanya' dan mobilnya.

Ok, kalo semua itu gak bisa membuat kita diperlakukan sebagai orang dewasa oleh orang tua, pastinya saat kita sudah bersuami/beristri dan membangun keluarga kita sendiri, kita akan diperlakukan secara dewasa dong? Kalo yang ini saya kurang tahu pasti, karena yang paling utama saya belum beristri. Tapi dari pengalaman yang pernah saya dengar sendiri (ok, percaya atau enggak saya pernah menangani konseling pernikahan yang hampir bubar), terkadang orang tua, khususnya ibu-ibu, masih sering ikut campur mengenai bagaimana menantu perempuannya harus mengatur anak laki-lakinya.

Jadi kapan dong kita lepas dari jerat orang tua? Dan diangap dewasa? Mungkin saat ini kita mulai berpikir alangkah nikmatnya hidup di barat, karena justru saat kamu menginjak SMU, kamu akan 'diusir' dari rumah. Bukan hal yang umum di barat, melihat seorang anak yang menginjak bangku SMU masih tinggal bersama orang tuanya. Bahkan saat kuliah, itu bukan biaya orang tuamu, dan mereka tidak akan ambil pusing dengan apa yang kamu putuskan untuk di lakukan, dan hubungan itu akan berakhir saat kamu berdiri di depan altar bersama mempelaimu.

Sebenarnya sederhana saja, kita sebagai orang muda, punya ego yang besar untuk dianggap dewasa. Sebagai orang muda, entah kenapa, ingin sekali dianggap dewasa. Dari nyuri-nyuri ngerokok sewaktu masa SMU agar dibilang dewasa, sampai mengoreksi sikap orang tua kita agar dianggap lebih dewasa. Mungkin tepatnya orang muda butuh pengakuan. Lalu apa yang dibutuhkan orang tua di masa tuanya dari anak-anaknya? Pengakuan?

Bukan, melainkan pengertian.

Mungkin kamu gak tahu, tapi membesarkan anak itu susah. Bukan lagi susah-susah gampang, tapi susah-susah-susah bangat. Dulu ada yang pernah bilang ke saya, membesarkan anak itu seperti mencoba menerbangkan layang-layang di saat panas terik tanpa angin. hanya ada debu dan pilu keringat. Terkadang orang tua kita harus jatuh tersungkur hanya agar 'layang-layang' tetap dapat terbang. Tidak jarang layang-layang yang sudah cukup tinggi, harus terbang menukik dan menghujam tanah lagi.

Tapi akhirnya mereka berhasil menerbangkan layang-layang tersebut, bahkan diantara awan yang dulu mungkin tidak pernah menghiasi langit mereka. Mungkin itu saat di mana mereka melihat kamu diantara para wisudawan lainnya. Atau di saat kamu berdiri di depan altar. Betapa leganya mereka. Sayangnya yang entah orang tuamu sadari atau tidak, benag ditangan mereka sudah terulur habis, dan hanya dengan melepaskannya sisa benang layang-layang itu bisa terbang lebih tinggi lagi.

Mengertilah kawan, membesarkanmu itu tidak mudah. Membesarkanmu butuh air mata, dan melepaskanmu butuh lebih banyak air mata.

Bagaimana kalo mereka tidak melakukan kewajiban yang dilakukan oleh orang tua pada umumnya? Apakah mereka punya hak untuk mengatur hidup anaknya?

Kalo kamu ada di dunia ini kawan, bagaimana pun caranya, itu karena jasa kedua orang tuamu (kan gak mungkin kamu bisa ada hanya karena salah-satu dari mereka?); hidup adalah harga dari kematian. Jadi hidupmu berharga bukan karena apa yang orang lain lakukan terhadapmu, tapi apa yang kamu kerjakan. Semakin berharga hidupmu, semakin berharga juga kematianmu. Kamu boleh menyangkalnya, tapi itu faktanya, sama seperti Tuhan itu ada, entah kamu percaya atau tidak.

Dan diakhir tulisan, saya hanya ingin mengucapkan minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Biar maaf itu dimulai dari memaafkan orang yang berjasa dalam hidupmu. Amin.



Ps. Jika kamu penasaran siapa yang menuturkan perumpamaan 'layang-layang itu ke saya, dia adalah ayahku. Tunggu, jangan salah paham. Dia menceritakan kisah itu saat dengan terpaksa menyerahkan mobil barunya untuk saya bawa di tol. Mungkin benar kata orang, mobil itu istri pertama bagi cowo.

9 comments:

Anonim mengatakan...

Sejauh apa pun gue berusaha jadi sesuatu yang bukan orang tua gue, kutukan itu akan terus menghantui.

http://blog.yosua.net/2008/07/06/kutukan-genetika/

Wibowo Kosasih mengatakan...

Hm, memang sudah kodrat Joe ... Orang tua pasti akan menganggap kita begitu. Ya diartikelmu sendiri sudah ada alasannya kenapa.

Kita maklumi aja, dengarkan ... Kalau kita mendengarkan, kita menghibur dan menyenangkan mereka, itu hal yang baik kan?

joh juda mengatakan...

@yosua
Hi Yos, tq sudah ninggalin comment hehe. Liburan ngapain aja pak?

@Benny
Haha tul Ben.

Anonim mengatakan...

*nangis*

yud...entah ini kebetulan ato gak..g baru selesai "menghina dina" nyak babe gue di jurnal, trs g main ke jurnal u, dan voila... kok gue malah nangis2 ya...g jd berasa durhaka...

TT.TT


btw... ur dad seems soo cool =D :p

minalaizin juga yuda.. :)

Anonim mengatakan...

orang tua pengennya tetap berguna buat anak2.. (yah salah satu contohnya itu nenekku) dan perasaan masih berguna buat anak-anaknya itu penting buat mereka... makanya kami biarkan dia ke pasar, masak tiap ari.. somehow it makes her happy, padahal sebenarnya umurnya itu udah ga cocok buat bikin2 yang berat2, harusnya istirahat aja, nonton tv, dll

joh juda mengatakan...

Hahahaha gw gak bisa bilang apa-apa Yes. Ya nikmati aja lah kebersamaan bersama ortu, karena mereka gak akan terus-terusan bersama kita ;)

Eniwei gq cuma bisa bilang makasih buat commentnya Yessica dan Meke Wijaya ^^

Anonim mengatakan...

Hmm sebuah liburan nggak bisa begitu saja disebut liburan apabila dibarengi dengan skripsi. Artinya jadi berbeda jauh. XD

joh juda mengatakan...

@yosu
Ciyee yg lagi skripsi boow hehe
Btw gw kira loe sekarng dah gawe, maksudnya sudah lulus dan gawe.

Anonim mengatakan...

Sungguh bermakna....

Sekedar info, sekiranya mo ke Bali ato ada temen yang akan ke Bali, silahkan lihat website hotel ini www.balihotelmurah.com, untuk informasi hotel-hotel di Bali. Tersedia banyak pilihan hotel yang bisa dipakai pertimbangan dalam merencanakan liburan ke Bali nanti

Posting Komentar