Kamukah Kawan Ku?

Beberapa hari lalu, saya sempat ngobrol dengan teman saya. Dia bercerita pengalamannya dianggap suka sama sso hanya karena dia sering telpon dan sms. Padahal maksudnya baik, dan lagi sso itu memang butuh teman ngbrol.

Bukan hanya dia, saya pun mengalami, dimana hubungan inter-persona, dewasa ini digerakan atas kepentingan pribadi -- digantung diawan, karena dianggap hanya sebuah paradoks. Ketulusan di tanggapi dengan prasangka. Makanya tidak heran kalo ada yang mengatakan, jika ada seoarang teman lama (entah dari sd/smp/smu) menghubungi kamu, mengumbar ramah-temeh, maka kalo bukan mengajak asuransi, pasti mau ngajak forex.

Salah-satu pengalaman saya, sewaktu seorang sahabat lama saya tiba-tiba, entah bagaimana, mendapatkan no telpon saya. Saya sangat excited sekali menerima kabar dari dia, karena sudah lama tidak bertemu dan dulu kami cukup dekat. Namun diujung telpon saya harus kecewa. 'Yud, bisa ketemu gak, gw mau jelasin nih tentang sebuah investasi berjangka. Gw rasa cocok bangat nih buat loe. Loe kapan ada waktu?'.

Hari dimana saya menolak ajakannya, adalah hari terakhir saya mendengarkan kabarnya. Tidak ada sms dan maupun sekedar membalas email.

Jika sso yang tidak dikenal datang pada kamu. Sering sms, telpon atau sekedar 'say hi' by YM!. Stigma yang muncul, pasti deh ini orang mau nawarin forex, atau kalau lawan jenis, pasti deh nih cewe suka gw? (sayangnya yg terakhir ini gak mungkin buat saya, karena saya bukan cogan -- cowo ganteng).

Huh, kemana sih orang-orang? Apakah di dunia ini yang tersisa hanya boneka pencari uang saja?

Begitu juga sebaliknya, jika saya mencoba membangun persahabatan dengan sso, stigma tsb pun hinggapi pada orang tsb. Apa saya terlihat seperti sales sebuah produk? Apa saya terlihat seperti cowo hidung belang yang mencari-cari perempuan? Hei, what the hell world is?!

Where'r we really stand on? The earth? Hesitateful! I didn't saw man as i can talk with him/his. I didn't felt how soft humane dew. Just a bundle of prejudices, day over day, only prejudices.

Hubungan dilandasi atas asas kebutuhan materi, bukan lagi dengan kasih. Haruskah memang kita mengeluarkan uang agar kita di dengar? Haruskah kita membayar agar memiliki teman? Memang tidak ada yang gratis sih di Jakarta, kencing aja bayar, apa lagi teman?

Mengapa semakin bertambahnya jumlah penduduk di Jakarta, justru semakin sedikit yang bisa diajak berbicara?

Mengapa justru seiring kita dewasa, kita malah kehilangan teman?

Memang bukan hal yang mengherankan di kota metropolitan ini. Segala ketulusan dianggap sebagai siasat, dan di tanggapi dengan parasangka. Prasangka sendiri hasil dari limbah-limbah kecewa, dan kecewa adalah produk dari harapan yang patah.

Jadi mungkin karena terlalu banyak ranting harapan yang patah, sehinggah dewasa ini orang lebih suka memeliahar bonsai. Lebih praktis. Tidak repot, dan tidak sakit.

Padahal makna kawan (friend) sangan indah. Berasal dari inggris lama freond1, dari bentuk kata freon1 dalam inggris kuno, yang artinya mencintai.

Sunggukah di kota yang majemuk ini kita tidak bisa menemukan cinta? Atau masih bisakan aku harapkan itu dari kamu? Paling tidak aku berharap masih ada kata friend dalam kamus anak-anakku, generasi dibawa ku. Sehingga mereka tahu, di dunia yang semakin rusak, masih ada seberkas harapan dari seorang sahabat.

Jika persahabatan dicurigai, apa lagi lagi yg tersisa di dunia ini?






1 dikutip dari Novel Disgrace (1999) karya J.M Coetzee, halaman 149 terjemahan Indonesia (Aib-2005)

0 comments:

Posting Komentar