Saat Kematian sama Wajarnya dengan Apel Newton


Jam di toolbar sudah menunjukan pukul 3.15, dan bukan berarti saya tidak cape sehingga masih m'lototin notebook sampai sekarang. Sebenarnya masalahnya (bukan masalah sih) saya takut jika tidur bakalan bablas tidak bangun jam lima. Besok pagi -- saya ralat, beberapa jam lagi, saya jalan ke Bogor.

Walopun sudah ditemani kopi dan semangkok indomi, tetap gak bisa menipu cape dan kantuk. Di lain pihak, waktu terasa merayap lama. Padahal sudah coba mengisi waktu dengan membaca beberapa artikelnya mas Priyadi, dan menulis beberapa summary untuk buku dan e-artikeli.

Selain takut kebabalasan tidur, juga karena hal-hal yang terjadi hari ini. Deadline kerja, kirim barang dan cari barang hilang, ini... itu..., sampai pada hal kematian.... Ya kematian.

Kematian menjadi kenyataan yang seolah terlupakan, sampai kita terjaga dari rutinitas hidup. Sampai kematian itu benar-benar datang pada orang-orang disekeliling kita. Mungkin jika kita sendiri yang menjadi tujuan kematian, kita tidak akan pusing memikirkannya. Ya, tentu saja karena kita sudah mati. Jadi tidak perlu mikir kematian itu sendiri. Cuma akan berbeda jika kematian itu menimpa orang-orang disekililing kita, apa lagi itu orangtua kita.

Pagi dini hari kemarin, orangtua dari salah-seorang sahabat saya, berpulang ke Pangkuan Halik. Sewaktu mendaptkan sms tsb, mungkin seharusnya saya tidak perlu terlalu kaget, karena ibu sahabat saya memang sudah lama sakit. Namun, bagaimana pun wajarnya kematian datang, tetap saja mengagetkan.

Ini memang bukan yang pertama kali orangtua dari sahabat-sahabat terdekat saya meninggal. Yang pertama kali dialami kakak kelas saya di SMU. Ayahnya meninggal setelah beberapa bulan lamanya berjuang di RS. Saya sempat beberapa kali menjenguk di RS, samapi tiba watunya Tuhan memanggil. Kali kedua ayah dari sahabat terdekat saya sendiri, harus mendahului istri dan anak-anaknya untuk kembali ke Sang Pencipta. Berikutnya, masih ayah dari sahabat saya. Cuma yang ini -- dengan penyesalan sampai sekarang, saya tidak bisa datang.

Walaupun seperti yang saya bilang, ini bukan yang pertama (tentunya), cuma sampai detik ini saya masih canggung setiap menghadapi situasi seperti ini. Seribu-satu sikapku, rasanya tidak ada yang tepat untuk (bisa) mengungkapkan turut berdukaku, kepada mereka yang ditinggal. Mengucapkan kata-kata belasungkawa, sekaligus penghiburan, merupakan masalah tersendiri buat saya. Biasanya saya cuma bisa diam.

'Apakah mereka yang ditinggal siap menghadapi perubahan besar ini?', Kembali lagi sebenarnya kita sudah tahu, semua orang pasti akan mengalami situasi ini. Cuma apakah siap?

Pastinya saya turut sedih sahabat saya kehilangan orangtua. Sekalipun ada dari orangtua mereka yang tidak begitu akrab dengan saya, namun kesedihan sahabat itu sudah cukup untuk membuatku menangis. Sayangnya saya tidak mungkin memahami perasaan mereka sepenuhnya -- dan omong kosong jika saya mengatakan hal tsb, karena saya belum mengalami hal tsb -- orangtua saya belum meninggal.

Dalam situasi seperti ini, sangat wajar kalo kita sendiri jadi berpikir bagaimana seandainya salah-satu orangtua saya, atau keduanya, meninggalkan saya. . . . .


SUMPAH GAK BISA BAYANGIN!!! Membayangkannya aja sudah bikin gw merinding ngeri!!


Mungkin sama dengan mereka juga. Walaupun kematian merupakan sebuah fakta -- dan sama wajarnya dengan apel yang jatuh kembali ke tanah. Namun tidak ada yang siap menghadapi kematian sampai kematian itu datang.

Sahabatku,
sungguh aku tidak tahu bagaimana pedihnya hatimu
bagaimana rasanya ditinggal orangtua

Sungguh,
aku berduka atas apa yang menimpamu
atas apa yang kamu rasa

Sabdakan di hati
orangtuamu tidak meninggalkanmu
mereka hanya berjalan lebih dulu

0 comments:

Posting Komentar